Menuju konten utama

Mengapa Menjadi Tersangka Kasus Korupsi Tak Harus Terima Uang?

Kejagung sebut penetapan tersangka korupsi sesuai Pasal 2 dan Pasal 3, tidak mensyaratkan seseorang harus menerima uang.

Mengapa Menjadi Tersangka Kasus Korupsi Tak Harus Terima Uang?
Menteri Perdagangan periode 2015-2016 Thomas Lembong berjalan dengan mengenakan rompi tahanan usai ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi impor gula oleh Kejaksaan Agung di Jakarta, Selasa (29/10/2024). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/aww.

tirto.id - Kasus korupsi selama ini masih identik dengan uang. Padahal, pada dasarnya korupsi bukan hanya tentang uang, harta, ataupun kekayaan. Seseorang tetap bisa ditetapkan sebagai tersangka korupsi meski tidak disertai bukti penerimaan aliran uang, selama bukti dan penyelidikan lain memenuhi unsur penetapan tersangka tersebut.

Dalam kasus eks Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, misalnya. Ia ditetapkan tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan korupsi impor gula pada periode 2015-2016. Meskipun dalam perkembangannya Kejaksaan Agung masih mengendus aliran dana uang tersebut.

Penetapan tersangka Tom Lembong, karena diduga menyalahi prosedur dalam pemberian izin impor gula pada 2015. Padahal berdasarkan rapat koordinasi antar kementerian pada 12 Mei 2015, telah disimpulkan bahwa Indonesia mengalami surplus atau kelebihan stok gula, sehingga tidak perlu dilakukan impor gula. Namun, Tom Lembong saat itu tetap menyetujui surat keputusan untuk dilakukan impor.

Tom memberikan izin persetujuan impor Gula Kristal Mentah (GKM) sebanyak 105 ribu ton kepada PT AP yang kemudian GKM itu diolah menjadi Gula Kristal Putih (GKP). Izin impor dikeluarkan Tom Lembong tak hanya diberikan kepada PT AP, melainkan tujuh perusahaan lainnya yakni PT PDSU, PT AF, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, dan PT MSI.

Sementara secara aturan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 57 Tahun 2004, pihak yang diizinkan melakukan impor Gula Kristal Putih (GKP) hanya perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dan impor GKM tersebut tidak melalui rakor dengan instansi terkait serta tanpa adanya rekomendasi dari Kementerian Perindustrian guna mengetahui kebutuhan gula dalam negeri.

Akibatnya, regulasi yang dikeluarkan Tom Lembong merugikan negara. Kerugian negara yang timbul senilai kurang lebih Rp400 miliar. Uang tersebut menjadi nilai keuntungan yang diperoleh delapan perusahaan swasta yang seharusnya menjadi milik negara dalam hal ini BUMN (PT PPI).

Tom Lembong dijerat Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 KUHP. Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

Lebih lanjut, Pasal 3 menyebutkan setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp50 juta dan maksimal 1 miliar.

“Penetapan tersangka dalam tindak pidana korupsi ini, sesuai Pasal 2 dan Pasal 3, tidak mensyaratkan seseorang harus menerima uang,” kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, di Kantor Kejagung, Jakarta Selatan, Kamis (31/10/2024).

Mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo, mengatakan, pada prinsipnya ketika perbuatan melawan hukum dilakukan atau kewenangan disalahgunakan untuk menguntungkan pihak lain atau korporasi, hal itu sudah memenuhi unsur pidana. Sementara langkah diambil oleh Tom sudah jelas melanggar aturan.

“Artinya penyidik kejaksaan hanya perlu memenuhi semua unsur dalam pasal-pasal tersebut. Misal unsur melawan hukum pada Pasal 2. Tentu ada perbuatan yang dilanggar oleh Tom yang tidak sesuai aturan yang berlaku,” kata Yudi kepada reporter Tirto, Jumat (1/11/2024).

Yudi menambahkan, Pasal 2 UU Tipikor tidak harus ada aliran uang ke yang bersangkutan. Jika misalnya ada uang, maka tentu kasusnya adalah penyuapan.

Penetapan tersangka tanpa harus menerima aliran uang sebelumnya juga pernah disangkakan kepada eks Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Kemenkes, Budi Sylvana. Dalam hal ini, Budi ditetapkan KPK menjadi menjadi tersangka dalam kasus dugaan rasuah pengadaan alat perlindungan diri (APD). Namun, dia tidak menerima uang terkait perkara tersebut.

Dalam kasus Budi, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menyatakan telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp319 miliar (Rp 319.691.374.183,06). Para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Thomas Lembong ditahan Kejagung

Menteri Perdagangan periode 2015-2016 Thomas Lembong berjalan dengan mengenakan rompi tahanan usai ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi impor gula oleh Kejaksaan Agung di Jakarta, Selasa (29/10/2024). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/aww.

Penyidik Harus Jelaskan Konteks Secara Umum

Pengajar hukum pidana dari Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, mengatakan, dalam kasus Tom Lembong penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus harus memastikan apakah memang ada penyalahgunaan kewenangan dalam memberikan izin impor itu. Sebab, kata dia, Pasal 2 Tipikor ada unsur melawan hukum. Sedangkan kalau Pasal 3-nya ada unsur penyalahgunaan kewenangan.

“Kalau Tom Lembong dijerat dengan Pasal 3 ini, maka perdebatannya bukan lagi soal kerugian keuangan negara ataukah memperkaya diri sendiri. Karena yang diperkaya tidak harus dirinya saja, bisa orang lain atau korporasi,” kata Orin kepada Tirto, Jumat (1/11/2024).

Akan tetapi, lanjut Orin, apakah kemudian penetapan tersangka dilakukan ada indikasi penyalahgunaan kewenangan dalam melakukan perbuatannya/kebijakannya saat itu, atau apakah upaya-upaya mitigasi dan lainnya sudah dilakukan sesuai prosedur sebelum mengambil keputusan.

Sementara itu, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, justru mengingatkan Kejaksaan Agung agar tidak sekadar menjelaskan konteks perkara secara umum saja. Akan tetapi, juga masuk lebih jauh mengenai keterpenuhan unsur pasal di dalam UU Tindak Pidana Korupsi.

“Seperti diketahui, dua tersangka sejauh ini disangkakan dengan Pasal 2 dan Pasal 3 atau korupsi dengan kategori kerugian keuangan negara. Di sini, penting bagi Kejaksaan Agung mengurai dan mengaitkan unsur pasal dengan kesalahan yang disangkakan,” tegas dia kepada Tirto, Jumat (1/11/2024).

Menurut dia, ada dua hal yang harus dipahami jika melihat korupsi kategori kerugian keuangan negara, yakni, setiap perbuatan melawan hukum harus diikuti dengan niat jahat (mens rea) dan tidak semua kerugian negara dikategorikan sebagai kejahatan korupsi. Ini penting disampaikan agar langkah aparat penegak hukum tidak distigma negatif atau dianggap politisasi hukum oleh masyarakat.

Selain itu, ICW mendesak agar penyidik juga melakukan pengembangan kasus, khususnya untuk menemukan aktor-aktor lain yang diduga terlibat. Sebab, jika dicermati lebih lanjut, kebijakan impor gula kristal mentah tidak hanya dilakukan sepanjang tahun 2015-2016, tapi juga berlanjut ke tahun-tahun berikutnya.

“Dalam konteks perkara yang terjadi di Kementerian Perdagangan, penyidik juga harus mengurai potensi keterlibatan kementerian lain yang menyangkut kebijakan impor tersebut,” kata dia.

Baca juga artikel terkait KASUS KORUPSI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz