tirto.id - Sejarah Monas adalah sejarah pengumpulan massa. Lapangan Monas, waktu namanya masih Lapangan IKADA (Ikatan Atletik Djakarta), waktu tugu lingga-yoni bernama Tugu Monas belum berdiri, memang sudah jadi tempat unjuk kekuatan.
Sebulan lebih dua hari setelah Indonesia merdeka, lapangan ini berhasil menghimpun ribuan massa. Dari berbagai golongan agama. Bukan melulu ormas-ormas. Mereka tak membawa atribut apapun, hanya ingin mendengar pidato presiden republik yang mereka panggil: Bung.
Dari pagi, massa sudah berada di sekitar Monas. Tak jelas alat transportasi apa yang mereka gunakan. Bagi yang datang dari daerah terluar Jakarta, kendaraan paling canggih adalah mobil atau kereta api.
Mereka diajak oleh para pemuda Republiken, yakni Komite van Actie, yang tidak mungkin mendapat amplop dari presiden untuk mengumpulkan massa. Jangankan memberi amplop buat para pemuda itu, Soekarno yang sudah sebulan jadi presiden pun tak jelas gajinya.
Tanpa nasi bungkus, bahkan tanpa kepastian kapankah presiden akan pidato, massa tetap menunggu. Sejak pagi hingga sore. Palang Merah Indonesia (PMI) yang baru dua hari berdiri pun segera beraksi dengan peralatan dan perlengkapan yang sangat seadanya. Di belakang massa, anggota PMI bersiaga. Mereka mengantisipasi massa yang tidak kuat berdiri lama di tengah lapangan karena presiden tak kunjung datang.
Rupanya, Soekarno-Hatta dan beberapa pejabat lain enggan mengadakan pengumpulan massa dalam jumlah besar. Mereka takut tentara Jepang, yang kala itu masih ada di Jakarta dan menunggu pulang ke negerinya, akan murka dan terjadi pertumpahan darah. Ketika massa makin ramai, serdadu-serdadu Jepang dengan senapan panjang berbayonet plus kendaraan berlapis baja sudah berjaga di sana.
Sementara itu, massa tak mau pulang sebelum Presiden Soekarno berbicara pada mereka. Ini tentu dilematis bagi Soekarno. Akhirnya dengan susah payah, sekali lagi setelah Proklamasi, para pemuda berhasil membujuk Soekarno mengikuti keinginan mereka.
Keraguan para pemimpin itu karena masalah keamanan. Maka, ketika Soekarno dan pejabat lain sampai di IKADA, dengan nekad pemuda La Domeng membawa golok dan bersiaga menjaga Soekarno selama di sana. Lebih dari lima tahun setelah itu La Domeng terkenal dengan nama Kahar Muzakkar.
Menurut Aboe Bakar Loebis, dalam Kilas Balik Revolusi (1992), setelah berjam-jam menunggu, bahkan dari pagi, sore itu walau hanya lima menit saja, Soekarno pun mau berpidato singkat dalam Rapat Raksasa IKADA 19 September 1945 tersebut.
“....Sebenarnya Pemerintah Republik Indonesia telah memberikan perintah untuk membatalkan rapat ini. Tetapi karena saudara-saudara memaksa, maka saya datang kesini lengkap dengan menteri-menteri. Saya sekarang berbicara sebagai saudaramu, Bung Karno. Saya minta saudara-saudara tinggal tenang dan mengerti akan pimpinan yang diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia,” ucap Soekarno.
Dalam rapat raksasa tersebut, tak lupa Soekarno meyakinkan massa rakyat.
“Kalau memang saudara percaya kepada Pemerintah Republik Indonesia yang akan mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan ini, walaupun kami akan robek karenanya. Maka berikanlah kepercayaan itu kepada kami, dengan tunduk kepada perintah-perintah kami dan disipliner. Sesudah perintah kami ini, marilah kita sekarang pulang dengan tenang dan tentram...”
Akhirnya, massa puas. Meski tak ada nasi bungkus. Selesai presiden berpidato, massa rakyat membubarkan diri dan pulang dengan tenang.
Rapat raksasa ini, menurut Harry Albert Poeze dalam Tan Malaka Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 4 (2008), adalah prakarsa Tan Malaka yang bekerja diam-diam. Pengikut Tan Malaka yang tergabung dalam Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), melihat pemimpin macam Soekarno sebagai sosok yang peragu, padahal massa sudah berkumpul di Lapangan Ikada.
Melalui video dokumenter tentang rapat raksasa tersebut, Harry Poeze memperlihatkan sosok Tan Malaka akhirnya berani menampakkan diri di hadapan umum setelah sekian tahun bersembunyi di Banten. Tan Malaka tampil dengan kemeja lengan pendek, celana pendek, serta topi bambu ala mandor perkebunan zaman kolonial. Sang Pacar Merah berjalan bersama para pemimpin Republik ke arah podium.
Sayangnya, peristiwa rapat raksasa di lapangan Ikada ini kurang dikenal dalam buku sejarah di sekolah. Setelah peristiwa proklamasi, pembentukan TNI lebih banyak dijelaskan ketimbang gempita rapat raksasa IKADA 19 September 1945. Jikapun dibahas, peran Tan Malaka sebagai pemrakarsanya tak disebut.
Lapangan Monas, yang juga pernah dikenal sebagai Lapangan Gambir kebetulan letaknya di belakang Stasiun Gambir. Lapangan ini adalah saksi dari sekian kekacauan politik di Indonesia. Jelang 30 September 1965, di lapangan tersebut berkonsentrasi pasukan Raider Kostrad: Batalyon 454 dari Semarang Jawa Tengah dan Batalyon 530 dari Madiun Jawa Timur. Pasukan itu bisa digerakkan atas sepengetahuan Panglima Kostrad yang kala itu dijabat Mayor Jenderal Soeharto.
Sebagai pasukan di bawah kendali Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), mereka diangkut dan diisi perutnya dengan uang negara juga. Rupanya, tanpa sadar pasukan-pasukan yang dikemahkan di lapangan Monas itu, terutama yang berasal dari Jawa Tengah, dilibatkan dalam Gerakan 30 September 1965 yang dipimpin Letnan Kolonel Untung.
Supardjo, dalam buku John Roosa, Dalil Pembunuhan Massal (2008), pasukan Gerakan yang dipimpin Untung tersebut berantakan juga karena tak mendapat makan. Tak ada nasi untuk mereka. Maka, mereka yang berasal dari Jawa Tengah kembali lagi ke Monas. Saat kembali ke barak-barak mereka di Jawa Tengah, anggota-anggota dari pasukan tersebut kena sial. Ada yang dikeluarkan, ada juga yang kena screening.
Selain urusan pengerahan massa, lapangan Monas, yang ditumbuhi banyak rumput juga menjadi tempat indehoy. Ini berkat Gubernur Jakarta legendaris Ali Sadikin yang membuat lapangan dipenuhi taman dan rimbunnya pepohonan. Rumput-rumput dan tanaman di sana tentu untuk menciptakan suasana romantis.
“Saya bangun Lapangan Monas.... Saya sengaja melarang orang yang lagi pacaran diganggu. Awas lu ya, kalau mengganggu!” kata Ali Sadikin.
Jadi, Monas itu tempat berdemonstrasi atau berpacaran? Dua-duanya tentu boleh. Tidak dua-duanya juga boleh.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani