Menuju konten utama

Luhut Mau Audit Pabrik Sawit, Sekjen SPKS: Jangan Cuma Soal Izin

SPKS sebut pembenahan tata kelola industri perkebunan sawit tidak berhenti pada persoalan legalitas seperti perizinan, HGU dan plasma.

Luhut Mau Audit Pabrik Sawit, Sekjen SPKS: Jangan Cuma Soal Izin
Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat permintaan produk sawit dunia mulai bergerak naik, ditandai naiknya harga Crude Palm Oil (CPO) pada Juli 2020 dibandingkan bulan sebelumnya. (ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/pras)

tirto.id - Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto buka suara terkait rencana Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia, Luhut Binsar Panjaitan melakukan audit seluruh perusahaan di industri perkebunan kelapa sawit. Hal ini sebagai langkah serius pemerintah untuk memperbaiki tata kelola industri sawit di sektor hulu dan hilir.

“Langkah audit yang akan dilakukan Menko Marves seharusnya tidak saja berfokus pada persoalan perizinan, tetapi mencakup semua permasalah laten yang ada di lapangan saat ini,” kata Darto dalam keterangan resmi, Jumat (27/5/2022).

Darto mengatakan, pembenahan tata kelola industri perkebunan sawit di tanah air tidak berhenti pada persoalan legalitas seperti perizinan, HGU dan plasma. Industri sawit nasional juga menjadi perhatian dunia internasional terutama menyangkut keberlanjutan terutama pada aspek lingkungan yang menyangkut masalah deforestasi dan kebakaran lahan dan hutan.

Masalah tersebut, kata dia, masih belum dilakukan. Pembenahan sistem perkebunan kelapa sawit harus datang dari komitmen pemerintah terutama dalam hal penyusunan kebijakan dan aturan diikuti langkah audit dan evaluasi terhadap kepatuhan pelaku usaha di sektor industri sawit.

Misalnya mengenai data perkebunan sawit rakyat masih memiliki masalah. Data yang di keluarkan Kementerian Pertanian pada 2019 luas perkebunan sawit rakyat di bawah 25 hektar ada 6,7 juta hektar, dan 2022 ini dari Lembaga Auriga telah merilis data untuk petani sawit rakyat hanya 2,3 juta hektar.

Artinya masih banyak yang memiliki lahan di atas 25 hektar, kemudian mengatasnamakan sebagai petani sawit. Hal tersebut butuh evaluasi juga agar pemilik lahan di atas 25 hektar wajib IUP dan memiliki HGU.

“Pembenahan sawit rakyat yang masih bersoal dalam aspek legalitas lahan dan usahanya, SHM dan STDB. Belum lagi dari aspek lingkungan seperti larangan penamaan sawit di sepadan sungai dan perlindungan spesies yang dilindungi dan lain-lain yang menjadi bagian dalam upaya pemenuhan prinsip keberlanjutan. Jadi, kalau pemerintah mau mengevaluasi atau mengaudit, harus menjangkau semua permasalahan yang ada," jelas dia.

Darto mengatakan, kaitan dengan masalah kelangkaan minyak goreng dan praktik penyimpangan dalam kegiatan ekspor yang dilakukan oleh korporasi besar, maka langkah audit ini tidak hanya menyasar pada aspek legalitas kepatuhan hukum. Namun perhatian pemerintah juga menjangkau pembenahan struktur pasar di industri sawit dari hulu hingga hilir.

“Pasca pencabutan aturan larangan sementara ekspor CPO oleh presiden, seharusnya ada langkah untuk memperbaiki struktur pasar oligopoly di Industri hulu perkebunan kelapa sawit dan struktur pasar monopoli di sektor hilir. Karena keadaan struktur pasar yang demikian telah menyingkirkan petani sawit sebagai pelaku rantai pasok dan penyingkiran petani atas tanah karena penguasaan tanah yang timpang sebagai dampak perluasan lahan yang melebihi ketentuan yang berlaku. Situasi yang terjadi selama ini banyak pabrik kelapa sawit tidak menerima TBS kelapa sawit produksi petani. Mereka lebih mengutamakan suplai TBS dari kebun inti," jelas dia.

Baca juga artikel terkait SAWIT atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz