Menuju konten utama

Menanti Duel Hiburan McGregor vs Mayweather

Pertarungan antara Conor McGregor melawan Floyd Mayweather diprediksi bakal jadi pertarungan agung. Tapi, apakah akan sengit?

Menanti Duel Hiburan McGregor vs Mayweather
Floyd Mayweather dan Conor McGregor saling menatap satu sama lain dalam konferensi pers untuk mempromosikan pertarungan tinju antara Mayweather melawan McGregor di Budweiser Stage di Toronto, Ontario, Kanada, Rabu (12/7). ANTARA FOTO/REUTERS/USA TODAY Sports/Tom Szczerbowski

tirto.id - Floyd Mayweather Jr. adalah petinju yang tak pernah terkalahkan. Sepanjang karir profesionalnya di ring tinju, lelaki berusia 40 tahun ini sudah bertanding sebanyak 49 kali, semuanya ia menang. Lebih setengah di antaranya, persisnya 26 kali, ia menang dengan meng-KO lawan.

Sedangkan Conor McGregor digadang-gadang sebagai salah satu petarung mixed martial arts (MMA) terbaik sepanjang masa. Tapi duel antara dua orang bermulut besar ini sudah tidak lagi menjadi ajang tarung biasa. Ia telah menjelma sebagai sebuah sirkus. Sebuah hiburan.

Sebentar lagi, dua orang itu akan bertarung di ring. Ini akan menjadi duel yang menarik.

Sebelum resmi diumumkan, mereka sudah bertukar makian dan hinaan. Juli 2015, McGregor sudah mengatakan bahwa ia bersedia gelut dengan Mayweather. Dalam acara Late Night with Conan O'Brien, McGregor berkata, "Aku mau bertinju dengan Mayweather kalau punya kesempatan."

"Siapa yang tak mau bertarung untuk uang 180 juta dolar ," tambah petarung asal Dublin, Irlandia, ini.

Saat itu, duel antara McGregor dan Mayweather tampak sulit terwujud. Setelah bertarung dengan Manny Pacquiao pada 2 Mei 2015, Mayweather berkeinginan untuk gantung sarung tinju. Usai bertarung dengan Andre Berto pada 12 September, akhirnya Mayweather benar-benar pensiun. Dengan gemilang tentu saja, sebab petinju berjuluk Money ini selalu menang dalam 49 pertandingannya.

Tapi tangan boleh pensiun, mulut besar akan susah mingkem. Saat McGregor menang melawan Jose Aldo dalam waktu 13 detik, Mayweather berkomentar: "McGregor dipuji luas oleh publik karena dia berkulit putih. Aku tak rasis, tapi kukasih tahu kalian, rasisme itu masih ada," ujarnya.

McGregor tentu tak mau tinggal diam. Dia memang kulit putih, tapi Ia orang Irlandia yang kenyang oleh penindasan. "Bangsaku selalu ditindas sepanjang sejarah kami. Dan sampai sekarang pun demikian. [...] Begini saja," kata McGregor, "Kalau kamu mau, kita bisa tarung. Kau boleh dapat penghasilan 80 persen, aku 20 persen."

Maka sejak itu, perang ludah dua orang ini dimulai. Apalagi ketika akhirnya mereka jadi bertarung pada tanggal 26 Agustus 2017 nanti. Perseteruan dua orang ahli silat lidah ini dibawa ke ranah yang lebih luas. Tak tanggung-tanggung, ada empat konferensi pers di empat kota: Los Angeles, Toronto, New York, dan London. Rasanya dalam sejarah adu gebug, belum ada konferensi pers yang diadakan hingga empat kali dan melintasi batas negara.

Di konferensi pers itu, kita bisa melihat dua orang petarung terbesar pada zamannya ini diadu. Mulai adu bacot, adu mata, hingga adu penampilan. Ada mantel bulu. Pamer otot. Tebaran uang ke langit. Dan pasti nyaris baku hantam. Tak ubahnya pertunjukan sirkus keliling yang menampilkan duel macan melawan singa.

Perhatian media dan publik yang besar terhadap pertarungan ini, maka wajar kalau banyak orang menyamakan duel McGregor vs Mayweather disamakan dengan Fight of the Century, Rumble in the Jungle, hingga Thrilla in Manila. Namun apakah intensitas pertarungan ini akan sehebat tiga pertarungan luhur itu?

Kerugian Bagi McGregor

Di pertarungan terakhirnya, Mayweather sudah berusia 38 tahun. Tapi tak lantas ia kehilangan ketrengginasannya. Ia mampu meladeni Andre Berto, yang lebih muda 7 tahun, hingga 12 ronde. Bahkan di 7 pertarungan terakhirnya, Ia berhasil menang melalui keputusan wasit.

Ada dua hal yang bisa ditarik dari fakta itu. Pertama, Mayweather mulai kekurangan tenaga untuk menganvaskan lawannya. Bandingkan dengan pertandingan di awal-awal karirrnya, yang kebanyakan berakhir dengan KO. Namun ini juga berarti, Mayweather tak sedikit pun kehilangan stamina untuk bertarung dalam jangka waktu panjang.

Faktor stamina ini yang akan jadi masalah untuk McGregor. Petarung UFC berjuluk The Notorious ini punya masalah serius soal stamina. Yang paling kentara adalah saat ia melawan Nate Diaz pertama kalinya. Di ronde 1, McGregor tampak amat dominan dengan tinju kirinya yang amat cepat, juga dengan tendangan yang merepotkan Diaz.

Namun di ronde 2, tampak jelas kalau McGregor mulai kehabisan stamina. Ditambah dengan pertahanan yang amat longgar, Diaz bisa membombardir dengan leluasa, termasuk memberi kado hook kiri yang telak menghantam dagu kanan McGregor. The Notorious akhirnya harus kalah setelah kena rear-naked choke.

Pertarungan akbar ini akan dihelat dengan format tinju. Artinya, ada 12 ronde, masing-masing tiga menit. Format ini memberi banyak keuntungan bagi Mayweather, sekaligus merugikan McGregor. Pertama soal durasi waktu yang akan berhubungan dengan stamina.

Jika menilik dari segi umur, McGregor yang baru berusia 28 tahun ini harusnya lebih bisa memanjangkan nafas ketimbang sang lawan. Tapi apa boleh buat, jika ditilik dari pengalaman, Mayweather tampak lebih bisa beradaptasi untuk pertarungan dalam durasi 12 ronde.

Kerugian kedua adalah soal kekuatan dan senjata penyerangan. Memang harus diakui kekuatan utama McGregor ada pada pukulannya. Ia lebih sering menang melalui pertarungan atas, ketimbang di matras. Dari 21 kemenangannya, 16 diraih dengan pukulan. Tapi peraturan tinju jelas mengekang kebebasan McGregor. Ia tak bisa menendang, pun tak boleh membanting, mencekik, atau menghamburkan pukulan siku -- seperti yang ia lakukan saat menang melawan Steve O'Keefe pada 2012 silam.

Lagipula, McGregor tak pernah punya pengalaman bertinju secara profesional --meski ia sudah mulai berlatih tinju sejak usia 12. Izin bertinju profesionalnya baru didapat pada November 2016 silam. Sedangkan musuhnya adalah petinju yang berjuluk Pretty Boy, sebuah predikat yang lahir karena wajahnya nyaris tak pernah terluka karena teknik bertahan yang rapat lagi brilian. Mayweather pun selalu menang dalam rentang 49 pertandingan profesionalnya.

Dari sana, kita bisa melihat bahwa kans pemenang dibagi 50:50. Mayweather unggul dalam faktor stamina dan pengalaman. Sedangkan McGregor unggul dalam faktor fight sense. Ia rutin bertarung dan berlatih hingga sekarang. McGregor juga sedang berada dalam masa puncak sebagai seorang petarung. Insting tarungnya terus dilatih. Sedangkan Mayweather sudah pensiun sejak dua tahun lalu. Ini bisa menghasilkan perbedaan besar.

Infografik Si Sangar VS Si Tampan

Tidak Semata Duel Fisik

Tapi lagi-lagi, ini bukan hanya soal pertarungan semata, juga bukan soal gelar. Melainkan gengsi, dan tentu saja uang dalam jumlah besar. Mayweather diperkirakan akan mendapat pemasukan 100 juta dolar, jumlah uang yang cukup untuk tujuh turunan. Sedangkan McGregor disebut mendapat pemasukan 75 juta dolar, dua kali lipat jumlah pendapatan yang ia raup sejak awal karier hingga sekarang.

Apakah ini bisa berarti publik bisa melihat pertarungan dahsyat seperti Ali melawan Frazier, atau Foreman melawan Ali?

Saya, sih, sedikit sangsi. Pertarungan ini sudah didesain sebagai hiburan sejak awal. Petarung dari dua dunia yang berbeda, ditandingkan dalam satu ring dengan satu peraturan. Terlalu banyak bumbu yang tak perlu hanya untuk mendapat perhatian publik.

Lagipula sejak awal, motivasi para petarung ini adalah uang. Mayweather sejak awal bilang kalau ia mau kembali naik ring kalau dapat bayaran fantastis 9 digit. Sedangkan McGregor berkelakar, "Siapa yang tak mau bertarung untuk 180 juta dolar?"

Jadi, menang atau kalah, bersih atau berdarah-darah, agresif atau pasif, mereka toh tetap akan mendapat bayaran ultra besar. Agar tak kecewa, mari sejak awal bepikir bahwa ini adalah pertarungan hiburan. Tak lebih. Jadi kalau mereka mau baku hantam dengan serius, kita senang. Kalau mereka membosankan, kita bisa ikhlas.

Baca juga artikel terkait TINJU atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Olahraga
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Zen RS