Menuju konten utama

Manusia Masa Depan dan Microchip

Salah satu spekulasi paling populer tentang situasi umat manusia di masa depan adalah evolusi berdasarkan unnatural selection atau seleksi tidak alamiah.

Manusia Masa Depan dan Microchip
Microchip sudah biasa dipasang pada binatang kesayangan. Apa yang terjadi jika Microchip ditanam dalam tubuh Manusia? Di masa depan, data pribadi seseorang bisa dimuat dalam microchip yang ditanam dalam tubuhnya sendiri. [Foto/Shutterstock]

tirto.id - "Karena kita telah berevolusi, wajar saja kita beranggapan bahwa evolusi akan terus terjadi," tulis Ian Tattersall, seorang antropolog dari New York's American Museum of Natural History dalam sebuah surel untuk National Geographic. "Tapi, kupikir, itu anggapan yang keliru.

Menurut Tattersall, kini perubahan genetik kemungkinan besar hanya dapat terjadi dalam populasi kecil yang tertutup. Contohnya ialah burung-burung finch di Galapagos yang berubah demi menyesuaikan diri dengan habitat mereka yang unik dan terisolir.

Seleksi alam, sebagaimana diterangkan Charles Darwin dalam On the Origin of Species, terjadi ketika mutasi genetik yang menguntungkan diwariskan oleh satu generasi ke generasi berikutnya.

Dalam populasi yang terbuka, kemungkinan menetapnya mutasi yang signifikan di kolam gen tentu akan mengecil karena perkawinan silang. Menurut Tattersall, demikianlah situasi umat manusia saat ini.

"Homo sapiens telah memenuhi setiap penjuru Bumi dan setiap orang kini bisa berpindah ke mana saja," tulisnya.

Pandangan serupa juga disampaikan oleh Steve Jones, pakar genetika dari University College London. Dalam salah satu kuliah istimewa untuk memperingati 150 tahun penerbitan On the Origin of Species pada 2009, Jones mengatakan bahwa konsep "survival of the fittest" tak lagi berlaku sebagaimana dahulu kala.

Menurutnya, "The fittest" alias yang terbaik dalam suatu spesies bukan lagi ujung tombak dalam perubahan evolusioner, sebab, berkat kemajuan ilmu medis, bahkan orang-orang paling payah dapat terus hidup serta mewariskan gen mereka. Buktinya: pada masa hidup Darwin, hanya setengah dari seluruh anak di Inggris yang berhasil hidup sampai usia 21 tahun, namun, kini jumlah yang selamat meningkat jadi 99 persen.

Apakah itu berarti umat manusia telah sampai pada puncak? Apakah orang-orang yang hidup pada jutaan tahun mendatang akan tak berubah, akan tampak dan berfungsi sebagaimana kita saat ini?

Transhumanisme dan Implan Microchip

Salah satu spekulasi paling populer tentang situasi umat manusia di masa depan adalah evolusi berdasarkan unnatural selection atau seleksi tidak alamiah.

Artinya, Homo sapiens akan merebut proses evolusi dari alam dan menggunakan teknologi untuk menghancurkan dinding keterbatasan biologisnya serta meneruskan proyek agung “penciptaan” dengan tangannya sendiri.

Menurut Nick Bostrom dari University of Oxford, evolusi Darwinian sungguh lamban bila dibandingkan dengan pemicu-pemicu perubahan keadaan manusia yang kini umum dikembangkan, antara lain kloning, olah genetika, robotika, kecerdasan buatan, serta teknologi nano.

Pandangan yang dikenal dengan nama transhumanisme itu meliputi pembayangan yang amat luas tentang manusia masa depan. Mulai dari tentara super yang bisa menumbuhkan tiap anggota badan yang terpotong—dan karenanya jadi sukar mampus seperti terminator—hingga pemindahan kesadaran manusia ke dalam komputer.

Tentu saja tak sedikit orang yang menertawakan transhumanisme. Bagi mereka, para transhumanis telah melebih-lebihkan kemajuan teknologi dan terlihat seperti segerombolan orang malang yang keracunan fiksi ilmiah.

Sebaliknya, bagi pemeluk teguh transhumanisme: kenapa memangnya jika pandangan mereka terkesan seperti fiksi ilmiah? Bukankah dua abad silam evolusi biologis juga umum dianggap sebagai produk khayalan yang mengada-ada?

Kurt Vonnegut menulis cerita pendek “Harrison Bergeron” pada 1961. Dalam kisah berlatar tahun 2081 itu, pemerintah Amerika Serikat menanamkan chip radio di kuping segenap warganya untuk mencegah mereka berpikir, dan sejumlah alat lainnya di bagian-bagian tubuh yang lain buat menjadikan mereka serba setara, baik dalam hal fisik maupun mental.

Cerita itu adalah sebuah fiksi ilmiah dan implan microchip pada manusia, pada waktu ia ditulis, memang tak lebih dari "khayalan."

Tapi, beberapa bulan silam, Anda bisa saja datang ke Austin Convention Center di Amerika Serikat, menghampiri salah satu lapak, dan meletakkan tangan kiri Anda di atas sehelai kertas steril, lalu seorang pria ramah akan mengajak Anda mengobrol tentang burger keju atau apa sajalah sembari ia menyuntikkan Radio-frequency Identification (RFID) microchip di antara telunjuk dan ibu jari Anda.

"Alat tersebut bercokol di bawah lapisan kulitku dan terlihat seperti pil kecil yang menonjol," tulis Rose Eveleth, pemilik pengalaman tersebut, di situs Popular Science.

Berkat “anggota tubuh” baru itu, sehari-hari Eveleth dapat membuka pintu kantor, mengunci atau membuka kunci mobil, menjalankan mesin fotokopi, serta mengoperasikan sejumlah fitur di ponsel pintarnya hanya dengan menempelkan atau mengayunkan tangan.

“Ada banyak hal bodoh dan asyik yang bisa kulakukan berkat implan ini,” ujar Eveleth. “Tapi, secara teoritis, kemungkinan penggunaannya jauh lebih besar dan bermanfaat. Aku bisa menghubungkannya dengan rekening bank dan memakainya untuk belanja di toko kelontong. Aku bisa menghubungkannya dengan kartu transitku dan memakainya untuk menumpangi kereta bawah tanah.”

Implan microchip memang menjanjikan banyak hal menggembirakan di masa depan. Andai ia dapat membaca keadaan tubuh serta mendeteksi penyakit penggunanya, dokter-dokter bloon yang kerap salah selidik tentu bakal tersingkir. Andai ia dapat menyimpan data preferensi individual, jumlah korban film jelek di bioskop dan musik perusak jiwa yang disetel di tempat-tempat makan pasti bakal berkurang secara signifikan. Dan sebagainya, dan sebagainya.

Tapi, di sisi lain, ia juga mengandung sejumlah persoalan gawat. Yang paling besar dan sudah terbayangkan sejak dulu, ketika perkembangan teknologi masih berada ribuan mil metaforis di belakang, ialah perkara etik: sejauh apakah orang boleh mengutak-atik tubuhnya? Sejauh apa buah teknologi itu boleh dimanfaatkan oleh pihak-pihak selain individu pengguna itu sendiri?

Larangan dan Kemungkinan Penyalahgunaan

Celaka bagi para pengembang teknologi microchip, teks suci agama-agama Abrahamik mengandung perintah-perintah yang menyerupai pelarangan terhadap produk mereka.

Dalam agama Yahudi, memotong, menindik, atau menandai tubuh adalah perbuatan yang bertentangan dengan B'tzelem Elokim, yaitu konsep bahwa manusia diciptakan “sebagaimana citra Tuhan” dan oleh karenanya tidak boleh diutak-atik, termasuk dengan implan microchip. Sebuah ayat dalam Taurat, Imamat 19:28, menyatakan: “Janganlah kamu menggoresi tubuhmu karena orang mati dan janganlah merajah tanda-tanda pada kulitmu; Akulah TUHAN.”

Bagi umat Nasrani, Injil Wahyu 13:16-18 menyatakan: “(16) Dan ia menyebabkan, sehingga kepada semua orang, kecil atau besar, kaya atau miskin, merdeka atau hamba, diberi tanda pada tangan kanannya atau pada dahinya (17) dan tidak seorang pun yang dapat membeli atau menjual selain dari pada mereka yang memakai tanda itu, yaitu nama binatang itu atau bilangan namanya. (18) Yang penting di sini ialah hikmat: barangsiapa yang bijaksana, baiklah ia menghitung bilangan binatang itu, karena bilangan itu adalah bilangan seorang manusia, dan bilangannya ialah enam ratus enam puluh enam.”

Demikian pula dalam Islam. Surah An-Nisa: 119, misalnya, tak hanya melarang atau melibatkan musuh Tuhan dalam larangan itu, tetapi juga mengancam dengan hukuman: “Dan aku (setan) benar-benar akan menyesatkan mereka ... aku (setan) suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya. Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.”

Lalu, bagaimana seandainya suatu ketika ada negara yang memaksakan implan microchip pada warganya, mulai dari untuk melacak keberadaan hingga mengendalikan perilaku, sebagaimana dalam “Harrison Bergeron”? Bagaimana seandainya perusahaan-perusahaan seperti Google atau Facebook menarik data pribadi para pengguna microchip dan memanfaatkannya untuk keperluan mereka?

“Pertanyaan yang paling sering kuterima tentang implan ini (selain 'kenapa kau melakukannya?') adalah apakah aku terlacak. Jawaban singkatnya, tidak. RFID chips tidak sehebat itu,” tulis Eveleth.

Namun, sebagaimana yang paling berharga dari microchip ialah hal-hal yang dapat diperbuat alat itu di masa depan, bukan sekarang, demikian pula ancamannya. Yang paling mengkhawatirkan dari teknologi itu adalah kemungkinan penyalahgunaannya ketika ia sudah jauh lebih canggih.

Sebagaimana yang sudah-sudah, pada suatu titik, perkembangan teknologi microchip barangkali akan tak terbendung. Maka, yang harus dikerjakan sejak dini ialah melindungi para penggunanya dari penyalahgunaan oleh pihak-pihak lain yang lebih berkuasa. Sejumlah wilayah, antara lain negara bagian Wisconsin, North Dakota, dan California di Amerika Serikat, telah melarang segala jenis pemaksaan implan microchip pada manusia. Para pelakunya dapat dijerat dengan hukum pidana.

Baca juga artikel terkait TEKNOLOGI atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

tirto.id - Teknologi
Reporter: Dea Anugrah
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti