tirto.id -
"Pada dasarnya MA tetap menghormati independensi putusan hakim," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah di Jakarta, Kamis (12/4/2018).
Abdullah juga menghormati putusan praperadilan yang dibacakan oleh hakim tunggal Effendy Muchtar tersebut pada Selasa lalu.
Namun Abdullah tidak menampik bahwa obyek praperadilan yang dimohonkan tersebut memang belum diatur dalam KUHAP dan Putusan MK.
"Tetapi secara yuridis hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan ke pengadilan," kata Abdullah.
Abdullah menambahkan bahwa hakim harus memutus perkara yang diajukan apapun alasannya termasuk permohonan praperadilan untuk kasus Bank Century yang diadili di PN Jakarta Selatan.
Pada Selasa (10/4/2018), Hakim Tunggal Effendy Muchtar memerintahkan KPK untuk melanjutkan kasus dugaan tindak pidana korupsi Bank Century sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, hakim Effendy memerintahkan KPK menetapkan Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dan kawan-kawan sebagai tersangka berdasarkan surat dakwaan atas nama Budi Mulya atau melimpahkannya kepada Kepolisian atau Kejaksaan untuk dilanjutkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Pada Juli 2014, mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa Budi Mulya divonis 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider lima bulan kurungan karena dinilai terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century dan penetapan bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
Dalam pertimbangannya hakim menjelaskan bahwa Budi Mulya terbukti melakukan perbuatan melawan hukum karena menyetujui FPJP dengan itikad tidak baik, yakni untuk mencari keuntungan diri sendiri dan YKKBI Yayasan Kesejahteraan Karyawan Bank Indonesia (YKKBI) yang menyimpan dana di Bank Century dan tindakan-tindakan lain yang berdasarkan korupsi, kolusi, nepotisme.
YKKBI menyimpan dana hingga Rp83 miliar di Bank Century dan merupakan salah satu nasabah yang uangnya dikembalikan dari pengucuran FPJP sebesar Rp689,39 miliar.
Di samping itu, hakim menilai pemberian FPJP tidak dilakukan dengan analisis mendalam dan berdampak positif sehingga bertentangan dengan pasal 25 UU No23/1999 sebagaimana diubah UU 3/2004 yang mengatur keputusan dewan Gubernur BI tidak dapat dihukum bila mengambil kebijakan sesuai dengan kewenangannya sepanjang dengan itikad baik yang dipandang bila dilakukan bukan untuk diri, keluarga, kelompoknya dan atau tindakan-tindakan lain yang terindikasi korupsi, kolusi nepotisme.
Menurut hakim, perbuatan Budi Mulya menyebabkan kerugian negara sampai Rp8,5 triliun yang mencakup FPJP sebesar Rp689,39 miliar; serta penyertaan modal sementara dari Lembaga Penjamin Simpanan senilai Rp6,7 triliun hingga Juli 2009 Rp1,2 triliun pada Desember 2013.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri