tirto.id - Penis bertulang? Mungkinkah? Beberapa mamalia memang ada yang memilikinya. Sejak lama organ keras itu didaulat sebagai salah satu bagian tubuh makhluk hidup paling aneh sekaligus mengagumkan bagi para peneliti.
Nama latinnya adalah baculumyang berarti tongkat. Ia adalah tulang ekstra-skeletal yang artinya tak menempel pada tulang tubuh lain, namun “mengapung” begitu saja di ujung penis. Ukurannya bervariasi, mulai di bawah satu milimeter hingga ada yang hampir mencapai satu meter. Bentuknya pun bemacam-macam, mulai dari yang menyerupai jarum pentul hingga ada yang mirip garpu.
Tulang penis pada spesies kera bisa memanjang hingga seukuran jari telunjuk orang dewasa. Pada penis walrus, ia bahkan bisa mencapai panjang dua kaki atau sekitar 0,6 meter. Ini artinya walrus memiliki organ reproduksi yang ukurannya mencapai seperenam dari panjang tubuhnya sendiri. Sementara itu, lemur ekor cincin memiliki tulang penis yang teramat kecil atau hanya sekitar 1/40 dari keseluruhan panjang tubuhnya.
Sebagai salah satu anggota dari kelas mamalia, lebih khususnya ordo primata, mengapa penis manusia tak bertulang?
Untuk menjawab pertanyaan ini mula-mula kita perlu menelusuri temuan para peneliti atas tulang penis anggota mamalia lain. Dulu mereka mengawali penelitiannya dengan sebaris pertanyaan: Mengapa masing-masing mamalia memiliki tulang penis yang berbeda ukuran, panjang, dan bentuk?
Sebagaimana dilaporkan The Guardian, para peneliti menemukan bahwa tulang penis pada mamalia berevolusi selama lebih dari 95 juta tahun yang lalu, dan hadir pertama kali dalam tubuh primata pada 50 juta tahun yang lalu. Sejak saat itu tulang penis berevolusi menjadi makin besar ukurannya bagi beberapa hewan, sementara bagi sebagian lainnya justru mengecil.
Pada monyet ekor tumpul, misalnya, primata yang hanya memiliki berat 10 kg itu bisa memiliki ulang penis sepanjang 5 cm. Lima kali lipat lebih panjang ketimbang monyet Mangabey yang ukuran tubuhnya lebih besar.
Christopher Opie, peneliti asal University College London yang bekerja sama dengan Matilda Brindle untuk isu ini, berkata bahwa tulang penis pada primata pejantan berkaitan dengan aktivitas “prolonged intromission” dalam hubungan seksual mereka bersama pasangan betina.
Dalam literatur bahasa Inggris, prolonged intromission berarti sebuah tindakan penetrasi penis ke kemaluan si betina dalam jangka waktu lebih dari tiga menit. Strategi ini tak hanya membantu si pejantan dalam usaha menghamili pasangannya, namun juga membuat pejantan lain menjauh. Tulang penis menyediakan dukungan struktural untuk hewan jantan yang sedang terlibat dalam aktivitas ini.
Meski demikian, tak semua primata bisa mencapai prestasi membanggakan itu. Tulang penis simpanse, misalnya, tak lebih panjang ketimbang kuku jari manusia. Ini berkaitan dengan pendeknya waktu bersenggama simpanse jantan yang hanya mampu dilangsungkan sepanjang tujuh detik.
Dalam kelompok simpanse, betina kawin dengan semua pejantan sebagai sebuah strategi untuk mengurangi kemungkinan anak-anaknya dibunuh oleh pejantan yang lebih tua. Budaya pembunuhan ini menjamur di dunia simpanse. Semakin banyak anak maka semakin besar pula kemungkinan untuk melanjutkan keturunan.
“Hal ini membuat para pejantan simpanse berpikir bahwa mereka mungkin telah menjadi ayah bagi keturunan berikutnya. Bagi mereka kepentingan itu tak masalah jika dilakukan dengan cepat. Semakin cepat, kemungkinan untuk kawin dengan lebih banyak simpanse betina akan lebih besar,” kata Opie.
Dibandingkan primata lain, manusia menganut sistem berkeluarga dan bereproduksi yang berbeda. Selama proses evolusi, mereka belajar untuk setia terhadap pasangannya. Lama-kelamaan, sang Homo erectus akhirnya mulai menerapkan monogami alias hanya memiliki satu pasangan hidup. Mereka meninggalkan tradisi berhubungan bebas dengan siapapun tanpa adanya hak milik. Para peneliti memperkirakan pola monogami ini berlangsung sejak 1,9 juta tahun yang lampau.
Dalam hubungan monogami, pejantan tak perlu menghabiskan waktu banyak saat penetrasi dengan betinanya sebab ada jaminan bahwa ia tak akan berhubungan intim dengan pejantan-pejantan lainnya. Pola hubungan inilah yang dalam teori sejumlah peneliti membuat tulang penis manusia menyusut, menyusut, dan akhirnya menghilang.
Kini kerasnya penis manusia tak didukung oleh tulang sama sekali, melainkan karena aktifnya otot-otot di dalam penis dan sejumlah selubung yang akan terisi darah hingga penuh saat birahi.
“Kami menilai bahwa tulang penis manusia menghilang karena sistem perkawinan yang berubah pada saat itu. Saat kompetisi antar pejantan berkurang amat drastis, manusia tak lagi membutuhkan tulang penis,” kata Opie sebagaimana isi penelitian yang diunggah di laman The Royal Society Publishing pada Rabu (14/12/2016).
Meski sekarang kondisinya demikian, lanjut Opie, dulu manusia sebenarnya tergolong primata yang berhubungan intim dalam waktu di atas tiga menit bermodalkan tulang penis. Kini, manusia dapat bersenggama lebih dari waktu tersebut meskipun tanpa tulang.
Menariknya, fakta ini sesungguhnya amat jarang terjadi jika dilihat secara general. Menurut penuturan Brindle di laman Scientific American, durasi rata-rata laki-laki saat berhubungan intim dari penetrasi hingga ejakulasi ternyata hanya kurang dari dua menit. Ya, rata-rata mampu bertahan sampai 120 detik saja. Bukan tiga menit, seperti waktu minimal bercinta di era primata saat masih bertulang penis.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Maulida Sri Handayani