tirto.id - Mangku Artika, 67 tahun, ketiban tambahan tugas di Pura Puseh Batuan, Kecamatan Sukawati, Gianyar. Tidak hanya menjadi pemimpin upacara agama Hindu Bali atau pemangku, Artika kini mengawasi turis-turis di pura desanya.
Begitu pula pada Minggu, 18 November lalu. Berpakaian serba putih dari kamen (sarung), baju, sampai udeng (ikat kepala), Artika menggenggam radio frekuensi pendek sebagai alat komunikasi. Ponsel genggam terselip di saku bajunya.
Siang itu Artika berkeliling pura. Sesekali ia menyapa tamu dalam aneka bahasa: Inggris, Spanyol, dan Cina. Namun, kadang-kadang juga ia menghalau turis-turis Cina dalam bahasa mereka.
“Dibandingkan tamu dari negara lain, turis Cina mula paling bengkung,” kata Artika dalam bahasa campuran Indonesia dan Bali. Artinya, turis Cina memang paling tidak bisa diberitahu.
Tak berapa lama, mantan guru SD itu pun berkata kepada sepasang turis Cina. Artika menyuruh mereka untuk turun dari lantai salah satu balai yang dilarang diinjak oleh turis. Kedua turis itu pun pergi, membaur bersama ratusan turis lain.
“Itu contohnya. Sudah dikasih tahu tidak boleh naik, mereka tetap naik. Makanya saya harus rajin-rajin berkeliling dan melihat mereka,” lanjut Artika.
Pura Puseh Batuan, sekitar 20 km dari Denpasar, termasuk salah satu objek wisata yang menjadi tujuan turis ke Bali. Sejak sekitar 20 tahun lalu, pura yang menurut warga setempat dibangun pada 1022 ini tak hanya jadi tempat sembahyang umat Hindu desa itu tetapi ramai oleh kunjungan turis.
Dalam sehari, sekitar 2.000 turis berkunjung ke sini. Tiga tahun terakhir, turis Cina yang paling susah diatur itulah yang paling banyak berkunjung ke Pura Desa Batuan, lebih dari 70 persen.
Paket Masalah Wisata Murah Turis Cina
Banyak turis Cina di Pura Desa Batuan mencerminkan kondisi pariwisata Bali saat ini. Hingga September tahun ini, Negara Tirai Bambu mengirim hampir 1,1 juta turis dari total 4,6 juta turis di pulau ini. Dengan jumlah 23,4 persen, turis Cina menggeser Australia (19 persen) yang selama ini menyumbang paling banyak turis ke kiblat pariwisata Indonesia ini.
Namun, di balik jumlah yang terus bertambah, turis Cina mulai mendatangkan sejumlah masalah, seperti jual beli kepala, harga terlalu murah alias diobral, sampai maraknya pemandu wisata ilegal.
Jual beli kepala merujuk praktik pemberian komisi kepada agen perjalanan (travel agent) dari pemilik toko oleh-oleh di Bali berdasarkan jumlah turis yang mereka bawa ke toko tersebut.
“Semakin banyak toko yang dimasuki turis, semakin banyak subsidi yang diperoleh travel agent. Kemungkinan dapat komisi juga lebih banyak,” kata Benny Fonda, pemandu wisata khusus turis Cina di Bali.
Masalahnya, toko suvenir di Bali itu pun hanya dimonopoli toko tertentu.
Menurut Ketua Bali Tourism Board Ida Bagus Agung Partha Adnyana, ada empat grup besar milik investor Cina dan Jakarta yang bermain di toko oleh-oleh ini. Merekalah yang menguasai pasar oleh-oleh khusus turis dari Cina. [Dalam berita ini, 10 November lalu, ada empat toko utama yang dikirimi surat teguran oleh pemerintah setempat untuk ditutup usahanya: Lisa Game Stone dan Maharaja Latex Bali (keduanya beralamat di Jl By-Pass Ngurah Rai), PT Citra Interbuana Multi Rasa (Jl. Sunset Road), dan PT Mutiara Venus Bali (di ITDC, Nusa Dua).]
Praktik monopoli pasar oleh-oleh khusus turis Cina ini termasuk masalah baru dalam pariwisata Bali. Lobi oleh toko oleh-oleh kepada agen perjalanan adalah hal biasa. Pada saat itu, toko-toko suvenir akan mengirim perempuan penjaja produk (SPG) untuk merayu para agen perjalanan agar membawa tamunya ke toko mereka.
Sebagai imbalan, pihak toko suvenir akan memberikan komisi antara 2,5–3 persen dari tiap tamu yang datang.
Ketika pariwisata Bali makin berkembang, investor dari Cina dan Jakarta mulai membangun toko suvenir di Bali. Mereka tak lagi bermain di agen perjalanan di Bali, tetapi langsung ke Cina untuk menawarkan diskon.
“Mereka main ke hulu langsung,” kata Benny.
Pihak agen perjalanan di Cina mendapatkan keuntungan melalui komisi. Tak itu saja, pihak toko bahkan memberikan subsidi perjalanan bagi para turis dari Cina agar belanja di toko mereka. Di sisi lain, mereka mendapatkan keuntungan karena agen perjalanan di Cina sudah mengatur jadwal perjalanan sedemikian rupa dengan belanja termasuk di menu wajibnya.
“Program tur ke toko sudah diatur agen perjalanan di Cina. Agen lokal tidak bisa menolak lagi,” lanjut Benny.
Berdasarkan penelusuran Bali Tourism Board, ada sekitar 20 toko di Bali yang memonopoli sistem tersebut. Toko-toko itu dikuasai empat grup besar dengan investor dari Cina dan Jakarta. Mereka berada di pusat pariwisata Bali, seperti Nusa Dua dan Kuta.
Masalahnya, menurut Agung Partha, 99 persen barang-barang suvenir itu buatan Cina. Jenisnya pun aneh-aneh, termasuk perlengkapan tidur sampai perabotan rumah tangga. Tak ada produk dari Bali sama sekali.
“Kadang-kadang mereka hanya beli dan transaksi di sini, tetapi barangnya diambil di negaranya sendiri. Di Bali hanya untuk display,” kata A Mien, salah satu pemandu berbahasa Cina di Bali.
Menurut A Mien, praktik jual beli kepala itu merugikan pemandu seperti dirinya karena semua sudah diatur operator perjalanan (tour operator) dari Cina. Sebagai pemandu, ia hanya mengikuti agenda yang sudah dibuat termasuk lokasi belanja dan jam-jamnya.
“Komisi dari pembelian di toko juga langsung lari ke Cina. Kami sama sekali tidak dapat,” kata pemandu asal Medan ini.
Kerugian untuk Bali Ditaksir Rp5 Triliun per Tahun
Dengan sistem jual beli kepala itu, agen perjalanan bisa menekan harga yang dikenakan kepada turis karena mereka mendapatkan keuntungan dari toko-toko di Bali. Pariwisata Bali pun diobral alias dijual murah kepada turis dari Cina.
Elsye Deliana, Ketua Bali Liang, mengatakan tiga tahun belakangan harga paket perjalanan wisata dari Cina ke Bali semakin murah. Dari semula Rp2 juta per turis, saat ini hanya Rp1,5 juta untuk paket perjalanan selama lima hari empat malam.
Bahkan, ada paket perjalanan yang hanya mengenakan tarif Rp600 ribu per orang. Tarif normal bagi perjalanan wisata di Bali selama lima hari empat malam sekitar 600 dolar AS atau sekitar Rp9 juta.
“Kasarnya, Bali dijual sangat murah di Tiongkok oleh agen-agen tertentu. Ini sudah tidak sehat,” kata Elsye seperti ditulis Nusa Bali.
Bali Liang merupakan organisasi agen perjalanan khusus turis Mandarin. Organisasi ini bagian dari Asosiasi Agen Perjalanan Indonesia (ASITA) Bali.
Ketua ASITA Bali I Ketut Ardana mengatakan praktik mengobral Bali ke turis Cina sebenarnya sudah berlangsung lama. Namun, tidak terlalu masalah ketika jumlahnya belum banyak. Begitu jumlah mereka sudah mencapai 24 persen dari total turis ke Bali, mulailah terasa dampak-dampak itu.
Menurut Ardana, praktik paket pariwisata murah bisa berdampak buruk terhadap pariwisata Bali karena Bali jadi terkesan "murahan." Dalam jangka panjang juga bisa menimbulkan kerugian. Tidak hanya secara citra, Bali bisa kehilangan pundi-pundi dolar dan yuan.
Agung Partha dari Bali Tourism Board memberikan data, jumlah kerugian Bali secara nominal mencapai Rp5 triliun per tahun dari paket wisata murahan ala agen perjalanan turis Cina tersebut.
Angka itu diperoleh dari estimasi kehilangan jumlah pengeluaran turis per hari yang seharusnya bisa mencapai 100 dolar per hari.
“Bayangkan, kita dirampok segitu tiap tahun. Siapa yang tidak marah coba?” ujarnya.
Ia menambahkan praktik buruk oleh turis Cina menjadi tanda kian rusak pariwisata Bali. “Kan sudah mulai gatal itu. Sudah (jadi) borok...”
Pemerintah Provinsi Bali sendiri sudah mengambil tindakan tegas terhadap toko-toko suvenir Cina yang dianggap beroperasi secara tidak wajar tersebut.
Pada pertengahan November lalu, Gubernur Bali I Wayan Koster memerintahkan penutupan 16 toko jaringan Cina.
“Karena ditemukan tidak berizin, saya mengambil keputusan tegas menutup usaha yang melakukan praktik tidak sehat ini,” kata Koster.
======
Laporan ini ditulis oleh Anton Muhajir, kontributor lepas Tirto di Denpasar
Penulis: Anton Muhajir
Editor: Fahri Salam