tirto.id - Ginanjar pernah terlibat perdebatan yang biasanya dialami remaja-remaja pria: lebih baik kencing berdiri atau kencing duduk?
“Aku dulu kencing berdiri. Rasanya aneh saja kalau mesti kencing jongkok atau duduk di jamban,” kenangnya.
Kebanyakan kawan-kawannya juga berpikiran sama. Bahkan beberapa kawannya yang lain menganggap kencing jongkok atau duduk akan melunturkan kualitas kejantanan mereka.
“Ada yang bilang gini: yang kencing jongkok mending potong aja,” Ginanjar menirukan omongan kawannya.
Tapi, satu-dua kawan lain berpendapat beda. Menurut mereka, kencing tak seharusnya berdiri. “Mereka lebih bawa-bawa (argumen) agama, sih. Karena di Islam, kan, dianjurkan untuk kencing jongkok,” kata Ginanjar. Supaya najis yang ada di air seni tak menyebar atau terpercik ke mana-mana.
Ginanjar sendiri sekarang mengaku lebih sering kencing duduk. Ia sempat membaca bahwa posisi saat kencing berpengaruh pada kesehatan tubuh pria. Ketika jalan-jalan di mal, misalnya, Ginanjar mengaku akan lebih memilih mengantre bilik yang ada jambannya, ketimbang kloset khusus pria yang memang disediakan untuk kencing.
Kebiasaan baru Ginanjar ini memang tepat. Menurut peneliti departemen urologi di Leiden University Medical Center di Belanda, kencing berdiri berpengaruh terhadap kesehatan prostat pria. Mereka mengumpulkan dan menganalisis sebelas studi untuk membandingkan efek kencing duduk versus berdiri. Penelitian itu mengerucut pada tiga kunci yang menjadi parameter urodinamik yang erat kaitannya dengan kesehatan prostat pria. Tiga hal itu di antaranya: laju alir maksimum urin, waktu buang air kecil, dan volume post-void (jumlah urin yang tersisa di kandung kemih).
Hasil meta-analisis mereka menunjukkan, pria dengan jalur urin lebih rendah (LUTS) alias yang terbiasa kencing duduk, mampu mengosongkan kandung kemihnya sampai tuntas. Dalam studi itu, pria dengan LUTS meninggalkan lebih sedikit 25 milimeter urin di kandung kemih mereka, dan punya waktu kencing lebih sebentar, rata-rata 0,62 detik, ketimbang kencing berdiri.
Hal ini dianggap dapat memengaruhi kesehatan tubuh pria. LUTS memengaruhi kesehatan 40 persen pria yang biasa kencing duduk seperti peningkatan frekuensi kencing, buang air kecil yang menyakitkan, dan masalah pengosongan kandung kemih yang tak lengkap—beberapa ihwal yang paling umum meningkatkan pembesaran prostat, atau bahkan menimbulkan kanker prostat.
Sejumlah negara bahkan tegas perkara hal ini. Pada 2012 lalu, misalnya, Swedia dan Taiwan membuat aturan untuk melarang pria kencing berdiri. Viggo Hansen, seorang anggota DPR di Swedia mengusulkan aturan yang menegaskan para pria agar tak lagi kencing berdiri karena dianggap menjijikkan dan tak sehat. Ia juga mengampanyekan kalau kencing duduk dapat meningkatkan kualitas seks pria.
Sementara pemerintah Taiwan, lewat Menteri Administrasi Perlindungan Lingkungan, Stephen Shen, mengimbau warganya untuk tidak lagi mengikuti cara kencing tradisional. Di Jepang, pada 2007, sebuah poling menunjukkan bahwa 49 persen pria Jepang yang sudah menikah lebih memilih kencing duduk karena para istrinya menyuruh demikian.
Gangguan pada prostat akibat gaya kencing, bila diulur lebih jauh, memang dapat berpengaruh pada pola tidur, yang akhirnya berdampak pada menurunnya kadar testosteron pada pria. Kurangnya hormon itu pada akhirnya akan berdampak menurunnya gairah seks.
Tapi sebagian orang memang masih belum terbiasa. Ginanjar bilang, masih banyak pria yang tidak paham hal ini dan mengaitkan cara kencing dengan kualitas kenjantanan. “Padahal kalau aku cuma supaya lebih sehat,” kata Ginanjar.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Zen RS