tirto.id - Kepada reporter ABC, Hary Tanoesoedibjo menyampaikan niat maju sebagai presiden pada Pilpres 2019. Ia ingin mengikuti jejak rekan bisnisnya, Donald Trump, yang menjadi Presiden Amerika Serikat.
“If there is no one I can believe who can fix the problems of the country, I may try to run for president. Not for myself, for the country,” katanya.
Wawancara itu dilakukan oleh ABC pada Februari 2017. Saat itu HT, begitu ia disapa, sudah memiliki modal politik penting yakni Partai Perindo, meski belum lolos verifikasi.
Namun, ambisi HT sebagai presiden itu tidaklah mulus. Ia terganjal Undang-Undang Pemilu yang mengharuskan partai pengusung presiden mendapat kursi minimal 20 persen di Senayan. Ini yang belum dimiliki oleh Perindo. Meski demikian, kader-kader Perindo masih berharap HT maju, ketika ada revisi.
Kabar HT maju sebagai presiden itu harus terkubur sekali lagi. Nama HT kembali menjadi sorotan media ketika ia terjerat kasus dugaan ancaman melalui SMS kepada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Yulianto. Pada tanggal 5, 7, dan 9 Januari 2016, HT mengirim pesan singkat sebagai berikut:
Mas Yulianto, kita buktikan siapa yang salah dan siapa yang benar. Siapa yang profesional dan siapa yang preman. Anda harus ingat kekuasaan itu tidak akan langgeng. Saya masuk ke politik antara lain salah satu penyebabnya mau memberantas oknum-oknum penegak hukum yang semena-mena, yang transaksional yang suka abuse of power. Catat kata-kata saya di sini, saya pasti jadi pimpinan negeri ini. Di situlah saatnya Indonesia dibersihkan.
Setahun kemudian kasus itu mencuat. Pada 12 Juni 2017, HT dipanggil Bareskrim Polri untuk diperiksa sebagai tersangka.
Kasus yang menjerat HT menjadi titik balik. Tiba-tiba HT menyatakan bahwa partai Perindo akan mendukung Jokowi pada Pilpres 2019 mendatang. Keputusan itu akan ditetapkan pada Rakernas Perindo. Keputusan itu resmi diumumkan HT pada 21 Maret 2018 saat Rapimnas II Partai Perindo di Jakarta.
“Tapi kita prajurit, tidak ada ambisi pribadi, sehingga kalau tugas siap. Tapi, kalau ada yang lebih baik, silakan yang lain yang lebih baik,” kata HT.
Karier Politik Hary Tanoe
Ambisi Hary Tanoesodibjo untuk terjun ke politik bukan kali pertama ini saja. Pada 9 Oktober 2011, HT pertama kali memutuskan masuk ke partai politik. Ia memilih NasDem sebagai tempat berlabuh. Ia langsung mendapat jabatan sebagai ketua dewan pakar.
Tak sampai dua tahun di NasDem, HT memutuskan keluar. Saat itu Surya Paloh memutuskan mengambil alih partai dengan menjadi ketua dewan pembina sekaligus ketua umum partai. Tepat pada 21 Januari 2013, HT mundur.
Belum genap sebulan, HT langsung memutuskan gabung dengan Hanura yang waktu itu baru didirikan oleh mantan Panglima TNI Wiranto. Ia resmi menjadi kader Hanura pada 17 Februari 2013. Pada bulan yang sama, HT sudah menyiapkan ormas Perindo yang membikin daya tawarnya naik.
Setahun sebelum Pemilu 2014, ia sempat mendeklarasikan diri bersama Wiranto untuk maju sebagai calon presiden dan wakil presiden. Namun, di tengah jalan, Wiranto putar haluan mendukung Joko Widodo. HT sebaliknya: ia memilih mendukung Prabowo Subianto. Dan pilihan HT kalah.
Arya Sinulingga, ketua bidang media dan komunikasi Perindo, mengatakan pengalaman politik bosnya itu bukanlah sesuatu yang "buruk", melainkan "proses politik."
Pengalaman itu yang akhirnya membuat HT memutuskan membuat partai sendiri. Ia mendeklarasikan ormas Perindo menjadi partai pada 7 Februari 2015. Pilihan ini menjadi yang paling realistis untuk mewujudkan ambisinya menjadi orang nomor satu di Indonesia.
Namun, lagi-lagi HT harus menerima kenyataan; partai baru belum memungkinkan untuk mengajukan presiden. Ia harus berkoalisi dengan partai-partai lain.
Pilihan Mendukung Jokowi
Perindo segera berbalik arah dan mendukung penguasa. Pilihan ini membuahkan hasil yang cukup baik. Survei Cyrus Network menunjukkan elektabilitas Perindo bisa mengalahkan empat partai lawas: PKS, NasDem, PAN, dan Hanura. Survei itu dilakukan pada 27 Maret sampai 3 April 2018, hanya selang beberapa hari setelah Perindo mendeklarasikan dukungan untuk Jokowi.
Berdasarkan survei itu, elektabilitas Perindo mencapai 4,3 persen, disusul PKS (3,5 persen), NasDem (3,3 persen), PAN (1,5 persen), dan Hanura (1 persen). Elektabilitas PSI, yang lebih dulu mendukung Jokowi, hanya 0,3 persen.
Pada saat bersamaan, nama HT terus stabil dalam survei calon presiden. Misalnya, pada Mei 2018, Lembaga Survei Alvara Research Center merilis survei yang menunjukkan HT masih bertengger di lima besar capres.
Posisi nomor 1 masih ditempati Jokowi dengan 46,8 persen, disusul Prabowo 27,2 persen, dan Gatot Nurmantyo dengan 2,2 persen. Nama selanjutnya adalah HT dengan 1,3 persen, disusul oleh Anies Baswedan sebesar 1,2 persen.
Meski demikian, hasil survei itu tidak lantas membuat HT bisa memiliki daya tawar lebih dalam koalisi dengan partai pendukung pemerintah. HT masih perlu bertarung dengan sejumlah nama seperti Agus Harimurti Yudhoyono (Demokrat), Airlangga Hartanto (Golkar), dan Chairul Tanjung (bos media CT Crop).
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam