tirto.id - Di dunia barat, kudapan seringkali dianggap tak sehat. Venus Williams, salah satu petenis terbaik sepanjang masa, pernah mengatakan dengan tegas: aku nyaris tak pernah mengudap, karena aku tumbuh tanpa kudapan. Juru masak selebriti sekaligus antropolog kuliner, Anthony Bourdain, juga pernah bilang bahwa meski ia hidup di dalam dunia kuliner, ia tak pernah mengudap.
"Aku tak pernah mengudap. Aku tidak makan permen atau minum soda. Aku tak pernah makan di antara jam makan siang dan makan malam," katanya.
Tapi Williams dan Bourdain hanya golongan minoritas dalam dunia kuliner. Nyatanya, kudapan merupakan bagian penting, hampir tak terpisahkan, dalam kehidupan sehari-hari. Nielsen pernah mengadakan survei tentang kebiasaan mengudap di seluruh dunia. Sebanyak 91 persen dari 30.000 pengguna internet yang tersebar di 60 negara mengatakan mereka mengudap setidaknya satu kali sehari. Bahkan 21 persen dari pengguna internet itu mengaku menyantap camilan tiga hingga empat kali dalam sehari.
Secara bisnis, kudapan punya nilai besar. Dalam studi Nielsen, diperkirakan, bisnis kudapan mencapai angka $374 miliar antara 2013-2014, dan tumbuh 2 persen per tahun. Angka paling besar ada di Eropa, sekitar $167 miliar, dan Amerika Utara senilai $124 miliar.
"Namun penjualan kudapan tumbuh lebih cepat di kawasan berkembang. Di Asia Pasifik ($46 miliar) dan Amerika Latin ($30 dolar), meningkat 4 persen dan 9 persen. Sedangkan di Timur Tengah atau Afrika yang penjualannya $7 miliar, pertumbuhannya 5 persen," tulis studi itu.
Menurut Julie M. Hess, Satya S Jonnalagadda, dan Joanne L Slavin, ada beberapa penyebab mengapa orang ingin mengudap. Mengudap atau snacking merupakan aktivitas mengonsumsi camilan, sehat atau tidak, yang dilakukan manusia untuk mengurangi rasa lapar.
Dalam makalah "What is a Snack, Why Do We Snack, and How Can We Choose Better Snacks?" (2016) itu, mereka mengatakan pilihan kudapan tergantung, salah satunya, dari lokasi seseorang. Apabila ia berada di rumah, maka camilan sehat cenderung dipilih. Sebaliknya, seseorang akan menyantap kudapan dengan porsi besar yang miskin serat dan tinggi lemak jika ia ada di luar rumah.
Aktivitas makan yang terdistraksi kegiatan lain juga menambah alasan seseorang mengudap camilan. Sebagai contoh, jika makan siang dilakukan sambil menonton TV atau bermain video game, ada kecenderungan untuk menambah jumlah kudapan yang akan dikonsumsi.
Penyebab tingginya tingkat mengudap, antara lain: rasa bosan. Selain itu, orang yang sering mengerjakan banyak kegiatan dalam satu waktu, biasanya akan lebih banyak mengudap. Jangan lupakan pula hedonic eating, atau para pemakan kudapan yang melakukannya untuk kesenangan atau pengelolaan emosi.
Lebih lanjut, budaya sosial, budaya makan, dan status sosioekonomi mempengaruhi kegiatan mengudap manusia. Beberapa studi memperlihatkan jumlah porsi camilan yang dikonsumsi oleh teman makan seseorang akan berdampak pada besarnya porsi yang disantap orang tersebut. Hal ini disebut dengan social modelling.
Sementara itu, bagi masyarakat yang kesulitan mengakses makanan, mengudap dipilih sebagai strategi untuk mengisi perut. Konsumsi camilan juga bisa terjadi apabila ada acara perayaan-perayaan sosial, tempat makanan yang menggoda tersaji. Negara-negara seperti Perancis, Filipina, dan Meksiko bahkan mempunyai jenis “makanan” keempat yang menjadi bagian dari pola makanan tradisional. Di negara-negara tersebut, tradisi dapat memotivasi orang untuk mengudap.
Mengenal Budaya Mengudap
Orang Perancis punya istilah menarik: gouter. Kata itu diserap dari Bahasa Latin, gustare. Artinya: mencicipi. Istilah itu kemudian sering dipakai untuk aktivitas mengudap. Biasanya di sore hari, antara pukul 4 hingga 6, banyak orang Perancis, terutama Paris, mulai memadati pattiserie dan boulangerie—dua istilah Perancis untuk menyebut toko kue dan toko roti. Yang dibeli beragam. Mulai croissant, brioche, meringue, juga sandwich.
Le goûter dulu berwujud makanan malam yang dihidangkan ketika pekerja kembali dari ladang. Saat ini, makanan ini berubah menjadi kudapan yang dikonsumsi tidak hanya anak-anak yang tapi juga orang muda dan dewasa antara pukul 2 siang sampai sebelum jam 9 malam.
Di benua lain, masyarakat Meksiko kenal dengan lima santapan sehari-hari. Kathryn P. Sucher, Pamela Goyan Kittler, dan Marcia Nelms dalam Food and Culture (2011) menjelaskan kelima santapan tersebut yang terdiri dari desayuno (makan pagi), almuerzo (coffee break), comida (makan siang), merienda (camilan sore), dan cena (makan malam).
Dalam Mexico-Culture Smart: The Essential Guide to Customs & Culture (2006), Guy Mavor mengatakan orang-orang Meksiko mengonsumsi almuerzo setelah pukul 10 pagi sampai sebelum jam 2 siang. Makanan seperti pan dulce atau roti manis macam croissant, chilaquiles alias keripik jagung dengan saos salsa verde yang dibalut bawang bombay dan keju, telur, serta huevos rancheros atau telur goreng di atas tortillas yang dibumbui salsa roja bisa dijadikan pilihan saat almuerzo. Ketika jam menunjukkan pukul 6 sore, orang-orang Meksiko mengonsumsi camilan saat merienda sampai pukul 10 malam sebelum cena (makan malam) berlangsung.
Merienda ditemukan pula di Filipina. Tradisi ini berkembang di tengah masyarakat Filipina akibat penjajahan Spanyol yang berlangsung selama 300 tahun. Beberapa makanan tradisional layaknya bibingka dan ginataan, halo-halo, pancit luglog, dan puto dapat dikonsumsi ketika merienda.
Bibingka adalah kue berbahan tepung, telur, santan yang dipanggang dalam panci berlapis daun pisang. Sementara itu, ginataan terbuat dari potongan dadu gabi, ube, camote, potongan pisang raja sukun, dan tepung tapioka yang dimasak jadi satu dengan santan juga gula.
Di Indonesia, kudapan sudah ditemui sejak era Jawa Kuno. Dalam Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (2016), sejarawan Fadly Rahman menulis bahwa ada istilah amik-amikan, alias makanan kecil berasa manis. Beberapa contoh makanan kecil manis di era Jawa Kuno antara lain dodol dan wajik. Kata dodol juga ditemukan dalam Hikayat Banjar, sebuah babad tentang sejarah raja Banjar dan kota Waringin, yang bagian akhirnya bertarikh 1663.
Namun, yang menarik, di Indonesia nyaris tak ada waktu baku untuk mengudap—agak berbeda dengan, katakanlah, orang-orang Paris atau Filipina. Menurut Stephen Backshall dalam buku Rough Guide to Indonesia(1999), selain makan besar sebanyak tiga kali, jam makan camilan di Indonesia tidak jelas.
Hal ini bukan karena tak ada budaya mengudap atau mencamil, malahan: orang Indonesia suka mengudap sepanjang hari. Tak dibatasi oleh waktu. Karena itu, tak usah heran kalau para penjual kudapan di Indonesia selalu ada nyaris 24 jam.
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Nuran Wibisono