Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali.
Putu Wiadnyana sedang menanti kelahiran anak pertamanya, pertengahan Maret 2015. Tapi sarjana arsitektur ini tak bisa meninggalkan desa bukan karena alasan itu. Melainkan urusan tugas adat yang harus ia jalani selama 40 hari, tanpa jeda.
Tugasnya mengingatkan giliran jaga warga lain, dari rumah ke rumah. Tak boleh menggunakan alat komunikasi atau menempel jadwal. Inilah tradisi yang sudah berlangsung turun temurun.
“Setiap jam empat sore saya harus keliling untuk memberi tahu mereka bahwa nanti malam harus jaga di Balai Agung,” kata Putu sembari bertelanjang dada. Sebilah keris menyembul dari pinggangnya yang dibalut kain putih.
Yang disebut Balai Agung adalah balai-balai sepanjang 25 meter dan lebar sekitar lima meter. Tempat ini terlarang bagi siapa pun kecuali warga adat Desa Tenganan Pegringsingan yang jumlahnya tak lebih dari 630 jiwa atau 222 kepala keluarga. Adapun 4.170 orang lainnya (sekitar 2.000 KK) adalah warga yang tak termasuk warga adat. Di antara mereka adalah sejumlah orang yang pernah melanggar aturan adat atau orang luar yang diminta tinggal untuk keperluan upacara.
Setiap jam sembilan malam, ada pertemuan para tetua adat atau Krama Desa yang membahas berbagai persoalan yang terjadi hari itu dan yang akan dihadapi esok hari. Mirip rapat koordinasi harian di sebuah instansi atau korporasi. Sebuah saluran televisi berbayar dipasang di sana.
Tenganan Pegringsingan sendiri memang sebuah entitas ekonomi.
Setiap tahun, rata-rata turis yang berkunjung mencapai 46.000 orang. Bahkan pernah mencapai 52.000 orang. Semua tercatat di buku daftar tamu yang terletak di pos pintu masuk desa. Tak ada tarif yang diberlakukan seperti di Tanah Lot, misalnya.
“Di sini sukarela. Semua sumbangan masuk sebagai dana desa. Tidak ada yang ke pemerintah. Ada yang berkontribusi seratus ribu untuk satu orang, tapi banyak juga turis yang tidak menyumbang.,” kata Nyoman Suwita alias Domplong sambil tertawa.
Tanah Milik Bersama
Tapi bukan itu omzet utama Tenganan. Tulang punggung ekonomi warganya terletak pada 917 hektare tanah yang tak pernah berkurang karena larangan memperjualbelikan.
“Pernah ada warga yang berusaha menjaminkan tanah adat ke bank untuk membeli mobil. Lalu saat hendak disita, kami tebus dulu dari bank. Urusan dengan yang bersangkutan, belakangan,” tutur I Wayan Sudarsana, salah satu dari enam pasang Krama Desa.
Dari 917 hektare itu, 255 hektare di antaranya adalah sawah yang ditanami padi dengan masa panen lima bulan sekali.
Menurut Wayan, setiap satu hektare sawah di Tenganan rata-rata menghasilkan 4-5 ton gabah. Dengan asumsi harga gabah kering panen Rp4.000 per kilogram, maka setiap tahun omzet dari sawah saja mencapai Rp10 miliar.
Itu belum termasuk hasil hutan dan kebun dari 580 hektare lainnya. Dari sana dihasilkan durian, kelapa, nanas, kopi, aren, hingga mahoni dan albasia.
Namun semua hasil panen di Tenganan dibagi dua dengan komunitas petani penggarap yang bermukim di luar desa. Sebagian mereka adalah pengungsi letusan gunung Agung tahun 1963 yang kini telah beranak pinak.
Tak heran bila dalam rencana pembangunan sebuah jalan, misalnya, para Krama Desa Tenganan sedang berembuk apakah akan menunggu dana dari pemerintah, mencari sponsor, atau menggunakan uang sendiri. Setiap pilihan mengandung konsekuensi. Sebab, jalan tersebut melintas di tengah wilayah hutan dan tanah adat. Inilah topik paling aktual yang dibahas setiap malam di Balai Agung, di bulan Maret 2015 lalu.
“Kami bersyukur ada aturan adat seperti itu. Bila tanah Tenganan boleh di-Sertifikat Hak Milik-kan, mungkin sekarang sudah habis diborong investor untuk membangun hotel atau vila,” papar Nyoman Sadra, salah seorang tokoh desa yang kini memberi layanan pengobatan akupuntur tanpa mematok biaya.
Konsep kepemilikan bersama ala ekonomi sosialis ini bahkan berlaku hingga ke buah hasil hutan.
Seseorang yang menanam pohon seperti durian atau kemiri, belum tentu dapat memiliki buahnya. Sebab, buah hanya dapat diambil atau dimiliki bila jatuh dari pohon. Tak heran bila di musim panen durian, warga Tenganan berbondong-bondong menginap di hutan untuk menunggui buah jatuh. Itulah konsep panen bersama.
“Jangan heran kalau di Tenganan ada orang beli durian dari pohonnya sendiri. Kami memang sosialis,” kata Domplong terkekeh.
Semua Investor, Semua Karyawan
Putu Wiadnyana membuka gerbang bangunan yang merupakan pusat informasi desa. Selepas menjalankan tugas adat, kini saatnya ia menjalankan tugas sebagai ketua koperasi. Di bangunan itu ada galeri foto dan kantor Koperasi Serba Usaha. Lewat badan hukum itulah, Tenganan menjadi salah satu dari lima pemegang saham Jaringan Ekowisata Desa (JED).
Empat pemegang saham lainnya adalah desa adat Dukuh Sibetan (Karangasem), Kiadan Pelaga (Badung), Nusa Ceningan (Nusa Penida), dan Yayasan Wisnu. Yang terakhir disebut adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang ikut membidani konsep jaringan desa wisata ini.
“Yang kami jual adalah pengetahuan dan pengalaman budaya. Ini berbeda dengan konsep turisme masal yang dijalankan biro perjalanan, di mana tamu hanya diajak jalan-jalan, melihat-lihat dan foto-foto,” kata Gede Astana Jaya, manager di JED.
Selama 15 tahun, Gede pernah bekerja di industri pariwisata umum, termasuk di sebuah vila di daerah Kerobokan.
“Kami yang punya budaya dan alamnya, tapi kami hanya menjalankan bisnis orang lain. Konsep JED mengembalikan esensi model bisnis pariwisata yang berbasis masyarakat,” katanya memberi alasan mengapa ia pindah.
Sejatinya JED menjalankan praktik lazimnya jasa wisata. Melalui website, mereka menjual paket wisata ke empat desa yang menjadi pemegang sahamnya. Tarifnya mencapai 75 dollar per orang per hari. Bila bermalam, tarifnya menjadi dua kali lipat.
Yang membedakan adalah bagaimana uang itu didistribusikan dan apa yang akan diperoleh turis dalam paket ini.
Seorang yang berkunjung ke Tenganan Pegringsingan lewat jalur JED, misalnya, akan didampingi pemandu lokal yang fasih menceritakan sejarah, filosofi, dan kebudayaan Tenganan seperti Domplong atau Putu. Di pagi hari, mereka akan berjalan-jalan ke sawah dan hutan sambil mendengarkan cerita tentang konsep kepemilikan tanah dan hasil hutan.
Siang harinya, tersaji hidangan khas ala Tenganan yang dimasak oleh koki-koki lokal. Lalu mereka akan melihat tangan-tangan terampil penenun gringsing atau penulis naskah lontar aksara Bali kuno.
“Kalau tidur di hotel itu sudah terbayang besok pagi bentuk kamarnya seperti apa, suasanya seperti apa. Tapi kalau tidur di desa, apa saja bisa terjadi kan?” seloroh Gede sembari menunjukkan email dari sebuah keluarga di Korea yang ingin menginap di desa Pelaga, agar anaknya berinteraksi dengan anak-anak setempat.
Dengan tarif yang dipatok, sekitar 60 persen akan menjadi biaya langsung seperti kendaraan, pemandu lokal, tukang masak, bahan makanan dan kontribusi untuk desa. Pendapatan itu langsung dinikmati warga di lokasi. Sisanya dikelola manajemen untuk operasional sepetak kantor dengan dua orang staf, serta deviden.
Tahun lalu, misalnya, JED membukukan keuntungan bersih Rp50 juta rupiah yang, setelah dikurangi biaya manajemen dan pelatihan, setiap desa adat memperoleh deviden Rp3-4 juta.
“Tentu jumlahnya jauh dibandingkan pendapatan masing-masing desa adat dari kontribusi turis lewat jalur umum. Tapi esensinya adalah ini milik kami sendiri dengan konsep pariwisata yang pas menurut kami,” pungkas Gede.
Sebagai ketua koperasi di Tenganan, Putu juga tak terlalu hirau dengan jumlah deviden yang diterima desanya dari JED. Dibanding 46.000 turis yang datang langsung setiap tahun, pendapatan koperasinya dari jalur JED yang hanya Rp4 juta per tahun, tentu bukan tandingan.
“Pariwisata itu bagi kami adalah bonus. Tujuan utamanya adalah mengingatkan kami warga lokal, untuk merawat budaya dan alam. Tanpa turis pun, misalnya, kami akan bertahan. Dengan skema ini, kita semua adalah investor, kita semua adalah karyawan,” tandasnya.
Tak berlebihan bila pada 1933, antropolog VE Korn telah menulis buku “The Village Republic of Tenganan Pegringsingan”
“Desa ini bisa hidup seperti sebuah republik sendiri,” kata Domplong sembari memandang hamparan sawah.
Putu Wiadnyana sedang menanti kelahiran anak pertamanya, pertengahan Maret 2015. Tapi sarjana arsitektur ini tak bisa meninggalkan desa bukan karena alasan itu. Melainkan urusan tugas adat yang harus ia jalani selama 40 hari, tanpa jeda.
Tugasnya mengingatkan giliran jaga warga lain, dari rumah ke rumah. Tak boleh menggunakan alat komunikasi atau menempel jadwal. Inilah tradisi yang sudah berlangsung turun temurun.
“Setiap jam empat sore saya harus keliling untuk memberi tahu mereka bahwa nanti malam harus jaga di Balai Agung,” kata Putu sembari bertelanjang dada. Sebilah keris menyembul dari pinggangnya yang dibalut kain putih.
Yang disebut Balai Agung adalah balai-balai sepanjang 25 meter dan lebar sekitar lima meter. Tempat ini terlarang bagi siapa pun kecuali warga adat Desa Tenganan Pegringsingan yang jumlahnya tak lebih dari 630 jiwa atau 222 kepala keluarga. Adapun 4.170 orang lainnya (sekitar 2.000 KK) adalah warga yang tak termasuk warga adat. Di antara mereka adalah sejumlah orang yang pernah melanggar aturan adat atau orang luar yang diminta tinggal untuk keperluan upacara.
Setiap jam sembilan malam, ada pertemuan para tetua adat atau Krama Desa yang membahas berbagai persoalan yang terjadi hari itu dan yang akan dihadapi esok hari. Mirip rapat koordinasi harian di sebuah instansi atau korporasi. Sebuah saluran televisi berbayar dipasang di sana.
Tenganan Pegringsingan sendiri memang sebuah entitas ekonomi.
Setiap tahun, rata-rata turis yang berkunjung mencapai 46.000 orang. Bahkan pernah mencapai 52.000 orang. Semua tercatat di buku daftar tamu yang terletak di pos pintu masuk desa. Tak ada tarif yang diberlakukan seperti di Tanah Lot, misalnya.
“Di sini sukarela. Semua sumbangan masuk sebagai dana desa. Tidak ada yang ke pemerintah. Ada yang berkontribusi seratus ribu untuk satu orang, tapi banyak juga turis yang tidak menyumbang.,” kata Nyoman Suwita alias Domplong sambil tertawa.
Tanah Milik Bersama
Tapi bukan itu omzet utama Tenganan. Tulang punggung ekonomi warganya terletak pada 917 hektare tanah yang tak pernah berkurang karena larangan memperjualbelikan.
“Pernah ada warga yang berusaha menjaminkan tanah adat ke bank untuk membeli mobil. Lalu saat hendak disita, kami tebus dulu dari bank. Urusan dengan yang bersangkutan, belakangan,” tutur I Wayan Sudarsana, salah satu dari enam pasang Krama Desa.
Dari 917 hektare itu, 255 hektare di antaranya adalah sawah yang ditanami padi dengan masa panen lima bulan sekali.
Menurut Wayan, setiap satu hektare sawah di Tenganan rata-rata menghasilkan 4-5 ton gabah. Dengan asumsi harga gabah kering panen Rp4.000 per kilogram, maka setiap tahun omzet dari sawah saja mencapai Rp10 miliar.
Itu belum termasuk hasil hutan dan kebun dari 580 hektare lainnya. Dari sana dihasilkan durian, kelapa, nanas, kopi, aren, hingga mahoni dan albasia.
Namun semua hasil panen di Tenganan dibagi dua dengan komunitas petani penggarap yang bermukim di luar desa. Sebagian mereka adalah pengungsi letusan gunung Agung tahun 1963 yang kini telah beranak pinak.
Tak heran bila dalam rencana pembangunan sebuah jalan, misalnya, para Krama Desa Tenganan sedang berembuk apakah akan menunggu dana dari pemerintah, mencari sponsor, atau menggunakan uang sendiri. Setiap pilihan mengandung konsekuensi. Sebab, jalan tersebut melintas di tengah wilayah hutan dan tanah adat. Inilah topik paling aktual yang dibahas setiap malam di Balai Agung, di bulan Maret 2015 lalu.
“Kami bersyukur ada aturan adat seperti itu. Bila tanah Tenganan boleh di-Sertifikat Hak Milik-kan, mungkin sekarang sudah habis diborong investor untuk membangun hotel atau vila,” papar Nyoman Sadra, salah seorang tokoh desa yang kini memberi layanan pengobatan akupuntur tanpa mematok biaya.
Konsep kepemilikan bersama ala ekonomi sosialis ini bahkan berlaku hingga ke buah hasil hutan.
Seseorang yang menanam pohon seperti durian atau kemiri, belum tentu dapat memiliki buahnya. Sebab, buah hanya dapat diambil atau dimiliki bila jatuh dari pohon. Tak heran bila di musim panen durian, warga Tenganan berbondong-bondong menginap di hutan untuk menunggui buah jatuh. Itulah konsep panen bersama.
“Jangan heran kalau di Tenganan ada orang beli durian dari pohonnya sendiri. Kami memang sosialis,” kata Domplong terkekeh.
Semua Investor, Semua Karyawan
Putu Wiadnyana membuka gerbang bangunan yang merupakan pusat informasi desa. Selepas menjalankan tugas adat, kini saatnya ia menjalankan tugas sebagai ketua koperasi. Di bangunan itu ada galeri foto dan kantor Koperasi Serba Usaha. Lewat badan hukum itulah, Tenganan menjadi salah satu dari lima pemegang saham Jaringan Ekowisata Desa (JED).
Empat pemegang saham lainnya adalah desa adat Dukuh Sibetan (Karangasem), Kiadan Pelaga (Badung), Nusa Ceningan (Nusa Penida), dan Yayasan Wisnu. Yang terakhir disebut adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang ikut membidani konsep jaringan desa wisata ini.
“Yang kami jual adalah pengetahuan dan pengalaman budaya. Ini berbeda dengan konsep turisme masal yang dijalankan biro perjalanan, di mana tamu hanya diajak jalan-jalan, melihat-lihat dan foto-foto,” kata Gede Astana Jaya, manager di JED.
Selama 15 tahun, Gede pernah bekerja di industri pariwisata umum, termasuk di sebuah vila di daerah Kerobokan.
“Kami yang punya budaya dan alamnya, tapi kami hanya menjalankan bisnis orang lain. Konsep JED mengembalikan esensi model bisnis pariwisata yang berbasis masyarakat,” katanya memberi alasan mengapa ia pindah.
Sejatinya JED menjalankan praktik lazimnya jasa wisata. Melalui website, mereka menjual paket wisata ke empat desa yang menjadi pemegang sahamnya. Tarifnya mencapai 75 dollar per orang per hari. Bila bermalam, tarifnya menjadi dua kali lipat.
Yang membedakan adalah bagaimana uang itu didistribusikan dan apa yang akan diperoleh turis dalam paket ini.
Seorang yang berkunjung ke Tenganan Pegringsingan lewat jalur JED, misalnya, akan didampingi pemandu lokal yang fasih menceritakan sejarah, filosofi, dan kebudayaan Tenganan seperti Domplong atau Putu. Di pagi hari, mereka akan berjalan-jalan ke sawah dan hutan sambil mendengarkan cerita tentang konsep kepemilikan tanah dan hasil hutan.
Siang harinya, tersaji hidangan khas ala Tenganan yang dimasak oleh koki-koki lokal. Lalu mereka akan melihat tangan-tangan terampil penenun gringsing atau penulis naskah lontar aksara Bali kuno.
“Kalau tidur di hotel itu sudah terbayang besok pagi bentuk kamarnya seperti apa, suasanya seperti apa. Tapi kalau tidur di desa, apa saja bisa terjadi kan?” seloroh Gede sembari menunjukkan email dari sebuah keluarga di Korea yang ingin menginap di desa Pelaga, agar anaknya berinteraksi dengan anak-anak setempat.
Dengan tarif yang dipatok, sekitar 60 persen akan menjadi biaya langsung seperti kendaraan, pemandu lokal, tukang masak, bahan makanan dan kontribusi untuk desa. Pendapatan itu langsung dinikmati warga di lokasi. Sisanya dikelola manajemen untuk operasional sepetak kantor dengan dua orang staf, serta deviden.
Tahun lalu, misalnya, JED membukukan keuntungan bersih Rp50 juta rupiah yang, setelah dikurangi biaya manajemen dan pelatihan, setiap desa adat memperoleh deviden Rp3-4 juta.
“Tentu jumlahnya jauh dibandingkan pendapatan masing-masing desa adat dari kontribusi turis lewat jalur umum. Tapi esensinya adalah ini milik kami sendiri dengan konsep pariwisata yang pas menurut kami,” pungkas Gede.
Sebagai ketua koperasi di Tenganan, Putu juga tak terlalu hirau dengan jumlah deviden yang diterima desanya dari JED. Dibanding 46.000 turis yang datang langsung setiap tahun, pendapatan koperasinya dari jalur JED yang hanya Rp4 juta per tahun, tentu bukan tandingan.
“Pariwisata itu bagi kami adalah bonus. Tujuan utamanya adalah mengingatkan kami warga lokal, untuk merawat budaya dan alam. Tanpa turis pun, misalnya, kami akan bertahan. Dengan skema ini, kita semua adalah investor, kita semua adalah karyawan,” tandasnya.
Tak berlebihan bila pada 1933, antropolog VE Korn telah menulis buku “The Village Republic of Tenganan Pegringsingan”
“Desa ini bisa hidup seperti sebuah republik sendiri,” kata Domplong sembari memandang hamparan sawah.
***
Baca juga artikel terkait VIDEO - ARTA atau tulisan lainnya dari Taufik Subarkah
Editor: Taufik Subarkah