tirto.id - “Akting adalah jenis yang paling tidak misterius di antara semua keterampilan,” kata Marlon Brando, suatu kali. “Setiap kali ingin sesuatu dari seseorang atau ketika kita ingin menyembunyikan sesuatu atau berpura-pura, kita akan berakting. Kebanyakan orang melakukannya sepanjang hari.”
Meski sering kali membicarakan seni peran seperti menghafal makanan yang tidak disukainya, Brando muda dikenal gigih dan pekerja keras.
Saat mempersiapkan akting debutnya sebagai veteran lumpuh di The Men (1950), Brando sempat tinggal berminggu-minggu di rumah sakit khusus veteran perang. Penonton film golongan pertama di zaman itu, banyak yang terkagum-kagum dan mengira Brando adalah korban perang betulan yang dikontrak buat film tersebut.
Jack Nicholson, aktor yang ikut membintangi The Missouri Breaks (1976) bersama Brando, adalah karib sekaligus tetangganya selama bertahun-tahun. Dalam interview dengan New York Times, Nicholson menyebut Brando sebagai “seorang jenius yang merupakan awal dan akhir dari revolusinya sendiri”.
Nicholson bilang, Brando adalah alasan mengapa ia dan banyak aktor di generasi mereka masuk ke industri. “Aku masih SMA, waktu aku menonton The Wild One,” katanya. “Dia (Brando) mengubah hidupku selamanya.
“Tak ada seorang pun yang seperti Marlon Brando, sebelum atau setelahnya. Bakatnya luar biasa dan tak bercela, macam Picasso,” tambah Nicholson.
Si Aktor Jadi Sang Aktor
Peran Marlon Brando sebagai Vito Corleone, sang mafia dalam The Godfather memang ikonik. Tapi, buat saya pribadi, tokoh buruh pabrik antagonis keturunan Polandia, bernama Stanley Kowalski-lah yang bikin tampang dan kualitas peran Brando patut diingat. DalamA Streetcar Named Desire(1947), ia jadi tokoh tengil yang dibingkai antagonis oleh Hollywood era itu: seorang suami kasar, temperamental, yang memperkosa sepupu istrinya sendiri.
Teriakan “Hey, Stella!” Kowalski dengan baju sobek dan tubuh kuyup lalu bercumbu dengan istrinya, Stella, adalah salah satu adegan pamungkas film itu. Adegan tersebut sekaligus menegaskan peran Kowalski sebagai—dalam istilah zaman sekarang—bad boy.
“Dia ganteng bukan kepalang—tak ada cara lain mengatakan atau menyangkalnya,” tulis David Thomson—penulis The New Biographical Dictionary of Film dalam obituari Brando yang diterbitkan The Guardian. “Matanya lebar, alisnya tebal, mulut malaikat dengan bibir atas menyembul. Dan dia bisa bicara lembut sekali, seperti bernapas, dengan mulut hampir tak bergerak. Tapi, dia jantan seperti binatang liar; keren, bersuara serak, sensual, kusut atau estetis, tergantung gaya mana yang paling cocok buat cewek-cewek saat itu.”
Kata Thomson, ketampanan itu yang bikin Irene Selznick, produser teater A Streetcar Named Desire kecantol. Awalnya ia akan memakai John Garfield atau Burt Lancaster sebagai pemeran Stanley Kowalski, tapi penampilan Brando dalam teater A Flag Is Born (1946), kepalang memincut hati Selznick. Sutradara pertunjukan Broadway A Streetcar Named Desire, Elia Kazan, yakin kalau Brando tak cuma akan jadi antagonis belaka, tapi juga karakter garang yang cocok meneror Blanche yang lemah lembut.
Tapi, nasib Brando sebagai Stanley waktu itu berada di tangan penulis kesohoran Tennessee Williams, sang empu naskah. Dalam proses reading yang kira-kira berlangsung selama 10 menit, Williams langsung bilang iya dan mengabarkannya pada Elia Kazan dan Irene Selznick. Kepada agennya, Williams memuji-muji kemampuan audisi Brando. Ia sempat bilang “akting Brando memanusiakan karakter Stanley” dan “proses reading terbaik yang pernah kujalani” di satu paragraf panjang.
“Dia (Brando) tampaknya telah menciptakan karakter dimensional, yang dihasilkan perang di antara veteran-veteran muda,” tutup Williams.
Pertunjukan itu meledak. A Streetcar Named Desire jadi legenda. “Penonton berdiri. The Curtain Call bertahan setengah jam lebih. Jessica Tandy memerankan Blanche Du Bois, dan ia dipuja semesta. Tapi, Brando mengubah kultur,” tulis Thomson. “Dia sangat rupawan sampai-sampai mengubah gagasan kita tentang kejantanan.”
Brando mengubah citra aktor yang selama ini ada di Broadway dan kelak Hollywood. Tepatnya, fisik Brando yang mengubah citra itu.
Tubuh kekar, tampang ganteng, dan kemampuan akting luwes bikin banyak sutradara dan produser jatuh cinta. Kesuksesan di Broadway tak bikin ia ngiler ingin jadi Chekhov atau O’Neil. “Tak ada Hamlet, tak ada Coriolanus, tak ada Anthony di atas panggung,” tambah Thomson. Ambisi untuk lebih tenar membuat Brando ambil lonjakan langsung ke Hollywood. Dan terjadilah The Men (1950).
Kesuksesan A Streetcar Named Desire di Broadway dan popularitas Brando menjadi jalan pertunjukan itu diangkat ke layar lebar pada 1947, dan mengantarkan Brando ke kursi nominasi Oscar Aktor Terbaik pertamanya. Si aktor berubah jadi “Sang Aktor”.
Metode akting Brando berbeda dari aktor-aktor kenamaan saat itu, semisal William Holden, Kirk Douglas, Burt Lancaster, atau John Wayne yang gayanya serempak: jernih, percaya diri, dan tidak ambigu. Sementara Brando lebih senang mendalami karakter, membangun emosi, dan mengikat diri dengan karakter yang ia perankan, atau yang sekarang dikenal sebagai method acting—sebuah teknik akting dari Rusia yang dikenalkan Konstantin Stanislavski pada 1920-an dan dipopulerkan di New York pada 1940-an oleh Lee Strasberg, Sanford Meisner, dan Stella Adler, guru kesayangan Brando.
Dulu jenis akting begini hampir tak pernah dipakai aktor-aktor arus utama, sehingga Brando tampil menonjol. Meski, kata Rick Lyman dari New York Times, Brando bukan aktor pertama yang memakai method acting, tapi ia adalah yang pertama menyadarkan orang-orang betapa kuat dan menggemparkannya metode tersebut buat kebudayaan, terkhususnya cara berakting.
“Ledakan amarahnya brutal, penampilannya mengagumi diri sendiri di atas panggung dilihat pengulas drama yang sok atau bersahaja serupa belaka: Brando membawa kesegaran baru di teater,” tulis Harold Brokey di New Yorker pada 1994.
“Setiap aktor muda, mulai dari James Dean, dan setiap penyanyi Rock, dari Elvis ke bawah, dipengaruhi oleh afinitas terpendam Brando,” kata Thomson.
Ironinya, meski kata aktor lantas kerap didefinisikan sebagai sosoknya, dan Hollywood melanggengkan karakteristik Brando sebagai stereotip tokoh utama pria, Sang Aktor adalah aktivis hak-hak penduduk asli amerika (native Americans). Ia bahkan menolak menerima Piala Oscar Aktor Terbaik yang diperolehnya dari peran Vito Corleone dalam The Godfather pada 1973. Itu dia lakukan “karena perlakuan buruk terhadap penduduk asli Amerika di industri film.”
Brando dicatat American Film Institute sebagai aktor terakbar keempat yang mulai debutnya sebelum 1950; masuk daftar 100 orang paling penting sepanjang abad versi TIME, dan jadi salah satu 10 Icon of The Century versi majalah Variety. Ensikopledia Britannica bahkan mencatatnya sebagai “the most celebrated of the method actors”.
Dunia peran terus berkembang, dan gagasan keragaman terus didorong, kalau tidak dijejalkan paksa kepada para sineas di Hollywood. Gagasan itu sejalan dengan kampanye Brando yang ingin agar “anak-anak penduduk asli AS bisa melihat dirinya di layar”, sejak kariernya masih berjaya.
“Orang-orang betul-betul tak sadar seberapa dalam masyarakat minoritas terluka, oleh representasi diri mereka (di layar),” kata Brando dalam wawancara di The Dick Cavett Show, 1973. “Anak-anak (penduduk asli Amerika) tumbuh dengan citra negatif tentang diri mereka sendiri, dan itu tertinggal selamanya.”
“Sang Aktor” selalu sadar, bahwa ada yang tak beres dari kegilaan Hollywood pada kecantikan atau ketampanan yang mereka konstruksi sendiri. Pada 1 Juli 2004, tepat hari ini 16 tahun lalu, sang aktor meninggal dunia. Belasan tahun kemudian, perubahan yang ia cita-citakan mulai bergulir di Hollywood.
Editor: Windu Jusuf