tirto.id - Puluhan mobil dan motor tampak saling berdesakkan mencari ruang. Deru mesin kendaraan dan bunyi klakson saling bersahut-sahutan. Bau asap kendaraan menyusup ke lubang hidung. Terik sinar matahari menusuk tajam ke kulit tangan. Embusan angin menyapu debu-debu yang hinggap di sepanjang jalan.
Seperti itu hiruk pikuk suasana pagi hari di Jalan Tahi Bonar (TB) Simatupang, Jakarta Selatan, pada Jumat (22/8/2025). Kemacetan lalu lintas sudah menjadi langganan jalan itu tiap pagi dan malam hari. Tirto menyusuri langsung Jalan TB Simatupang dengan sepeda motor untuk merasakan betapa ganasnya kemacetan di sana.
Sepanjang berkendara di sana, Tirto menemukan beberapa titik yang menjadi pusat kemacetan. Seperti contoh, salah satu titik kemacetan terparah berada di lampu lalu lintas persimpangan antara Jalan TB Simatupang dengan Jalan Harsono RM yang terletak persis di samping Gedung Kementerian Pertanian (Kementan). Di sana, lampu merah bisa berdurasi hingga 2-3 menit. Akibatnya, kemacetan mengular panjang hingga 1 kilometer lebih pada jam-jam sibuk.
Bukan hanya disebabkan oleh lamanya durasi lampu merah di setiap persimpangan, belakangan kemacetan di Jalan TB Simatupang turut diperparah dengan adanya proyek galian yang memakan badan jalan. Proyek galian itu diketahui dilakukan oleh Perusahaan Umum Daerah Air Minum (PAM) Jaya untuk memasang pipa air bersih dan Perumda Pengolahan Air Limbah (PAL) Jaya untuk memasang pipa air limbah.

Salah satu titik proyek galian yang menyebabkan kemacetan terletak tidak jauh dari depan pintu masuk kawasan komersial Cibis Business Park, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Proyek galian itu memakan satu lajur, sehingga membuat jalanan menyempit. Akibatnya, kendaraan yang melintasi jalan itu saling berdesakan untuk berpindah ke lajur sebelah kiri. Dengan volume kendaraan yang sudah tinggi, kemacetan panjang pun tak terhindarkan.
Keluhan pun datang dari masyarakat yang biasa melintasi jalan itu sehari-hari. Nevan (24), salah seorang warga Tangerang Selatan, Banten, melintasi Jalan TB Simatupang setiap harinya untuk menuju ke kantornya yang terletak di Sovereign Plaza, Cilandak, Jakarta Selatan. Biasanya, ia menempuh perjalanan menuju kantornya dengan waktu kurang lebih 40 menit. Kini, setelah adanya proyek pembangunan itu, perjalanan dari rumahnya menuju kantor dengan menggunakan sepeda motor harus memakan waktu hingga 70 menit lebih.
Menurutnya, kemacetan di Jalan TB Simatupang terjadi hampir setiap waktu. Nevan, yang biasa berangkat ke kantor pada pukul 7 pagi, sempat mencoba untuk berangkat lebih siang, yakni pada pukul 9. Ia berharap, dengan memundurkan waktu berangkat, maka ia tidak akan terjebak kemacetan. Namun, dugaannya ternyata salah. Kemacetan tetap saja terjadi meskipun jam-jam sibuk sudah ia hindari.
“Iya, tiap hari macet. Mau berangkat pagian atau pulang malaman juga tetap aja macet,” tuturnya kepada Tirto, Jumat.
Bagi Nevan, kemacetan yang harus ia hadapi setiap berangkat dan pulang kerja itu sangat menghambat performanya. Tingkat stresnya pun meningkat, terlebih lagi dengan beban kerja yang harus ia pikul setiap harinya. Beberapa kali, kemacetan itu juga membuat Nevan terlambat untuk datang ke kantor.
“Lumayan bikin stres sih, apa lagi kadang ngaruh ke kerjaan juga karena telat nyampe,” kata Nevan.
Nevan mengaku tidak mempermasalahkan adanya proyek galian di Jalan TB Simatupang itu. Sebab, ia berkata, galian itu tentu memiliki tujuan yang baik. Namun, ia menyayangkan keputusan untuk melakukan proyek galian di berbagai titik dalam waktu yang bersamaan. Dengan begitu, maka kemacetan sudah pasti tidak dapat dihindari.
Sementara itu, Tatang (48), seorang pekerja swasta yang berkantor di Gedung JGC Indonesia, Cilandak, Jakarta Selatan, juga mengeluhkan hal yang sama. Tatang harus menempuh waktu yang lebih lama untuk tiba di kantor. Dari rumahnya yang berlokasi di Bogor, Jawa Barat, Tatang berangkat menggunakan KRL sampai Stasiun Tanjung Barat. Dari sana, ia berganti moda transportasi dan menggunakan Transjakarta D21 dengan rute Universitas Indonesia-Lebak Bulus. Seluruh rangkaian perjalanan itu biasanya ia tempuh dalam waktu 55-60 menit.
“Naik kereta 40 menit, biasanya dari [Stasiun] Tanjung Barat itu cuma 15-20 menit [ke kantor]. Rata-rata kalau pagi ya. Kalau pulang itu bisa setengah jam paling cepat, setengah jam sampai satu jam,” terangnya kepada Tirto, Jumat.
Kini, dengan adanya proyek galian yang terletak di sejumlah titik Jalan TB Simatupang, waktu tempuh Tatang untuk menuju kantor meningkat menjadi hampir 100 menit. Jika biasanya ia sudah tiba di kantor pada sekitar pukul 06.30, sekarang ia baru sampai pada sekitar pukul 07.05 sampai 07.10.

Kemacetan panjang itu membuat Tatang lelah. Sebab, sepanjang perjalanan di dalam kereta maupun bus, ia harus berdiri. Ia berharap, proyek galian itu bisa selesai dengan segera. Ia juga mengatakan, armada bus Transjakarta seharusnya ditambah, agar para penumpang tidak lagi berdesakan dan bisa mendapatkan tempat duduk.
“Harapannya sih [proyek galiannya] cepat selesai, semua orang kan pasti kayak gitu. Kedua, bus ke arah sini kan cuma D21 doang, gak ada alternatif lain. Jadi penuh. Kalau ada trayek lain, bus lain, itu lebih bagus jadi gak terlalu penuh,” kata Tatang.
Jurus Pemprov Jakarta Atasi Macet di TB Simatupang
Tak hanya Nevan dan Tatang, horornya kemacetan di Jalan TB Simatupang juga dirasakan langsung oleh Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung. Pramono mengaku sudah menjajal langsung jalanan itu pada Sabtu (16/8/2025) lalu. Kala itu, ia berkendara hanya berdua dengan sopirnya untuk melihat langsung situasi kemacetan.
“Saya hari Sabtu kemarin sengaja tidak dikawal, dengan sopir berdua pengen ngecek sendiri, dan memang [macetnya] parah banget,” kata Pramono kepada para wartawan di Balai Kota Jakarta, Rabu (20/8/2025).
Pramono menyebut, proyek galian di Jalan TB Simatupang itu menjadi bagian dari proyek strategis nasional (PSN) yang dikerjakan oleh pemerintah pusat. Ia berjanji akan menyurati pemerintah pusat terkait berbagai keluhan masyarakat atas proyek yang menyebabkan kemacetan itu.

Sebagai solusi jangka pendek, Pramono mengatakan, ia telah memerintahkan jajarannya di Dinas Bina Marga, Dinas Perhubungan (Dishub), dan juga Satpol PP untuk membuat pagar pembatas proyek menjadi lebih kecil, sehingga kendaraan bisa lebih leluasa untuk melintas. Kehadiran petugas di lapangan juga ditujukan agar tidak ada oknum “Pak Ogah” yang memanfaatkan situasi untuk mengatur lalu lintas.
Selain itu, Pramono juga mengimbau masyarakat untuk menggunakan jalan alternatif selama proyek galian itu masih berlangsung. Apabila seluruh masyarakat masih memilih untuk melewati Jalan TB Simatupang, maka baginya kemacetan masih akan tetap terjadi.
“Kami juga akan menginformasikan bahwa masyarakat yang melewati TB Simatupang, yang bisa, ada alternatif jalan lain. Apakah melalui jalan tol yang baru atau melalui [Tol] Dalam Kota,” sebutnya.
Sementara itu, Kepala Dishub DKI Jakarta, Syafrin Liputo, menguraikan, sepanjang Jalan TB Simatupang terdapat proyek penggalian oleh PAM Jaya yang ditujukan untuk meningkatkan kapasitas pipanisasi air minum bersih. Selain itu, ada juga proyek galian pipa air limbah yang dilakukan oleh PAL Jaya dan pembangunan jalan yang dilakukan oleh Dinas Bina Marga.
Syafrin menjelaskan, kemacetan bisa terjadi karena proyek-proyek itu mengkooptasi ruang-ruang jalanan. Sebagai solusi atas kemacetan itu, Dishub dan Dinas Bina Marga disebutnya akan menggunakan sejumlah lahan trotoar, sehingga Jalan TB Simatupang bisa kembali difungsikan untuk dua lajur.
“Kami dengan Dinas Bina Marga itu akan mengambil sedikit trotoar khususnya yang di TB Simatupang, di area Cibis Park. Sehingga lebar lajur lalu lintas, paling tidak kita bisa kembalikan dua lajur,” katanya kepada para wartawan, Kamis (21/8/2025).
Langkah selanjutnya yang akan dilakukan Dishub Jakarta adalah dengan mengusulkan penerapan rekayasa lalu lintas berupa penutupan pintu keluar Tol JORR Cipete-Pondok Labu pada saat jam-jam sibuk.
Menurut Syafrin, mayoritas kendaraan yang keluar dari pintu tol itu langsung menyeberang ke Jalan Fatmawati arah selatan. Sedangkan kendaraan yang melaju dari arah Jalan TB Simatupang banyak yang hendak lurus menuju Jalan R.A. Kartini atau belok kanan ke Jalan Fatmawati arah utara. Sehingga, situasi itu menyebabkan bottleneck yang berujung pada kemacetan.
“Kami upayakan untuk dilakukan penutupan [pintu tol Cipete-Pondok Labu] hanya pada peak sore hari saja. Ini baru usulan, ya,” ujarnya.
Tingginya Volume Kendaraan Juga Jadi Penyebab Kemacetan
Ahli tata kota Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, menilai kemacetan di Jalan TB Simatupang bukan hanya disebabkan oleh adanya proyek galian. Lebih luas lagi, ia memandang bahwa akar permasalahan kemacetan terletak pada kapasitas jalan arteri yang sudah tidak sebanding dengan volume kendaraan yang melintas.
Menurutnya, arus kendaraan dari wilayah pinggiran seperti Depok, Bekasi, hingga Tangerang, yang menuju pusat kota Jakarta, menjadikan TB Simatupang sebagai jalur utama yang mereka lintasi.
Persimpangan besar di Ragunan, Cilandak, dan Fatmawati juga memperparah kondisi itu. Ditambah lagi dengan keberadaan proyek galian yang membuat lajur menjadi sempit, maka kemacetan hebat tak terelakkan.
Yayat menilai, setiap pekerjaan konstruksi seharusnya dilengkapi analisis dampak lalu lintas, sehingga rekayasa jalan atau penyediaan jalur alternatif bisa segera dilakukan. Ia bahkan menyebut teknologi kecerdasan buatan (AI) bisa dimanfaatkan untuk mengatur lampu lalu lintas agar lebih adaptif terhadap kepadatan.

“Setiap simpul yang menimbulkan bottleneck, seperti traffic light itu, tidak diatur [secara] manual lagi. tapi dengan cara AI menggunakan artificial intelligence. Jadi dengan AI itu bisa diatur kira-kira mana yang padat, [bisa] dipercepat,” kata Yayat kepada Tirto, Jumat.
Ia mengingatkan, kemacetan di Jalan TB Simatupang tidak bisa diselesaikan hanya dengan memperkecil pagar proyek. Bagi Yayat, masalah utamanya adalah ketiadaan pembatasan kendaraan pribadi yang tegas, serta minimnya transportasi umum di daerah penyangga. Menurutnya, 40 persen lebih pekerja dari Depok, Bekasi, dan Tangerang masuk ke Jakarta masih dengan menggunakan mobil atau motor pribadi.
Yayat menyebut, pemerintah harus berani mengambil kebijakan keras, misalnya pembatasan usia kendaraan, tarif parkir tinggi, hingga penerapan kawasan emisi rendah. Ia mencontohkan Singapura yang membatasi usia kendaraan dan mewajibkan pemilik mobil membeli lisensi jalan melalui lelang. Tanpa langkah ekstrem semacam itu, katanya, kemacetan di ruas-ruas arteri Jakarta hanya akan berulang.

Sementara itu, pengamat transportasi sekaligus Ketua Institut Studi Transportasi (Instran), Darmaningtyas, menilai masalah di Jalan TB Simatupang juga terkait dengan lemahnya dukungan transportasi umum. Ia mengatakan, pembangunan infrastruktur seperti proyek pipanisasi memang wajar terjadi, tapi yang membuat jalan itu semakin padat adalah dominasi kendaraan pribadi tanpa diimbangi armada angkutan umum yang memadai.
Menurutnya, MRT yang sudah beroperasi di Lebak Bulus, tidak menjawab masalah kemacetan di TB Simatupang, karena hanya menampung mobilisasi masyarakat dari utara-selatan, sementara kepadatan terbesar justru terjadi di koridor timur-barat. Transjakarta pun disebutnya masih terbatas secara jumlah armada, sehingga tidak bisa menjadi pilihan utama masyarakat.
“Kalau di Jalan TB Simatupang, [kemacetan terjadi] karena terlalu banyak kendaraan pribadi di satu sisi, di sisi lain armada angkutan umumnya itu tidak memadai, tidak seimbang lah ya,” ujar Darmaningtyas saat dihubungi Tirto, pada Jumat.
Ia menegaskan, solusi yang paling realistis adalah memperbanyak armada transportasi umum yang aman, nyaman, dan bisa diandalkan. Menurutnya, hanya dengan menyediakan transportasi umum yang memadai, masyarakat bisa didorong meninggalkan kendaraan pribadinya.
Penulis: Naufal Majid
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id


































