tirto.id - Pada 2 April 2015, Tugu Monas berbalut cahaya biru. Ia menjadi salah satu penanda kampanye Light it up Blue yang menjadi simbol pengingat tentang autisme. Saat itu, ada 136 negara yang ambil bagian dalam aksi hari peduli autisme. Kampanye ini juga dilakukan sebagai pernyataan dan penerimaan terhadap jutaan individu penyandang autisme beserta keluarganya.
Mengapa warna biru? Warna ini dipilih karena mewakili anak laki-laki yang paling banyak didiagnosis menderita autis. Menurut organisasi Autism Speaks, autisme muncul lima kali lipat lebih banyak pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Satu dari 68 anak-anak di Amerika Serikat (AS) kemungkinan menyandang autisme, demikian laporan terbaru Pusat Kendali dan Pencegahan Penyakit di AS (CDC).
Perkiraan itu sama artinya dengan 30 persen lebih anak-anak yang kemungkinan memiliki kisaran luas autisme (Autism Spectrum Disorder/ASD) seperti yang diperkirakan sebelumnya, kutip LiveScience. CDC, lembaga pencegahan dan penyebaran wabah Amerika Serikat, pada 2012 melaporkan, satu dari 88 anak-anak di AS menyandang autisme.
Autisme sendiri memiliki banyak spektrum yang berbeda satu sama lain, masing masing gejala tak bisa disamakan antara individu satu dengan yang lainnya. Lantas bagaimana dengan Indonesia?
Berdasarkan data dari profil kesehatan indonesia tahun 2015, estimasi jumlah penduduk indonesia untuk kelompok umur 0-19 tahun adalah 91.952.796. Maka dengan perbandingan prevalansi autisme 1,68 per 1000 untuk anak di bawah 19 tahun, maka diperkirakan terdapat 154.480 anak penyandang autisme pada rentang usia tersebut. Kementerian Kesehatan tahun lalu menyebut bahwa anak-anak dengan kebutuhan khusus yang disebut anak dengan gangguan spektrum Autistik (GSA) atau lebih sering disebut anak autisme bukan sesuatu yang asing di Indonesia.
Kementerian Kesehatan RI menyebut individu dengan GSA merupakan salah satu dari lima jenis Gangguan Perkembangan Pervasif atau Pervasive Development Disorder. Tidak mendengar atau memandang mata saat diajak berkomunikasi merupakan tanda pengenal di samping variasi gejala lain, seperti komunikasi yang sulit dimengerti, emosi yang tidak stabil dan perilaku yang tidak biasa. Meski demikian para penyandang autisme bukan seseorang yang mesti dihindari atau perlu dijauhi.
Individu dengan autisme bisa meningkatkan kualitas hidupnya melalui beberapa pendekatan yang benar seperti penghapusan stigma dan diskriminasi terhadap individu dengan GSA. Data Centre of Disease Control (CDC) di Amerika pada bulan Maret 2014, prevalensi (angka kejadian) Autisme adalah 1 dari 68 anak. Secara lebih spesifik 1 dari 42 anak laki-laki dan 1 dari 189 anak perempuan.
Beberapa hal yang menjadi ciri dan banyak ditemui anak-anak penyandang autisme adalah kemungkinan memiliki kecerdasan intelektual (IQ) tinggi dibanding kisaran yang sebelumnya diperkirakan. Intelligence Quotient (IQ) adalah ukuran kemampuan intelektual, analisis, logika, dan rasio seseorang. IQ merupakan kecerdasan otak untuk menerima, menyimpan, dan mengolah informasi menjadi fakta.
Beberapa penggambaran orang dengan autisme bisa kita lihat di banyak film. Penyosokan ini tentu tidak akurat, beberapa malah dikritik melakukan penambahan drama berlebihan dan mengeksploitasi autisme itu sendiri. Namun beberapa yang film drama penting dapat memberikan kita sedikit gambaran bagaimana orang dengan autisme hidup, bagaimana orang-orang terdekat mereka berkomunikasi, dan bagaimana mereka berinteraksi dengan orang-orang kebanyakan.
Salah satu film penting dan paling banyak dirujuk tentang autisme adalah film Rain Man yang dimainkan dengan memukau oleh Dustin Hoffman dan Tom Cruise. Film yang dirilis pada 1988 ini disutradarai oleh Barry Levinson dan ditulis oleh Barry Morrow bersama Ronald Bass. Bercerita tentang Charlie Babbitt, diperankan Tom Cruise, seorang makelar mobil yang baru saja mendapatkan warisan dari ayahnya yang meninggal. Saat mengetahui rumahnya akan dijual dan warisan yang ada disumbangkan, Babbitt akhirnya mengetahui menemukan bahwa ia memiliki saudara bernama Raymond Babbitt yang memiliki autisme.
Karakter Raymond sendiri dibuat berdasarkan penyandang disabilitas nyata bernama Kim Peek. Film ini mendapatkan pujian dan berbagai penghargaan seperti Oscar dan Golden Bear pada Berlin International Film Festival. Selain Rain Man ada pula Extremely Loud & Incredibly Close yang dirilis pada 2011. Film ini merupakan adaptasi dari novel berjudul sama yang dikarang oleh Jonathan Safran Foer. Film ini disutradarai oleh Stephen Daldry. Film ini menjadi penting untuk melihat bagaimana rumitnya komunikasi antara keluarga dan penyandang autisme.
Extremely Loud & Incredibly Close berkisah tentang Oskar Schell, yang diperankan oleh Thomas Horn, yang memiliki Asperger syndrome spektrum ringan dari gejala autisme. Oskar memiliki ayah yang bekerja di World Trade Center. Saat gedung itu diserang, Thomas Schell, ayah Oskar yang diperankan oleh Tom Hanks, menelpon ke rumah. Ketakutan Oskar menghapus pesan sang Ayah. Hubungan Oskar dan keluarganya memburuk karena ia tak bisa menjelaskan ketakutannya dan keluarganya tak bisa mengerti keadaan Oskar.
Film lain tentang autisme bisa dilihat kita lihat dari film Korea berjudul Marathon. Film ini berkisah tentang pria muda bernama Cho-won, diperankan oleh Jo Seung-woo, yang mendapatkan ketenangan saat berlari. Sejak kecil Cho-won tak bisa memahami sekitarnya. Saat tantrum ia menggigit tubuhnya sendiri, menolak berkomunikasi dengan orang lain, hingga akhirnya bisa tenang jika melihat zebra dan kue sejenis choco pie.
Ibu Cho-won, diperankan oleh Kim Mi-sook, tak pernah menyerah mendidik dan membesarkan anaknya. Ia percaya anaknya akan bisa menjadi seseorang. Maka saat ia tahu anaknya gemar berlari, ia kemudian mencari guru yang bisa membantunya mengembangkan bakat Cho-won. Ibunya bertemu dengan Jung-wook, seorang mantan pelari dengan kecanduan terhadap alkohol. Cho-won tidak langsung menjadi juara, ia harus berjuang keras mengatasi hambatan dirinya yang susah dikomunikasikan. Hingga akhirnya ia bisa menyelesaikan lari setengah maraton dan berjuang untuk menjuarai kompetisi yang lebih ketat.
Meski banyak film positif yang menggambarkan relasi autisme dan keluarga, ada pula film yang dikritik karena dianggap mengeksploitasi dan mengaburkan pesan tentang autisme itu sendiri. The Accountant (2016), film yang diperankan oleh Ben Affleck, dianggap mengeksploitasi autisme sebagai sesuatu yang eksotik dalam film yang mengagungkan pembunuhan. Film-film tentang autisme kerap melakukan glorifikasi terhadap sosok autis yang dianggap luar biasa cerdas dan memiliki kemampuan bernalar yang luar biasa.
Noah Berlatsky, kritikus film Guardian, menyebut eksotisme ini mengaburkan pesan penting tentang hidup bersama penyandang autisme. Alih-alih memperlakukan mereka secara wajar dan tanpa diskriminasi, penyandnag autisme dianggap punya kekuatan super yang bisa diandalkan, seseorang hanya perlu keras dan disiplin untuk bisa menghasilkan manusia autis dnegan kemampuan super. Ia menganggap penggambaran ini adalah cara yang salah untuk memandang autisme.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Arman Dhani