tirto.id - Pada 8 April 2013, tepat hari ini 7 tahun silam, mantan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher meninggal akibat serangan stroke.
Banyak yang berduka. Sosok yang dijuluki “The Iron Lady” oleh media massa Uni Soviet itu memang legendaris. Ia adalah perdana menteri perempuan Inggris pertama, perdana menteri Inggris dengan masa jabatan terpanjang pada abad ke-20, hingga perempuan pertama yang memimpin partai besar di Inggris.
Tapi tidak semua orang silau akan atribut-atribut itu. Para buruh, golongan yang paling dirugikan pada masa kekuasaan Thatcher, membencinya setengah mampus. Bahkan hingga bertahun-tahun setelah Thatcher tidak lagi berkuasa.
Bagaimana perseteruan Thatcher versus buruh bermula?
Ahli Kimia, Aktivis Konservatif
Margaret Hilda Thatcher lahir di Lincolnshire, 13 Oktober 1925. Ia cukup beruntung karena tinggal di keluarga kelas menengah. Ini semua berkat sokongan bisnis ayahnya, Alfred Roberts, yang juga seorang pengkhotbah dan politikus lokal.
Menurut John Campbell dalam Margaret Thatcher Volume Two: The Iron Lady (2011), pemikiran Thatcher ketularan Alfred yang seorang liberal klasik. Thatcher juga tumbuh dengan memegang prinsip konservatisme kuat dan kelak pada saat dewasa menjadi pegangan berpolitiknya.
Namun, sebelum terjun ke dunia politik, Thatcher muda menaruh minat di bidang sains. Ia menempuh kuliah di jurusan ilmu kimia Universitas Oxford pada 1943 dan lulus empat tahun berselang. Ia kemudian bekerja sebagai peneliti di perusahaan pembuat plastik di provinsi Essex.
Di sela-sela pekerjaan, Thatcher rajin mengikuti agenda Partai Konservatif Inggris. Dalam berbagai forum, orang-orang melihat potensi Thatcher sebenarnya: kemampuan menarik perhatian massa melalui keberanian berargumen dalam debat publik.
Thatcher dinilai menarik perhatian sebagai kandidat perempuan yang langka. Karena itu, pada awal 1950-an, Thatcher banting setir ke dunia politik. Ia memulainya dengan menjadi kandidat Partai Konservatif dalam ajang pemilu lokal.
Kemenangan-kemenangan kecil ia raih hingga pada awal 1960-an ia berhasil duduk di parlemen Inggris. Saat perwakilan partainya memenangkan pemilu nasional tahun 1970, Thatcher diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Sains.
Kariernya di kubu Konservatif kian moncer. Melalui lobi-lobi yang cemerlang, pada 1975 ia berhasil menduduki kursi pemimpin partai. Pencapaian ini menjadi semacam batu pijakan bagi ambisi besarnya: menjadi penghuni Downing Street Nomor 10.
Thatcher hanya butuh empat tahun untuk menjadi oposisi keras bagi Partai Buruh yang saat itu berkuasa. Pada pemilu 1979 partainya mengantongi suara terbanyak dan posisi perdana menteri pun berhasil ia rebut.
Thatcherisme: Dipuja Kaum Kanan, Dibenci Kelompok Kiri
Para ilmuwan politik memandang Thatcher sebagai representasi yang baik untuk politikus sayap kanan modern. Ia dianggap pahlawan beragam haluan—konservatif, liberal, hingga libertarian.
Di sisi lain, ia adalah musuh terbesar sayap kiri terutama kaum buruh. Segala kebijakan yang terangkum dalam ideologi Thatcherisme menghantam para pekerja sejak pertama kali dijalankan.
Thatcherisme mendukung pasar bebas, kontrol ketat atas belanja publik, pemotongan pajak, hingga privatisasi perusahaan-perusahaan negara. Sikap politik ini pada dasarnya merupakan pengejawantahan ideologi neoliberalisme.
Mengutip arsip Margaret Thatcher Foundation, pada konferensi Partai Konservatif tahun 1982 Thatcher berkata: “Kita telah berusaha sekuat mungkin untuk menggulung sosialisme, lebih baik dari pemerintahan Konservatif sebelumnya.”
Di forum partai yang lain, Thatcher mengklaim rakyat Inggris telah sepenuhnya menolak ide sosialisme negara serta memahami bahwa “tidak ada yang namanya uang publik; yang ada hanyalah uang pembayar pajak.”
Thatcher percaya serikat buruh berbahaya baik bagi anggotanya maupun masyarakat. Maka pemerintahannya berkomitmen untuk mengurangi kekuatan serikat buruh sekaligus menghalang-halangi gerakan pro-kelas pekerja.
Ia menuduh kepemimpinan serikat buruh merusak tatanan demokrasi parlementer. Ia juga memandang kinerja ekonomi Inggris akan berada dalam posisi yang rentan jika buruh sedikit-sedikit melakukan aksi mogok.
Thatcherisme turut mendorong pemerintah untuk memotong subsidi dan menggalakkan privatisasi. Dan di tengah makin runcingnya kesenjangan sosial serta meningkatnya inflasi, pada awal periode 1980-an angka pengangguran di Inggris meroket.
BBC mencatat pada 1982 warga Inggris yang tidak bekerja mencapai 3 juta jiwa. Dua tahun setelah itu totalnya menjadi 3,3 juta. Angka-angka ini terakhir muncul pada dekade 1930-an atau periode sulit Inggris di antara dua perang dunia.
Dengan kondisi demikian, bagaimana Thatcher bisa berkali-kali memenangi pemilu? Salah satunya ialah dengan menyelenggarakan pemilu lebih awal dari jadwal semula.
Contohnya terjadi pada 1987. Pada pertengahan Juni Thatcher tiba-tiba menggagas pemilihan umum, sementara jadwal aslinya masih 12 bulan lagi.
Mengapa? Sebab sejak awal tahun ekonomi mulai stabil, inflasi turun, demikian juga tingkat pengangguran. Citra pemerintahannya membaik. Trik ini membuahkan kemenangan bagi Partai Konservatif sehingga Thatcher terpilih lagi untuk ketiga kalinya.
Serikat-serikat buruh tidak diam saja. Beberapa di antara mereka melancarkan aksi mogok untuk menolak aturan-aturan baru yang tidak pro-buruh, meski banyak yang berujung pada kegagalan.
Kekalahan Pahit Buruh “Emas Hitam”
Kisah paling dramatis tentu saja pemogokan serikat pekerja tambang batu bara yang berlangsung dari Maret 1984 hingga Maret 1985. Pierre-Francois Gouiffes pernah menuliskannya dalam buku berjudul Margaret Thatcher & The Miners (PDF, 2009).
Aksi itu dipimpin Arthur Scargill, ketua Serikat Buruh Tambang Nasional (NUM). Mereka menolak rencana pemerintah yang ingin menutup lubang-lubang galian karena menganggap “emas hitam” bukan bisnis masa depan.
Tatcher tidak keliru. Sebelum abad ke-19, ketika industri di Eropa dan Amerika mulai berkembang, para buruh tambang ikut terciprat keuntungan.
Batu bara menjadi salah satu pemasukan besar bagi Inggris. Bahkan, pada awal 1900, batu bara sempat jadi 90 persen sumber energi utama di dunia. Tapi memasuki pengujung abad tersebut, pamor batu bara mulai turun.
Masalahnya, terlepas dari analisis ekonomi-makro, Scargill dan kawan-kawan menghadapi risiko pengangguran jika kebijakan Thatcher jalan terus.
Organisasi-organisasi buruh lokal pun turut menyatukan kekuatan, meski aspirasi mereka kurang merata di seluruh Inggris. Ini lantaran NUM menyerahkan keputusan kepada cabang organisasi di daerah untuk ikut turun melakukan aksi atau tidak.
Sayangnya, perjuangan panjang NUM berujung kekalahan. Thatcher menolak untuk memenuhi tuntutan massa. Gerakan pelan-pelan rontok. Apalagi setelah rezim membunuh karakternya sebagai biang kerugian ekonomi negara yang mencapai 1,5 milyar poundsterling.
BBC menyebutnya sebagai “perselisihan industri paling pahit dalam sejarah Inggris”. Buruh tak bisa berbuat apa-apa saat Thatcher menutup 150 tambang.
Thatcher Mati, Thatcherisme Tidak
Thatcher mengundurkan diri dari posisi perdana menteri sekaligus pemimpin partai pada November 1990.
Problemnya, Thatcherisme terlanjur mengakar, terutama di kepala para politikus kubu Konservatif. Pemerintahan Partai Konservatif pasca-Thatcher pun hampir pasti akan terus membuat kebijakan-kebijakan yang tidak pro-buruh.
Mengutip catatan koresponden BBC Paul Wilenius pada 2004, “Margaret Thatcher adalah musuh utama gerakan buruh. Ia berhasil menghancurkan kekuatan serikat pekerja selama hampir satu generasi.”
Setelah Thatcher diumumkan meninggal dunia, penduduk Orgreave di Yorkshire Selatan (tempat pertempuran antara polisi dan penambang batu bara yang mogok pada Juni 1984) menyatakan desa mereka telah "dihancurkan oleh Thatcher".
Masih di Yorkshire Selatan, tepatnya di desa Goldthrope, warga menyelenggarakan parodi pemakaman dengan membakar patung Thatcher yang dikalungi karangan bunga bertuliskan “scab” (secara harfiah berarti 'keropeng'), maksudnya merujuk kepada orang yang tidak mau ikut serikat atau menolak mogok kerja.
Pesta jalanan tiba-tiba merebak di beberapa kota besar. Orang-orang memenuhi jalanan London, Liverpool, Brixton, Glasgow, Leeds, dan Belfast. Alih-alih menampakkan air muka duka, mereka justru terlihat antusias.
Mengutip Chris Kitchen, Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja Tambang Nasional, para penambang “tidak akan mencucurkan air mata untuknya (Thatcher)”.
Editor: Ivan Aulia Ahsan