tirto.id - Rokok dan polusi udara sama-sama jadi faktor penyumbang masalah kesehatan dan kematian. Namun, banyak orang masih tak acuh perkara polusi karena wujudnya tak terlihat secara kasat mata. Sekarang, mari kita perhitungkan angka-angka kerugian yang ditimbulkan keduanya.
Pandemi COVID-19 kemarin membuat Bumi biru-hijau kembali. Meski durasinya tergolong singkat, kita bisa merasakan udara yang bersih dan segar. Saat aktivitas manusia kembali bergolak, bayang-bayang polusi udara kembali mengancam kesehatan kita.
Greenpeace Asia Tenggara membuat perkiraan korban jiwa dan kerugian materiil akibat polusi udara berdasar data IQAir. Pada 2021 ketika pandemi tengah mewabah, polusi udara diperkirakan menyebabkan 81 kematian di Jakarta saja, dengan kerugian mencapai US$21 juta.
Padahal, semua orang saat itu tengah menjalankan penjarakan fisik, kota-kota sepi kendaraan, dan indeks polusi udara membaik. Kita bahkan bisa melihat biru langit Jakarta yang selama ini tertutup warna abu polusi.
Ketika dunia mulai pulih, semua orang kembali turun ke jalan. Pada 2023 ini, Greenpeace Asia Tenggara memprediksi polusi udara di Jakarta kembali menelan korban jiwa sekira 92 orang.
Greenpeace membuat perkiraan kematian dan biaya kerugian ini berdasar total dampak yang disebabkan oleh PM2.5 dan NO2 selama setahun ke belakang, lalu dibagi jumlah hari menurut tingkat polutan harian yang tercatat.
Meski polusi udara punya banyak polutan, Greenpeace hanya mengambil dua polutan utama yang paling berbahaya.
"Partikulat (PM2.5) adalah partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 2.5 mikron (mikrometer)," demikian penjelasan singkat dari laman BMKG.
Partikulat ini sangat kecil dan dapat masuk jauh hingga ke dalam paru-paru dan darah. Ia membikin berbagai gangguan saluran pernafasan seperti infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), kanker paru- paru, serangan jantung, kematian dini, dan penyakit paru-paru kronis.
Menghitung Polusi Udara dalam Satuan Batang Rokok
Pada 2020, masih dari hitung-hitungan statistik Greenpeace, setidaknya 200.000 jiwa melayang karena polusi udara. Jumlah tersebut hanya berasal dari 5 kota terpadat di dunia—mewakili 1,7 persen populasi dunia—pada tahun tersebut.
New Delhi, India, jadi kota pertama dengan jumlah kematian tertinggi akibat polusi udara, yakni sekitar 57 ribu jiwa dan total kerugian US$8,6 miliar. Di urutan kedua ada Tokyo, Jepang, dengan jumlah kematian mencapai 53 ribu jiwa, tapi menanggung kerugian ekonomi lebih tinggi mencapai US$57 miliar.
Selanjutnya Shanghai, Tiongkok, menelan 49 ribu korban jiwa akibat polusi udara. Lalu ada Sao Paulo, Brasil, dengan korban 16 ribu jiwa dan Mexico City, Meksiko, 20 ribu korban jiwa.
Greenpeace menaksir total kerugian akibat polusi udara di 5 kota tersebut mencapai US$106 miliar.
Perhitungan kerugian akibat polusi udara itu menggunakan perkiraan dari biaya penggunaan bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas.
Ada sekitar US$8 miliar (3,3 persen dari total PDB dunia) hilang setiap hari akibat berkurangnya harapan hidup, kelahiran prematur, dan penyakit yang akhirnya memberi efek domino berupa kunjungan ke rumah sakit, hilangnya pekerjaan, serta beban keuangan akibat penyakit.
"[Polusi bahan bakar fosil] menyebabkan 40 ribu kematian anak-anak di bawah usia 5 tahun, dan mengakibatkan hilangnya 1,8 miliar hari kerja akibat penyakit terkait PM2.5," tulis Greenpeace.
Namun, statistik jumlah kematian atau kerugian materiil itu bagi sebagian orang tampak tak nyata. Sebab, ia terlihat hanya seperti deretan angka-angka belaka. Maka sebuah studi dari Berkeley Earth membuat perbandingan nyata polusi udara yang disandingkan dengan rokok.
Dengan begitu, orang akan lebih mudah menakar dampak buruk kesehatan dari polusi udara, sebab terlihat dari jumlah "batang rokok" yang diekuivalen.
Peneliti dari studi ini, Richard A. Muller dan Elizabeth A. Muller, menunjukkan bahwa di China, 1,6 juta orang meninggal setiap tahun akibat paparan rata-rata 52 μg/m3 PM2.5.
Mereka lalu menganalisis data tersebut dengan rasio kematian per tahun terhadap rokok terjual per tahun, yakni 0,00000137 atau dinyatakan dalam notasi ilmiah 1,37 x 10-6. Dengan kata lain, ada 1,37 kematian setiap tahun untuk setiap sejuta batang rokok yang diisap.
“Untuk membunuh 1,6 juta orang—dengan asumsi 1,37 x 10-6 kematian per batang—diperlukan 1,1 triliun batang rokok. Karena populasi China adalah 1,35 miliar, berarti setiap tahun per orang butuh 864 batang rokok, atau setara 2,4 batang per hari,” tulis kedua peneliti itu.
Jadi rata-rata orang di China yang biasanya menghirup 52 μg/m3 polusi udara, menerima dampak kesehatan yang setara dengan merokok 2,4 batang rokok per hari.
"Dengan kata lain, 1 batang rokok setara dengan polusi udara PM2.5 sebesar 22 µg/m³ selama satu hari," tulis studi tersebut.
Dengan notasi yang sama, mari kita bandingkan polusi udara di kota-kota Indonesia.
Pada 2021, konsentrasi rata-rata PM2.5 di Jakarta sebagai kota paling berpolusi mencapai 33 µg/m³. Artinya, setiap orang di Jakarta pada tahun tersebut rata-rata mendapat paparan polusi udara setara 1,5 batang rokok.
Sementara kota paling bersih, yakni Indralaya di Sumatera Utara, punya paparan PM2.5 mencapai 17 µg/m³ atau setara 1,3 batang rokok.
Tidak seperti rokok yang sebarannya terbatas, polusi udara menjangkau setiap kelompok umur, mulai dari anak hingga dewasa.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi