Menuju konten utama
I Nyoman Darma Putra

"Travel Wisata Murah Bikin Rugi Turis dan Bali"

Bali mulai menghadapi dampak balik dari pariwisata, seperti makin banyak kemacetan, sampah, dan gangguan keamanan.

I Nyoman Darma Putra, pakar pariwisata Bali. tirto.id/Sabit

tirto.id - Bagi sebagian kalangan, banjir turis Cina di Bali dengan praktik tidak wajarnya dianggap menjadi penanda kian menurunnya kualitas pariwisata Bali. Masa tinggal (length of stay) makin rendah. Pengeluaran makin sedikit. Plus sejumlah dampak lain, seperti urbanisasi, sampah, dan kemacetan.

Profesor Dr. I Nyoman Darma Putra, pakar kajian pariwisata Bali, membagi pendapatnya ketika diwawancarai pekan lalu di Denpasar. Darma Putra menulis beberapa buku tentang pariwisata, termasuk Terrorism and Tourism in Bali and Southeast Asia (2009) bersama Michael Hitchock, dan A literary mirror: Balinese reflections on modernity and identity in the twentieth century (2011).

Berikut obrolan saya dengan mantan wartawan dan editor Jurnal Magister Pariwisata (JUMPA), tempat publikasi kajian-kajian pariwisata Bali maupun Indonesia, ini.

Bagaimana melihat banjir turis Cina di Bali dua tahun terakhir?

Ini memang sesuatu yang dilematis. Di satu sisi pemerintah melalui Kementerian Pariwisata menargetkan 20 juta turis datang ke Indonesia tahun depan. Karena pasar Cina juga tumbuh pesat seiring pertumbuhan ekonominya, maka mereka berkontribusi pada pemenuhan target itu.

Sebagai sumber pasar, turis Cina penting untuk memenuhi target wisatawan asing 20 juta. Namun, di sisi lain, praktik bisnis turis Cina memang bermasalah.

Pertama, mereka diurus langsung oleh travel agent dari Cina dan kemudian digiring ke toko-toko [suvenir] jaringan Cina. Mereka membayarnya dengan aplikasi buatan Cina, semacam WeChat Pay. Saya tidak mempersoalkan sistem pembayaran, tetapi sistem perdagangan mereka bermasalah.

Kalau pakai WeChat Pay untuk membeli produk lokal sih tidak masalah. Ini kan tidak. Beli produk Cina, beli di Indonesia, dan barangnya di Cina. Kita tidak dapat apa-apa.

Kedua, praktik jual beli murah turis Cina ini juga cenderung menipu. Murah di depan, tetapi mencekik di belakang. Ada yang katanya jual beli turis hanya Rp600 ribu untuk lima hari empat malam? Itu tidak masuk akal.

Namun, praktik itu menjadi logis karena para travel agent mendapatkan keuntungan dari komisi yang mereka peroleh di toko-toko jaringan Cina. Harga barang dinaikkan sementara turis-turis Cina itu tidak punya pilihan untuk menolak karena paket perjalanannya sudah diatur sedemikian rupa.

Apa dampaknya kepada pariwisata Bali?

Saya setuju praktik ini merusak citra pariwisata Bali. Pengalaman turis Cina tidak baik bagi mereka karena mereka juga menjadi korban praktik pariwisata yang tidak transparan. Berbohong dalam dagang itu biasa, tetapi kalau masif dan terstruktur ya bahaya. Turis Cina bisa kecewa. Bali bisa kena citra buruk di mata mereka.

Praktik tidak wajar ini hanya terjadi di Bali?

Tidak juga. Ini praktik biasa di mana-mana, termasuk di Cina dan Korea. Berdasarkan pengalaman saya sendiri, ketika liburan ke Korea atau Cina, kita akan digiring untuk berkunjung ke rumah obat herbal atau toko teh dan ginseng. Operator perjalanan mengatur sedemikian rupa agar kita hanya mengikuti kemauan mereka. Jika tidak hati-hati kita bisa menjadi korban permainan mereka dengan membeli barang-barang yang belum tentu berguna.

Ada teman yang kemudian membeli obat herbal sampai Rp7 juta. Begitu keluar toko, dia langsung menyesal karena baru sadar dia merasa diperas.

Hal sama terjadi di destinasi pariwisata dunia lain, seperti Thailand dan Australia. Turis Cina menimbulkan masalah di beberapa tempat, seperti Thailand.

Apa dampak positifnya bagi Bali?

Dampak positifnya pada kenaikan jumlah kunjungan turis asing di Bali. Jumlahnya terus bertambah dari tahun ke tahun. Namun, dampak buruknya juga perlu diantisipasi. Dengan harga jual terlalu murah untuk turis Cina, kualitas pariwisata juga jadi menurun.

Di sisi lain, terlalu banyak turis Cina di Bali juga mulai mengundang keluhan turis dari negara-negara lain. Akhirnya, dua-duanya rugi, baik turis maupun Bali.

Itu menunjukkan menurunnya kualitas pariwisata Bali?

Sebagai daerah tujuan pariwisata, Bali masih menarik. Hal itu bisa dilihat dari jumlah turis asing yang terus bertambah. Di sebagian tempat, produk pariwisata dengan harga-harga mahal juga masih ada, seperti hotel di kawasan Nusa Dua atau Ubud.

Kalau jumlah turis terus meningkat dan harga bagus, maka pariwisata Bali bisa menuju berlanjut (sustainable).

Meskipun demikian, Bali mulai menghadapi reverse multiplier effects alias dampak balik dari pariwisata, seperti makin banyak kemacetan, sampah, dan gangguan keamanan. Ini sebenarnya wajar terjadi selama bisa ditangani dengan baik, tetapi berbahaya jika tidak dipecahkan masalahnya.

Apa yang perlu dilakukan pemerintah?

Mestinya pemerintah melakukan upaya-upaya tidak populer seperti membatasi jumlah turis atau bahkan menutup objek wisata yang cenderung mulai rusak. Kita bisa belajar dari Thailand yang berani menutup Pulau Maya (yang dipopulerkan Leonardo DiCaprio dalam film The Beach).

Dulu sempat ada gagasan agar Bali meniru Bhutan yang membatasi jumlah turis hanya 1 juta per tahun. Tujuannya untuk menjaga agar Bali tetap berkualitas. Toh, wacana itu menguap begitu saja.

Bali juga pernah punya kebijakan moratorium pembangunan hotel di Bali selatan karena dianggap sudah kelebihan pasokan (over supply). Nyatanya, kemudian bahkan ada izin untuk mereklamasi Teluk Benoa demi membangun sarana pariwisata di sana, meskipun kemudian izin itu ditolak.

Apakah memang pernah dihitung berapa kapasitas beban (carrying capacity) pariwisata di Bali?

Carrying capacity itu antara tidak bisa atau tidak mau dihitung. Karena para pelaku bisnis dan pengambil kebijakan pariwisata di Bali sudah tahu solusinya pasti tidak populer, seperti membatasi jumlah turis atau bahkan menutup objek wisata tertentu. Mereka tidak mau membahasnya.

Ini semacam penanda pariwisata Bali menuju akhir...

Tidak juga. Pariwisata Bali akan tetap jalan terus karena infrastrukturnya sudah bagus. Ada bandara dengan penerbangan tersambung ke tujuan-tujuan internasional. Banyak hotel milik jaringan global. Karena itu pariwisata Bali relatif cepat pulih kalau ada masalah.

Contohnya saat bom Bali. Banyak yang mengira pariwisata Bali akan mati akibat dua kali bom. Ternyata hanya sementara. Banyak pelaku bisnis internasional yang membantu karena mereka punya aset di Bali.

Namun, kita juga harus mengantisipasi apa yang tidak terlihat. Ketika jumlah turis terus bertambah, kita juga harus melihat berapa banyak turis yang membatalkan rencana perjalanan mereka ke Bali? Berapa banyak turis yang kecewa karena Bali mungkin tidak seperti yang mereka bayangkan?

Iklan pariwisata, kan, selalu lebih indah dari kenyataan sesungguhnya. Itu tidak hanya di Bali, tetapi juga terjadi di Venesia (Italia) atau Amsterdam (Belanda). Di iklan atau gambar, tempat-tempat itu begitu indah dan sepi. Begitu kita ke sana, ternyata tempatnya penuh sesak oleh turis lain. Hal sama sangat mungkin terjadi juga di Bali.

Jalan keluar paling mungkin untuk Bali saat ini?

Hal paling mungkin dilakukan adalah menjual paket wisata lebih mahal. Itu akan menjaga kualitas pariwisata Bali. Masalahnya, pemerintah (Bali) tidak bisa menentukan harga. Bali tidak bisa menentukan dirinya sendiri karena terlalu dikendalikan oleh pasar.

Baca juga artikel terkait TURIS CINA atau tulisan lainnya dari Anton Muhajir

tirto.id - Indepth
Reporter: Anton Muhajir
Penulis: Anton Muhajir
Editor: Fahri Salam