tirto.id - Jika anda menganggap Twitter, Facebook, atau media sosial lain riuh dengan ujaran kebencian, tunggu sampai anda jadi pengguna Gab. Inilah media sosial yang khusus dirancang untuk mengakomodir kebebasan bicara hingga batas paling maksimum, termasuk hujatan seekstrem apapun.
Gab didirikan pada 2016 oleh Andrew Torba dan Ekrem Buyukkaya, keduanya pengusaha yang juga jebolan Silicon Valley serta sama-sama pendukung Donald Trump. Platform tersebut mereka buat sebagai alternatif dari Twitter dan Facebook. Keduanya dianggap telah melakukan standar bias karena kerap menyensor ekspresi politik kalangan kaum kanan. Dalam suratnya kepada Buzzfeed News, Torba sempat menjelaskan mengenai bias sensor tersebut.
"Apa yang membuat ‘kaum kiri’ berhak memonopoli media sosial dan memberitahu kami apa itu 'berita' dan apa yang 'tren', lalu mendefinisikan apa arti ‘pelecehan’? Hal itu tidak terasa benar untuk saya, dan saya ingin mengubahnya, serta memberikan yang adil bagi orang lain."
Kendati demikian, Torba tetap menggarisbawahi bahwa Gab bukan platform khusus bagi kaum kanan, tetapi juga mengakomodir seiap kalangan. Sebagaimana yang pernah ia katakan kepada Fox News.
“Gab bukan untuk grup tertentu, ideologi, basis politik, ras, atau apapun. Semua orang diperkenankan mengekspresikan diri mereka di Gab. Sejak dari awal peluncuran kami menerima siapa saja, sebab kami membela kebebasan berekspresi. Hanya saja, belakangan banyak kaum kanan berkumpul di sini karena mereka sering kena sensor di platform lain."
Migrasi kaum kanan Amerika ke Gab memang banyak terjadi akibat sensor. Makin besar jumlahnya sejak Twitter menutup akun Tila Tequila, seorang pesohor di Amerika, usai ia mengunggah fotonya tengah berpose salam Nazi saat menghadiri konferensi kaum kanan di Washington, November 2016 lalu. Sebelumnya, Twitter juga menutup akun Milo Yiannopoulos, editor senior Breitbart, media ultra-konservatif yang kerap menyuarakan supremasi kulit putih Amerika, pada Juli 2016 lalu.
Di Gab pula Richard Spencer, pentolan kaum kanan-radikal-pembela-supremasi-kulit-putih-Amerika, juga bebas bercuap-cuap mengekspresikan kebenciannya terhadap kaum kulit berwarna. Sementara di level organisasi, juga terdapat Britain First, partai fasis di Inggris dan Generation Identity, organisasi berhaluan kanan khusus Eropa dan Amerika Utara. Semua contoh yang disebutkan itu adalah “seleb” di kalangan Gabbers, istilah bagi para pengguna Gab.
Setiap pengguna Gab memang betul-betul dibebaskan bercuap-cuap hingga 300 karakter untuk mengemukakan ujaran apapun, termasuk kebencian, tanpa perlu takut terkena suspended. Larangan berekspresi di Gab adalah seputar ancaman kekerasan, terorisme, pornografi anak, revenge porn, hingga doxing.
Namun, justru karena kebebasannya tersebut, beberapa media seperti Salon menganggap Gab sebagai “Twitter khusus orang-orang rasialis”. Sementara The Guardian menilai Gab sebagai “ruang yang penuh kebencian rasialisme dan teori konspirasi”. Dengan karakteristik seperti itu pula, tak heran jika Gab ditolak oleh iOS dan Android, sehingga para penggunanya hanya dapat mengakses media sosial tersebut melalui peramban.
Adapun jumlah user Gab sejauh ini berkisar di angka 400.000, berdasarkan data yang dilansir Venturebeat pada 7 Februari 2018. Namun jumlah sedikit tersebut terhitung loyal dan karenanya Gab terus bertahan. Di antara mereka yang loyal itulah terdapat nama Robert Bowers.
Dia adalah pelaku penembakan sinagoga Tree of Life Congregation di Pittsburgh, Amerika, yang menewaskan 11 umat Yahudi, Sabtu (27/10/2018) lalu.
RobertBowers dan Pengaruh DonaldTrump dalam Tragedi Pittsburgh
Bowers, 47 tahun, bukanlah tipikal keyboard warrior. Maka ketika Bowers mengunggah koleksi pistolnya sambil bercuit di Gab bahwa “Yahudi adalah anak-anak setan”, lalu menganggap HIAS (Hebrew Immigrant Aid Society, organisasi yang membantu pengungsi Yahudi masuk ke Amerika) “akan membawa penjajah untuk rakyat kita”, ia benar-benar melakukannya.
Kurang lebih empat jam usai ia mencuitkan hal itu, Bowers berangkat sendirian menyerbu sinagoga Tree of Life Congregation dengan bersenjatakan senapan serbu jenis AR-15 dan tiga buah pistol--yang ia sebut dengan istilah aneh, ‘keluarga Glock’--lalu menembaki para jemaat di dalamnya dengan membabibuta sambil berteriak: “Semua Yahudi harus mati!”.
Selain 11 orang tewas, insiden yang terjadi sekitar 20 menit itu juga melukai enam orang, empat di antaranya adalah polisi. Korban termuda bernama David Rosenthal dengan usia 54 tahun. Ia meninggal dunia bersama kakaknya, Cecil Rosenthal, yang berusia 59 tahun. Sementara korban tertua adalah Rose Mallinger, 97 tahun. Ada pula pasangan suami istri, Sylvan Simon (86 tahun) dan Bernice Simon (84).
Saat Bowers melakukan aksinya, di sinagoga tersebut kongregasi tengah melakukan kebaktian Hari Sabat di beberapa ruangan berbeda. Selain itu, di dalam gedung juga sedang berlangsung ritual khitanan bagi bayi dan anak laki-laki. Namun, aparat setempat telah memastikan anak-anak dan bayi tidak ada yang tewas atau terluka. Bowers akhirnya dapat dilumpuhkan setelah baku tembak dengan aparat.
Atas kejahatannya, Bowers diganjar 29 dakwaan, mulai dari pembunuhan dan kekerasan menggunakan senjata api, pelanggaran kebebasan beragama, mencegah warga melaksanakan kebebasan beragama yang berakibat pada kematian, kejahatan berlandaskan kebencian.
Sementara pihak Gab, melalui pernyataan resminya, turut mengutuk kebiadaban Bowers, namun mereka tetap menolak jika dianggap “berpartisipasi” dalam aksi tersebut. Bagi Gab, jika konteksnya adalah kejahatan, maka semua media sosial harusnya juga ikut disalahkan. “Para pelaku kriminal dan tindakan kriminal ada di setiap media sosial manapun”, demikian tulis mereka.
Menurut keterangan pihak kepolisian setempat, Bowers sebelumnya tak pernah punya rekam jejak kriminal apapun. Paling banter ia hanya pernah kena tilang dan tercatat memiliki izin aktif kepemilikan senjata api--sebuah hal yang sudah menjadi kelaziman di Amerika--sejak 1996. Namun Bowers punya satu hal yang membuatnya bisa bertindak biadab: stok kebencian tak terbatas, wabilkhusus kepada Yahudi.
Selain Yahudi, Bowers juga membenci Donald Trump. Baginya, Trump tidak pernah melakukan apapun sehingga imigran Yahudi terus menggerogoti Amerika. Untuk itulah ia tidak sudi memilih Trump. Poin ini juga sempat dicuitkan Bowers di akun Gab miliknya sebelum melakukan penembakan. "Sebagai catatan, saya tidak memilih dia, atau memiliki, mengenakan, atau bahkan menyentuh topi MAGA.”
Trump sendiri mengutuk tragedi penembakan tersebut dan mengatakan bahwa ini dilakukan leh kelompok anti-Semit (anti Yahudi). "Ini adalah tindakan anti-Semit! Tidak boleh ada toleransi untuk kelompok anti-Semit,” ujarnya seperti dilansir Vox. "Siapa pun yang melakukan hal seperti ini kepada orang-orang tak berdosa yang ada di kuil atau di gereja, mereka harus dibuat amat menderita. Mereka harus dihukum mati.”
Namun Trump tak hanya mengutuk dan mencaci. Sebagai presiden yang (ingin dianggap) bertanggung jawab, tentunya ia juga mengeluarkan solusi “jitu” agar tragedi serupa tidak terulang lagi. “Jika saja di sekitar kuil ada penjagaan dari aparat bersenjata, mereka pasti bisa menghentikan pelakunya.”
Sementara itu, berdasarkan data tahun 2017 yang dilansir Anti-Defamation League (organisasi Yahudi Internasional non-pemerintah yang berbasis di Amerika), sikap anti-semitik di negara tersebut memang meningkat 57% dibanding tahun sebelumnya.
Ironisnya, bagi kalangan Yahudi progresif di Amerika, salah satu penyebab meningkatnya jumlah kebencian ini justru karena bacot dan kelakuan Trump. Itulah kenapa mereka kemudian menolak kehadiran Trump ke Pittsburgh yang dikemukakan melalui sebuah surat berjudul ‘Letter to President Trump from Pittsburgh Jewish Leaders’.
“Selama tiga tahun terakhir, kata-kata dan kebijakan anda telah mendorong pesatnya pertumbuhan gerakan nasionalis kulit putih. Anda mengatakan si pelaku pembunuhan itu seperti iblis, tapi segala kekerasan yang terjadi kemarin jelas karena pengaruh anda.”
Editor: Nuran Wibisono