tirto.id - “Mohon kodong pak, saya mau kuburkan umiku di Bulukumba. Umiku bukan Covid, umiku meninggal karena stroke, pembuluh darah pecah di otaknya, bukanji Covid. Saya ingin bikinkan kuburan yang layak, selama hidupnya umi belum pernah punya rumah sendiri, tolong kasiang pak.”
Andi Arni Esa Putri Abram (24) tak berhenti menangis. Tangannya erat memeluk jasad ibunya, Nurhayani Abram (48), yang meninggal Jumat (15/5/2020) menjelang tengah malam di RS Bhayangkara Makassar. Ia memohon agar diperkenankan membawa jenazah ibunya pulang untuk disemayamkan di kampung halaman di Bulukumba Sulawasi Selatan kepada siapa pun yang masuk ruang rawat.
Di depan ruangan, Andi Baso Ryadi Mappasulle berdebat dengan pihak rumah sakit soal pemakaman istrinya. Tapi tim dokter bulat dengan keputusan kalau Nurhayati harus dimakamkan dengan protokol COVID-19 karena saat meninggal berstatus Pasien Dalam Pengawasan (PDP). Protokol ini memang berlaku mulai dari pasien terkonfirmasi hingga mereka yang masih dalam pengawasan.
Nurhayati dilarikan ke RS Bhayangkara pada Jumat (15/5/2020) sore karena gejala stroke. Sebagaimana prosedur wajar banyak rumah sakit pada masa pandemi, Nurhayati juga menjalani sejumlah pemeriksaan COVID-19, salah satunya rontgen dada. Rupanya dokter menemukan infeksi di paru-paru kiri bagian bawah.
Hal itulah yang membuat Nurhayati dinyatakan sebagai PDP COVID-19, di samping harus menjalani perawatan stroke.
Belum juga hasil swab keluar, Nurhayati lebih dulu berpulang. Situasi inilah yang jadi pangkal perdebatan antara keluarga dan rumah sakit.
Menurut prosedur pemakaman COVID-19, jenazah dikafankan kemudian dilapisi plastik dan dikubur di dalam peti. Itu semua untuk mencegah keluarnya cairan dari dalam tubuh yang berpotensi membawa virus dan menyebar.
Arni dan ayahnya awalnya membiarkan rumah sakit mengafani Nurhayati. Tapi mereka menolak penggunaan peti, berharap dimandikan bukan ditayamumkan, dan ingin menyolatkan jenazah--semuanya tidak sesuai dengan protokol pemakaman COVID-19. Rumah sakit menolak itu semua.
Sempat terjadi saling tarik saat peti akan ditutup. Arni dan ayahnya kalah. Peti akhirnya dapat dipaku dan dibawa ke luar rumah sakit.
Arni dan Andi ternyata belum menyerah. Andi berlari dan merebahkan badannya di depan ambulans; sementara Arni naik ke kap mobil, menangis memohon agar dibolehkan membawa pulang ibunya. Sejumlah orang di rumah sakit menyaksikan kejadian ini dan videonya viral di media sosial.
Pengadangan ini pun tak berhasil. Ambulans melaju langsung ke pemakaman umum khusus COVID-19. Andi, Arni, dan dua adiknya berusaha menyusul dengan menggunakan motor, tapi mereka diadang di gerbang oleh petugas keamanan.
Belakangan hasil tes COVID-19 Nurhayati keluar dan menyatakan negatif. Arni dan Andi lantas mengajukan gugatan ke gugus tugas penanganan COVID-19.
“Kami hanya mau jenazah almarhumah dipindahkan ke pekuburan keluarga [di Bulukumba],” kata Andi Baso kepada reporter Tirto, Senin (8/6/2020).
Penolakan pemakaman dengan protokol COVID-19 juga terjadi pada Rabu (3/6/2020) lalu, bahkan dengan lebih dramatis. Seratusan orang bergerombol dengan senjata tajam merangsek ke ICU RS Khusus Dadi Makassar dan mengambil jenazah seorang pasien. Pasien itu sudah tiga hari dirawat dengan status PDP.
Direktur RS Arman Bausat mengatakan pasien meninggal saat menunggu hasil tes swab. Saat itu ia mengatakan tak bisa berbuat banyak untuk mencegah gerombolan. Selain itu mereka juga memikirkan keselamatan tenaga kesehatan.
Arman mengatakan keluarga sebetulnya tidak mempermasalahkan protokol pemakaman. Hal ini terbukti karena mereka telah menandatangani formulir persetujuan penerapan protokol pemakaman. Ia menduga gerombolan itu datang karena ada yang memprovokasi, terlebih di media sosial beredar kabar sesat bahwa rumah sakit menerima bayaran ratusan juta per korban meninggal karena COVID-19.“Tanggal 4 [Juni 2020] hasil tes keluar, kesimpulannya pasien ini positif,” kata Arman kepada reporter Tirto, Senin (8/6/2020).
Kejadian serupa juga terjadi di RS Labuang Baji, Makassar, pada 5 Juni 2020. Puluhan orang dari pihak keluarga mendatangi rumah sakit dan merampas jenazah PDP. Tak cuma itu, cooler box berisi sampel dahak jenazah yang akan diuji pun turut dirampas, tapi bisa segera diambil.
Beberapa hari kemudian diketahui sang pasien positif COVID-19 dan petugas dinas kesehatan harus bekerja ekstra menjejaki puluhan orang tersebut.
Pada Minggu (7/6/2020), jenazah perempuan berusia 53 tahun diambil paksa oleh sekitar 150 orang dari RS Stella Maris, Makassar, Sulawesi Selatan. Aparat gabungan TNI dan Polri yang berjaga pun tak bisa berbuat banyak karena kalah jumlah. Walhasil, massa bisa berlalu menandu jenazah.
Pendekatan Kultural
Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah memberikan perhatian khusus karena kasus ini relatif banyak terjadi di daerahnya. Politikus PDIP itu menduga masalahnya ada pada masa tunggu hasil tes swab yang relatif lama. Karena itu ia menyerukan rumah sakit mendahulukan tes swab bagi orang yang sudah terbaring di rumah sakit. Dengan demikian diharapkan tak ada lagi pasien yang meninggal dan belum mendapatkan hasil swab sebelum pemakaman.
Berdasarkan data gugus tugas, di Sulawesi Selatan terdapat tujuh laboratorium rujukan nasional untuk COVID-19.
“Kalau yang sehat usahakan rapid test saja, tes swab kita dahulukan bagi yang di RS. Kalaupun ada yang meninggal dan dinyatakan COVID-19 harus mengikuti pemakaman secara protokol kesehatan karena ini penyakit menular,” kata Nurdin pada Jumat (5/6/2020) lalu, sebagaimana dikutip dari Antara.
Sementara Kepala Bidang Humas Polda Sulawesi Selatan Kombes Ibrahim Tompo menegaskan perbuatan membawa kabur jenazah COVID-19, apa pun statusnya, adalah tindak pidana. Karenanya kepolisian akan bergerak memburu yang terlibat.
Namun Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Aminuddin Syam mengatakan selain penegakan hukum, ia juga mengatakan pemerintah perlu lebih banyak memberikan edukasi kepada masyarakat terutama mengapa jenazah COVID-19 harus dimakamkan secara khusus.
Amiruddin mengatakan pemuka agama memiliki peran penting untuk memberi pemahaman ini, selain tentu saja pemerintah dan para pakar kesehatan.
Di sisi lain, ia paham betul betapa nelangsanya keluarga yang ditinggal. Karenanya, sebagai jalan tengah, ia mengusulkan agar pihak rumah sakit memberikan alat perlindungan diri bagi mereka agar dapat melihat jenazah untuk terakhir kali dan bisa mengantar ke pemakaman. Menurut Aminuddin, peran gugus tugas dalam mengoordinasikan hal-hal tersebut masih perlu dievaluasi.
“Jadi tidak boleh hanya pendekatan struktural, harus juga melakukan pendekatan kultural,” kata Amin kepada reporter Tirto, Senin (8/6/2020).
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino