Menuju konten utama
Newsplus

Menanti Ketegasan Pemerintah Melindungi Hak PMI di Perantauan

Indonesia perlu pembenahan sistem penempatan migran yang menjamin perlindungan pekerja dan tidak berbelit, demi mencegah munculnya pekerja ilegal.

Menanti Ketegasan Pemerintah Melindungi Hak PMI di Perantauan
Sejumlah pekerja migran Indonesia (PMI) yang dideportasi dari Malaysia tiba di Pelabuhan Pelindo Dumai, Riau, Sabtu (29/6/2024). ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid/rwa.

tirto.id - Insiden penembakan warga negara Indonesia oleh aparat Malaysia di perairan Tanjung Rhu, Selangor, menambah daftar panjang kekerasan terhadap pekerja migran Indonesia (PMI) di negeri Jiran. Satu orang tewas dalam kejadian ini, sementara empat orang luka-luka. Agensi Penguatkuasa Maritim Malaysia (APMM) berdalih telah menjalankan prosedur sesuai standar operasional, karena mendapat ‘perlawanan’. Seakan-akan hal ini menjadi pembenaran tindakan pembunuhan di luar pengadilan (extrajudicial killing) oleh aparat keamanan.

Di sisi lain, respons pemerintah Indonesia nyaris tidak pernah berubah. Mengeluarkan nota protes, menunggu respons, lalu perlahan-lahan membiarkan kasus kekerasan terhadap PMI menguap digantikan berita lainnya. Hal ini tercermin dari data Migrant Care, yang mencatat, ada 75 kasus penembakan oleh otoritas bersenjata Malaysia terhadap pekerja migran Indonesia, di medio 2005-2025. Artinya, kasus semacam ini telah berulang-ulang terjadi.

Banyak pihak mendorong Pemerintah Indonesia untuk berani mengambil langkah lebih tegas. Dikhawatirkan, pembiaran akan membuat sebagian besar kasus berakhir dengan dalih "prosedur keamanan," tanpa investigasi yang transparan atau pertanggungjawaban hukum terhadap pelaku.

Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, menyatakan penembakan PMI di Malaysia banyak terjadi kepada pekerja migran yang dilabeli ilegal atau undocumented. Berdasarkan pengalaman Wahyu dalam mendampingi PMI di kasus-kasus tersebut, aksi penembakan otoritas Malaysia dilakukan di tempat-tempat yang jauh dari jangkauan publik, termasuk di tengah perairan laut atau kebun.

“Terus ada yang dulu kita tangani di tahun 2012 itu, ada [penembakan] di pinggir sungai ya,” kata Wahyu kepada wartawan Tirto, Kamis (30/1/2025).

Wahyu menilai, modus itu dilakukan aparat keamanan Malaysia untuk menghindari adanya saksi. Dari banyak penuturan korban yang pernah Wahyu tangani, penembakan dilakukan tanpa adanya peringatan atau memang dilakukan secara spontan. Padahal, seharusnya ada berbagai lapisan prosedur operasional keamanan sebelum melepaskan peluru.

Maka kasus penembakan lima WNI di perairan Selangor, turut dinilai Migrant Care sebagai bentuk extrajudicial killing. Menurut Wahyu, perlu ada pendekatan yang lebih manusiawi dalam menegakkan hukum.

Jikapun para PMI melawan, ia menganggap kekerasan tidak perlu dilakukan, sebab mereka tidak bersenjata. Otoritas yang bersenjatalah yang seharusnya mengedepankan pendekatan yang persuasif. Jika terpaksa menggunakan senjata karena nyawa terancam, seharusnya diniatkan untuk melumpuhkan, bukan untuk menghilangkan nyawa seseorang.

“Jadi, saya kira klaim untuk melindungi diri dengan menembak pekerjaan migran itu berlebihan,” terang Wahyu.

Kondisi ini diperburuk dengan stigma yang masih melekat dalam kepala otoritas keamanan Malaysia. Wahyu mengungkap, otoritas Malaysia sering mengistilahkan PMI ilegal atau tak berdokumen sebagai pelaku kriminal atau ‘jenayah’. Pandangan itu juga membuat warga Malaysia memiliki cap buruk terhadap para PMI, terutama yang bekerja tanpa dokumen.

Sayangnya, kata Wahyu, penegakan hukum di Malaysia sendiri cenderung kurang adil. PMI ilegal dikriminalisasi atau ditangkap, sementara majikan pengguna jasa dibiarkan lolos. Hal ini membuat kekerasan terhadap pekerja migran Indonesia semakin menjadi-jadi. Migrant Care menyayangkan sikap pemerintah Indonesia yang tak tegas menghadapi kasus-kasus kekerasan PMI di Malaysia.

“Paling vulgar ditunjukkan Presiden Prabowo yang menerima penghargaan dari pemerintah Malaysia saat adanya pembunuhan atau penembakan terhadap pekerja migran. Dan dalam kunjungan itu sama sekali tidak menyoal,” ucap Wahyu.

Menurut kronologi dari Kementerian Luar Negeri Indonesia, pada 24 Januari 2025, sekitar pukul 03.00 pagi waktu Malaysia, APMM melakukan penembakan terhadap sebuah perahu di perairan Tanjung Rhu, Selangor saat berpatroli. Penembakan dilakukan usai penumpang perahu dituduh melakukan perlawanan dengan menggunakan senjata tajam dan menabrak kapal patroli. Insiden ini menyebabkan satu pekerja migran Indonesia meninggal dunia dan empat lainnya mengalami luka-luka.

Merespons penembakan PMI ini, KBRI Kuala Lumpur mengirimkan nota diplomatik kepada Kementerian Luar Negeri Malaysia pada Sabtu pekan lalu. Nota itu berisi pengajuan akses terhadap konsuler dan permintaan agar insiden penembakan diinvestigasi menyeluruh.

Diberitakan sebelumnya, Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding, memastikan Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) memberikan bantuan penuh terhadap pemulangan jenazah korban. Karding mengatakan, berdasarkan informasi yang diperoleh pihaknya dari pihak KBRI dan kepolisian Malaysia, total ada 26 orang penumpang kapal. Ia juga memastikan KP2MI akan mendorong atase kepolisian Malaysia untuk turut mencari informasi seluruh 26 orang PMI, agar pemerintah Indonesia mendapat kronologi lengkap penembakan tersebut.

“Kami mendorong pemerintah Malaysia untuk memproses ini secara transparan dan kalau memang dalam aturan hukum yang ada di sana harus ada yang terkena proses penerimaan hukum maka itu juga kami akan sangat senang,” kata Karding dalam keterangannya.

Belakangan, Kemlu RI memastikan bahwa kala itu, tidak ada perlawanan yang dilakukan para PMI. Keterangan ini didapati Kemlu RI dari pengakuan dua pekerja migran, yakni HA dan MZ, yang menjadi korban penembakan. Keterangan ini jadi berbeda dengan pernyataan sebelumnya yang disampaikan Direktur Jenderal APMM Laksamana Datuk Mohd Rosli Abdullah, seperti dikutip media Malaysia, New Straits Times, Senin (27/1/2025). Menurut versi Rosli, petugas APMM mendapatkan perlawanan dari penumpang kapal yang dicurigai petugas.

"MMEA mengikuti SOP yang telah ditetapkan. Sebuah kapal patroli MMEA, bagian dari Ops Ehsan/Ops Tiris 3.0, dikerahkan ke lokasi. Setibanya di sana, mereka melihat sebuah kapal mencurigakan menuju ke laut lepas. Dengan bantuan navigasi dari ACC Klang, aset patroli maritim mengejar dan mendekati target dalam upaya menghentikan kapal tersebut. Namun, kapal mencurigakan itu berusaha menghindari penangkapan dengan menabrak kapal patroli maritim beberapa kali dan mencoba menyerang dengan parang panjang. Demi pertahanan diri, tembakan peringatan dilepaskan ke arah kapal, tetapi kapal tersebut berhasil mempercepat laju dan melarikan diri ke dalam kegelapan. Kapal patroli melanjutkan pencarian di area sekitar selama sekitar satu jam tetapi tidak berhasil menemukan kapal tersebut," ujarnya, seperti dilansir dari New Straits Times.

Namun, terlepas dari pernyataan dari pihak Malaysia, Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, menegaskan penembakan lima WNI oleh aparat Malaysia merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Aksi penembakan itu sudah melanggar hak untuk hidup bagi siapa saja dalam kondisi apapun. Ia menilai, Malaysia merupakan negara paling sering yang dilaporkan kepada Komnas HAM terkait penempatan pekerja migran.

Anis menegaskan, pekerja migran ilegal tetap memiliki perlindungan yang sama dan harus dihormati hak-haknya. Akibat kejadian ini, penting bagi pemerintah Indonesia membangun komunikasi diplomasi yang lebih kuat dengan Malaysia dalam penempatan pekerja migran.

Indonesia harus bisa mendesak Malaysia mentaati Konvensi PBB tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya yang sudah diratifikasi dalam UU Nomor 6 Tahun 2012.

“Pemerintah Indonesia diharapkan mampu mendorong pemerintah Malaysia melakukan penegakan hukum yang adil dalam kasus penembakan yang terjadi karena ini bukan peristiwa pertama yang terjadi,” ucap Anis kepada wartawan Tirto, Kamis (30/1/2025).

Pemerintah Indonesia Harus Tegas

Senada, Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, memandang pemerintah Indonesia perlu mendesak Malaysia untuk mengusut tuntas tindakan kekerasan berlebih yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dalam kasus penembakan ini, mengingat ini adalah jenis kasus yang berulang.

Status illegal bukan berarti otoritas Malaysia dapat melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap para PMI. Berdasarkan standar internasional tentang penggunaan senjata api, tindakan kekerasan (use of force) harus dilakukan secara terukur dan legitimate.

“Apakah pada saat itu ada ancaman fisik yang nyata terhadap otoritas Malaysia atau tidak. Jika itu tidak ada dan dapat dibuktikan, maka tindakan otoritas Malaysia itu jelas merupakan pelanggaran HAM,” kata Ardi kepada wartawan Tirto, Kamis (30/1/2025).

Sementara itu, Ketua Pimpinan Pusat Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI), Iwenk Karsiwen, menyatakan, kasus penembakan WNI di perairan Malaysia adalah gunung es dari tindakan sewenang-wenang yang terus dihadapi para PMI di negeri Jiran. Iwenk menambahkan, situasi kekerasan terhadap pekerja migran Indonesia di Malaysia sudah sangat kompleks dan semakin masif.

Hal ini, menurutnya, disebabkan kesepakatan hukum antara Indonesia dan Malaysia tidak jelas. Hanya mengandalkan perjanjian MoU, yang itupun tak dijalankan dengan baik. Banyak pekerja migran Indonesia masih tidak menerima gaji, tidak menerima hak libur, serta sering mengalami jam kerja panjang.

“Mengapa kekerasan PMI di Malaysia berulang? Karena mekanisme perlindungannya di Indonesia belum dibuat secara baik. Contohnya sampai hari ini Indonesia sebagai pemasok pekerja terbesar di Malaysia seharusnya bisa melakukan diplomasi yang lebih tinggi,” ucap Iwenk kepada wartawan Tirto, Kamis (30/1/2025).

Iwenk menilai, kasus-kasus kekerasan sering kali berakhir tidak transparan dan bahkan tidak ada kejelasan bagi keluarga korban. Padahal, jelas-jelas banyak jasad PMI yang dibawa ke kampung halamannya mendapati bekas luka-luka.

Ia mendorong pemerintah untuk melakukan Memorandum of Agreement (MoA) yang terikat secara hukum dengan pemerintah Malaysia. Dengan begitu, Indonesia bisa menuntut Malaysia agar wajib memberikan hak perlindungan kepada PMI. Dan jika ada pelanggaran, maka terdapat mekanisme hukuman bagi pelaku individu maupun otoritas yang bertanggung jawab.

“Selain itu, Indonesia perlu pembenahan sistem penempatan migran di Indonesia itu sendiri yang harus menjamin perlindungan dan tidak berbelit sehingga melahirkan pekerja ilegal,” ucap Iwenk.

Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini juga meminta calon pekerja migran Indonesia agar mewaspadai aksi sindikat yang mempekerjakan ke luar negeri secara ilegal. Presiden menyampaikan pesan ini saat menjawab pertanyaan wartawan soal kasus penembakan lima orang WNI di Tanjung Rhu, Selangor.

Prabowo menilai jalur ilegal dan cara non-prosedural yang disediakan para sindikat berisiko. Sebab aparat negara asing bisa menindak sewaktu-waktu saat ketahuan melintas dengan cara yang tidak sah. Ia mengeklaim sudah membahas masalah ini dengan Perdana Menteri (PM) Malaysia Anwar Ibrahim, saat berkunjung ke Malaysia pada Senin lalu.

“Kita waspada, kita ingatkan, tetapi kita juga yakin bahwa pihak Malaysia akan melaksanakan penyelidikan yang terbaik,” kata Prabowo di Jakarta, Kamis (30/1/2025), seperti dilansir dari Antara.

Baca juga artikel terkait PEKERJA MIGRAN atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Farida Susanty