Menuju konten utama

Mega di Atas Angin: Saat Emak Banteng 'Mengamuk' di Kongres PDIP

Megawati menjadi Emak Banteng saat berpidato tanpa teks pada Kongres V PDIP di Bali.

Mega di Atas Angin: Saat Emak Banteng 'Mengamuk' di Kongres PDIP
Ilustrasi Megawati mejadi Ketum PDIP selama 20 tahun terakhir. tirto.id/Lugas

tirto.id - Luwes. Sesekali menari dan terbahak. Menggambarkan kepercayaan diri yang besar dari Sang Emak Banteng, satu-satunya Ketua Umum PDI Perjuangan. Membuka Kongres V partainya di Bali pekan lalu, Megawati Soekarnoputri mengisahkan percikan sejarah partai banteng moncong putih itu yang penuh luka sejak berdiri 20 tahun silam.

Putri ketiga dari istri kedua Sukarno ini berulangkali mengucapkan soal dirinya yang dibenci tapi dirindu. Ia menyentil rival-rival politiknya di masa lalu.

Megawati berkata saat partainya menjadi pemenang, banyak orang yang merapat. Meski tak terlalu kenal, kata dia, tetap akan bersikap manis di hadapannya.

“Kalau dulu mana mau, Pak Jokowi? Saya sudah merasakan ditinggal orang,” ujar Megawati.

Megawati membangkitkan memori ihwal prosesi mengusung Jokowi-Jusuf Kalla pada Pilpres 2014. Partai Gerindra langsung menjauh, katanya. Padahal, PDIP-Gerindra bareng-bareng mengusung Jokowi dan Basuki Tjahaja Purnama pada Pilkada 2012. Terlebih pada Pilpres 2009, Megawati maju sebagai capres berpasangan dengan Prabowo.

Ketegangan antara dua partai pemenang Pileg 2019 itu berlangsung lama. Musababnya, Ketua Umum Gerindra Prabowo menilai Megawati mengingkari "Perjanjian Batu Tulis" pada 2009 untuk mendukungnya menjadi capres 2014.

Sejak mendirikan Gerindra pada 2008, Prabowo menghadiri Kongres III PDIP. Setelah itu, Prabowo tak hadir dalam dua kongres selanjutnya. Kini, hubungan mereka tampaknya membaik: Prabowo hadir dalam kongres V PDIP di Sanur, Bali. Sebelumnya, Prabowo bertamu ke rumah Megawati di Teuku Umar, Menteng, salah satu kawasan elite di Jakarta, pada akhir Juli lalu.

Dalam pidatonya, yang membosankan saat membacakan teks tetapi sangat lepas ketika bicara tanpa teks, Megawati mengisahkan masa lalu peralihan PDI menjadi PDI Perjuangan. Ia membawa partainya menjadi pemenang Pemilu 1999 (33,74 persen) melawan 47 partai lain. Namun, setelahnya, ia merasa ditipu.

“Katanya partai pemenang itu yang menjadi presiden Republik Indonesia,” ujarnya. “Eh gue dipotong. Ngeeeek." Megawati memeragakan gestur tangan kanan bergerak memotong sesuatu.

Megawati diganjal dalam Sidang Umum MPR 1999 oleh koalisi yang mengatasnamakan 'poros tengah', gabungan partai-partai Islam dan Golkar. Ia kalah 60 suara dari Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Dua tahun kemudian, koalisi yang sama mencabut mandat Gus Dur dan mengangkat Megawati.

Infografik HL Indepth Kongres PDI Perjuangan

Infografik Kuasa Abadi Megawati Soekarnoputri. tirto.id/Lugas

10 Tahun Oposisi

Sang Emak Banteng juga mengisahkan 10 tahun masa oposisi saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Ia bercerita saat ditawari jatah menteri oleh SBY, "Saya bilang ke beliau: Pak, saya enggak masuk kabinet.” (SBY tak diundang dalam Kongres PDIP.)

“Eh..., ditawari delapan opo piro toh," ujar Megawati, mengingat tawaran jumlah kursi menteri. "Menteri, loh,” lanjutnya menegaskan.

Saat itu PDIP perlahan menuju masa paceklik. Perolehan suaranya terus merosot sampai 14,03 persen pada 2009. Itu semua efek domino dari sikap Megawati yang mengambil jalan oposisi sejak Kongres II pada 2005.

Setelah kongres itu muncul kubu pragmatis dari para elite PDIP yang diakomodasi suami Megawati, Taufik Kiemas, berseberangan dengan dirinya. Hasil kongres juga digugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Pada kongres III tahun 2010, Megawati menambahkan majelis ideologi sebagai struktur baru di partainya. Muncul pula wacana penambahan struktur baru, yaitu wakil ketua umum yang memfasilitasi transisi trah Sukarno, tetapi gagal. Puan Maharani mendukung, tapi komisi organisasi dan Pramono Anung menolak.

Konflik antara sesama trah biologis Sukarno pada Kongres III pun menyeruak. Puan Maharani menyerang anak bungsu Sukarno, Guruh Soekarnoputra. Guruh melawan Megawati untuk posisi ketua umum partai. Puan, sebagai ketua panitia, merusak atribut kampanye Guruh sebagai calon Ketum PDIP.

Di antara pergolakan itu, sikap oposisi Megawati tidak jua rontok.

Sikap oposisi itu, dalam politik elite di Indonesia, kadang juga diperam dari dendam. SBY muncul ke panggung politik nasional berkat peran yang diberikan Megawati sebagai menteri koordinator politik dan keamanan (2001-2004). Pada masa itu SBY mendirikan Partai Demokrat dan mengusung diri sebagai presiden. Megawati merasa dilangkahi, sampai-sampai tak pernah menghadiri pelantikan SBY sebagai presiden ke-6.

“Sepuluh tahun ternyata hidup juga, kok," cerita Mega dalam pidatonya. "Meskipun anak-anak menggerutu, 'Ibu, gimana sih sudah susah-susah berjuang masak sih enggak ada yang masuk?"

"Kalau elu kepengen jadi menteri,” kata Megawati meneruskan, "Keluar dari PDI Perjuangan!"

Lalu ia melanjutkan dengan gaya yang sangat lepas: "Tetapi, kalau Pak Jokowi, musti ada menterinya. Musti banyak!"

Mega di Atas Angin

Sebelum Kongres kelima digelar di Bali, nyaris tak ada yang bisa menggeser posisi Megawati. Ia terpilih kembali secara aklamasi tanpa voting sebagai Ketum PDIP. Sebagaimana salah satu problem internal yang utama dari partai-partai politik di Indonesia, PDIP kelak berpotensi menjadi partai warisan keluarga, menyingkirkan para kader potensial untuk memimpin karena bukan keturunan Sukarno.

Dalam pidatonya, Megawati menggambarkan dirinya sebagai trah biologis sekaligus ideologis Sukarno. Kosakata yang paling sering disebutnya adalah bangsa (22 kali), Pancasila (21 kali), dan Indonesia (20 kali). Ia menyebut nama ayahnya sebanyak lima kali, salah satunya: “Ada Bung Karno bersama kita.”

Di antara anak-anak Sukarno lainnya, hanya Megawati yang dibesarkan momentum. Ia habis-habisan melawan dominasi otoriter Soeharto dan hingga kini memusatkan patron partai kepada dirinya.

Namun, di sisi lain, memusatkan diri sebagai patron terus-menerus itu bisa menjadi bumerang.

Usep S. Ahyar dari lembaga konsultan politik Populi Center mengungkapkan Megawati terbukti mampu merekatkan kader sampai ke akar rumput. Sebaliknya, problem masa mendatang adalah ia seharusnya perlahan mengikis ketergantungan itu.

Bagaimanapun, menurut Usep, “Karakter Sukarno itu ada pada setiap kader."

Pidato Megawati dalam Kongres PDIP di Bali penuh dengan kritik, teguran, dan peringatan. Sasarannya ke kelompok pragmatis. Nyaris semua luka lama dibangkitkan saat partainya di atas angin, berkuasa di sektor eksekutif maupun legislatif.

Suko Widodo, dosen komunikasi politik dari Universitas Airlangga, berpendapat bahwa pidato Megawati itu sebagai "otokritik dan kritik bagi semua pengurus PDIP yang selama ini berkuasa."

"Jargon wong cilik itu akan menjadi bumerang jika tidak jalan,” menurut Suko.

Baca juga artikel terkait KONGRES PDIP atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Politik
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana & Bayu Septianto
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam