tirto.id - Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah salah satu presiden Indonesia yang diselimuti banyak kontroversi, mulai dari isu Buloggate hingga drama pemakzulan yang menjeratnya. Namun, ia juga sangat dikenang akan kebijaksanaannya. Salah satunya ia tunjukkan ketika meredam potensi konflik yang mampu mengancam Indonesia menjelang akhir masa jabatannya .
Situasi politik di akhir masa jabatan Gus Dur sebagai Presiden Indonesia ke-4 memang sangat panas. Barisan loyalis Gur Dur sempat maju dan mengepung gedung MPR/DPR di Senayan, Jakarta. Kemarahan massa kian memuncak tatkala manuver politik para elit di parlemen menghasilkan percepatan Sidang Istimewa (SI) MPR dari tanggal 1 Agustus 2001 menjadi 23 Juli.
Beberapa di antara para pendukung tersebut bahkan mendeklarasikan diri sebagai pasukan berani mati ketika mendengar kabar ia akan dilengserkan. Sejak pertengahan tahun 2000, Gus Dur memang sudah dikenal memiliki basis pendukung setia dari kalangan komunitas Islam.
SI MPR pada 23 Juli memang kemudian memutuskan Gus Dur turun dari jabatannya sebagai presiden. Paham bahwa potensi terjadinya kericuhan sangat besar, Gus Dur memilih untuk menanggapi situasi tersebut dengan santai. Cendekiawan Nahdlatul Ulama (NU) itu bahkan masih sempat bercanda tentang celana pendek yang ia kenakan di malam pemakzulannya.
Sebelumnya, Gus Dur ternyata juga telah mengirimkan pesan agar para santri dan segenap ulama di daerah tidak tersulut amarah dan pergi ke Jakarta untuk mengikuti aksi protes. Ia mengatakan, jangan sampai hanya karena urusan jabatan, pertumpahan darah antar sesama putra bangsa terjadi di ibu kota.
Gus Dur secara resmi mengakhiri masa jabatannya sebagai presiden tepat pada tanggal 26 Juli 2001. Ia meninggalkan Istana Negara diiringi massa pendukung setianya. Tak sedikit yang mengaku terharu.
Eksentrik Berujung Konflik
Sejak naik ke panggung politik di tahun 1980-an, Gus Dur tidak pernah takut mengkritik pemerintahan Orde Baru. Tidak mengherankan jika pada akhirnya mahasiswa dan tokoh-tokoh reformasi 1998 mempercayakan perumusan Deklarasi Ciganjur di tangan Gus Dur.
Deklarasi Ciganjur pulalah yang mengantarkan Gus Dur menjadi presiden pilihan rakyat pada Pemilu 1999. Gus Dur naik menggantikan B.J. Habibie yang menahkodai pemerintahan transisi sejak Mei 1998. Segera setelah menjabat, Gus Dur membentuk kelompok untuk mengawasi proses reformasi dan pengelolaan negara.
Greg Barton dalam Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of KH. Abdurrahman Wahid (2011, hlm. 379) menyebut gaya kepresidenan Gus Dur sangat berbeda jika dibandingkan dengan gaya kepemimpinan yang biasa dikenal orang. Selama masa kepemimpinanya, Gus Dur kerap mengeluarkan keputusan-keputusan radikal yang mengundang kontroversi.
Tindakan resmi pertama yang dilakukan Gus Dur pada masa-masa awal pemerintahannya meliputi pembubaran Departemen Penerangan dan Departemen Sosial. Menurut pandangan Gus Dur, seperti yang dicatat Barton, kedua departemen tersebut merupakan sarang budaya korupsi dan sudah sangat sulit untuk direformasi.
Gaya eksentrik kepemimpinan Gus Dur dilanjutkan dengan memecat Menteri BUMN Laksamana Sukardi dan Menteri Industri & Perdagangan Jusuf Kalla. Keputusan yang amat tiba-tiba ini kemudian menimbulkan cerita-cerita yang keliru lantaran dibacakan dalam sebuah rapat tertutup pada April 2000. PDI-P menjadi salah satu golongan sakit hati. Sebagai catatan, Sukardi merupakan tokoh kunci partai tersebut.
Berdasarkan pewartaan Kompas (6/9/2000), akibat kejadian tersebut, DPR segera membentuk Panitia Khusus (Pansus) yang beranggota 50 orang. Tugasnya ialah mengusut keputusan pemecatan para menteri tersebut. Pansus yang diketuai Akbar Tandjung itu juga memiliki tugas lain, yakni membebankan tuduhan kasus korupsi dana Yanatera Bulog (Buloggate) dan kasus bantuan Sultan Brunei (Bruneigate) kepada sang Presiden.
Gus Dur kembali membuat keputusan "nekat" pada Juli 2001. Kala itu, ia memberhentikan sementara Suroyo Bimantoro dari jabatan Kepala Kepolisian dan mengangkat Wakapolri Chairuddin Ismail sebagai pengganti. Menurut Barton, momen tersebut sukses memperuncing konflik antara Gus Dur dengan DPR. Walhasil, para elit politik di parlemen bertekad menyelenggarakan SI MPR beberapa bulan lebih cepat agar dapat segera melengserkannya.
Dekrit Presiden dan Respons Massa
Kompas (1/8/2001) melaporkan, menjelang tengah malam pada tanggal 22 Juli 2001, Gus Dur sempat mengadakan pertemuan bersama wakil sekjen PBNU yang kala itu dijabat oleh Masduki Baidlawi dan tujuh ulama sepuh di Istana Negara. Mereka menyampaikan kepada Gus Dur perihal kondisi politik mutakhir yang berujung pada rencana percepatan SI MPR keesokan harinya.
Kondisi pertemuan di Istana Negara kala itu dilaporkan berlangsung khidmat dan penuh keharuan. Gus Dur tak kuasa menahan air mata. Ia meminta maaf berkali-kali karena merasa tidak berterus terang kepada para ulama mengenai situasi politik yang dihadapinya.
Dengan dorongan para ulama dan pengurus pondok pesantren, lewat tengah malam pada tanggal 23 Juli, Gus Dur mengeluarkan dekrit presiden. Dekrit itu secara garis besar berisi penolakan terhadap keputusan Sidang Istimewa yang akan diselenggarakan beberapa jam mendatang.
"Didukung atau tidak oleh tentara, Gus Dur harus mengeluarkan dekrit. Ini menunjukkan bahwa Gus Dur tetap tidak mengakui SI dan tidak mengakui pelanggaran yang dituduhkan. Biar sejarah nanti yang menilai, apakah SI atau dekrit Presiden yang benar," ujar Abdullah Faqih, pengasuh Pesantren Langitan, Tuban.
Sementara itu, suara perlawanan yang dikumandangkan oleh basis-basis Nahdliyin terus bersahutan menyambut dekrit yang dibacakan sendiri oleh Gus Dur di Istana Negara. Saat itu, suasana di luar istana terbilang cukup kondusif kendati ada penjagaan ketat dari angkatan militer bersenjata lengkap dan kendaraan lapis baja.
Gelombang kemarahan para Nahdliyin sesungguhnya sudah terakumulasi sejak penyelenggaraan sidang tahunan MPR pada Agustus 2000. Kala itu, MPR yang diketuai Amien Rais berusaha mengkerdilkan kepemimpinan Gus Dur lewat rencana pelimpahan tugas presiden kepada wakil presiden.
Protes dari warga NU kian memuncak tatkala memasuki tahun 2001. Kompas (22/4/2001) menyebut bahwa pada bulan April 2001 sudah terdapat sekitar 300.000 barisan massa Nahdliyin yang siap memberangkatkan diri ke Jakarta.
Kelompok besar yang digerakan oleh Sofyan Yahya yang saat itu menjabat sebagai ketua DPW NU Jawa Barat itu rencananya akan mengadakan istighosah untuk Gus Dur. Mereka berasal dari daerah kantung-kantung NU seperti Cirebon, Indramayu, Subang, Purwakarta, dan Garut.
Gerilya di Pondok Pesantren
Sebelum pemakzulan, Gus Dur yang menyadari gejolak amarah para santri buru-buru melarang mereka turun untuk menggelar aksi protes atas nama pasukan rela mati. Ia sempat berkeliling memberikan wejangan kepada segenap ulama dan para santri di sejumlah pondok pesantren.
Sebagaimana dilaporkan Kompas (10/6/2001), dalam pertemuan dengan sejumlah ulama memperingati 100 Tahun Berdirinya Pondok Pesantren Futtuhiyah di Mranggen, Demak, Gus Dur berpesan agar ulama tidak terpancing amarahnya atas nama solidaritas umat muslim. Menurut dia, ulama seharusnya tidak boleh terlalu larut dalam politik.
Dengan tegas, Gus Dur meminta ulama, kiai, dan santri di lingkungan NU untuk tidak pergi berunjuk rasa dan membuat kegaduhan di Jakarta. Sebaliknya, ia meminta agar segenap pendukungnya tetap meyakini kapabilitas pemerintah dalam menuntaskan persoalan politik.
"Sesama orang Islam itu bersaudara. Kenyataan ini harus dipahami bahwa tindakan kekerasan tidak menyelesaikan persoalan. Jika banyak warga NU ke Jakarta, kemudian membuat gegeran malah akan menambah keributan di Jakarta," ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Gus Dur juga berujar bahwa dirinya masih bisa mengatasi persoalan di ibu kota secara diplomatis. Mantan ketua umum Tanfidziyah PBNU itu juga mengingatkan pentingnya solidaritas umat Muslim dalam tradisi pondok pesantren.
"Ada beda antara keras dan tegas. Ibarat pepatah nenek moyang, pohon tinggi harus berani menentang angin yang bertiup keras. Nanti kalau saya tidak lagi sanggup mengatasi persoalan itu, saya kan bisa bengok-bengok [teriak minta tolong] sama ulama. Ke mana lagi kalau tidak minta tolong ke ulama, itu kan juga tradisi orang pondok pesantren," lanjut Gus Dur.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara