Menuju konten utama
6 September 2007

Luciano Pavarotti: Lengkingan Suara C Tinggi Si Anak Tukang Roti

Luciano Pavarotti spesial karena ia memiliki teknik yang sangat jarang dalam dunia penyanyi tenor: nada c tinggi tanpa falseto.

Luciano Pavarotti: Lengkingan Suara C Tinggi Si Anak Tukang Roti
Luciano Pavarotti. tirto.id/Sabit

tirto.id - Mario Dradi, produser musik Italia, berkomunikasi intensif dengan Elmar Kruse, orang Jerman yang sama-sama produser musik. Selain mereka berdua, ada juga Herbert Chappell, komponis Inggris. Mereka membahas kemungkinan proyek besar menyatukan tiga penyanyi tenor kenamaan dunia dalam satu panggung. Kebetulan, perhelatan akbar Piala Dunia sepakbola tahun 1990 akan digelar di Italia.

José Carreras, salah satu penyanyi tenor yang rencananya akan diajak, baru saja sukses menjalani operasi leukemia. Setelah sembuh, ia pun mendirikan The José Carreras International Leukemia Foundation untuk menggalang dana pengobatan bagi sesama penderita yang kurang mampu. Maka momentum penyatuan tiga penyanyi tenor itu sekaligus dijadikan kesempatan untuk menyambut Carreras kembali ke dunia musik.

Pada 7 Juli 1990, sehari sebelum partai final antara Jerman Barat melawan Argentina, sebuah panggung disiapkan untuk menutup gelaran Piala Dunia di Roma. Konduktor kenamaan Zubin Mehta didaulat memimpin para pemusik Orchestra of Maggio Musicale Fiorentino dan Orchestra of Teatro dell’Opera.

Selain Piala Dunia, hari itu tercatat dalam sejarah sebagai hari penampilan perdana kelompok penyanyi trio yang dikenal dengan nama The Three Tenors. Carreras bernyanyi bersama dua rekannya, Placido Domingo dan Luciano Pavarotti. Di antara mereka bertiga, hanya Pavarotti yang berkebangsaan Italia, sementara dua rekannya adalah orang Spanyol. Sejak 2007, kelompok ini tak lagi lengkap. Pavarotti meninggal dunia di usia 71 tahun.

Ingin Menjadi Pemain Sepakbola

Luciano Pavarotti dilahirkan di Modena, Italia pada 1935. Ayahnya, Fernando Pavarotti, adalah penyanyi amatir yang bekerja sebagai pembuat roti. Penghasilan ayahnya pas-pasan, sehingga ibunya harus bekerja di pabrik cerutu untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Di masa Perang Dunia II, keluarga Pavarotti terpaksa mengungsi dan menyewa sebuah ruangan kecil milik seorang petani di luar kota Modena. Di sana, Luciano kecil belajar menjadi petani dan keranjingan berkebun.

Sebagai anak Italia biasa, selain berkebun Luciano kerap bermain sepakbola setelah pulang sekolah. Di usia yang sangat muda, ia bercita-cita menjadi pemain sepakbola seperti teman-teman seusianya. Tapi, entah karena alasan apa, impian itu dibuangnya jauh-jauh. Ia justru berlatih vokal dengan intensif selama tujuh tahun. Kemungkinan besar, ia tertarik dengan musik karena ayahnya memiliki banyak piringan hitam hasil rekaman para penyanyi besar. Di antara koleksi ayahnya ada Beniamino Gigli, Giovanni Martinelli, Tito Schipa, hingga Enrico Caruso. Dalam sebuah wawancara, Luciano mengakui bahwa dua penyanyi tenor yang jadi favoritnya adalah Giuseppe di Stefano dan Mario Lanza.

Kekaguman pada Lanza membuatnya mulai menekuni musik secara lebih serius. Di usia 19 tahun, ia belajar kepada Arrigo Pola, guru musik sekaligus penyanyi tenor yang dihormati di Modena. Konon, Luciano setuju belajar kepada Pola karena ia dijanjikan tidak akan pernah dipungut uang bayaran.

Sekitar setahun kemudian, Luciano yang tergabung dalam Corale Rossini, kelompok paduan suara laki-laki di Modena, memenangkan kompetisi musik di Wales. Kegembiraannya lengkap karena dalam paduan suara itu juga ada ayahnya yang jadi salah satu anggota. Belakangan, Luciano mengakui kemenangan dalam kompetisi itulah yang membuatnya yakin untuk menekuni musik sebagai pilihan hidup.

Pada awalnya, penghasilan dari musik tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karena itu, Luciano harus mencari nafkah di bidang lain. Ia pun bekerja sebagai guru dan belakangan menjadi agen asuransi. Beberapa waktu kemudian, setelah hampir menyerah dan tak mau melanjutkan karier musiknya, pada April 1961 Luciano justru mendapat kesempatan untuk melakukan debut dalam sebuah opera. Ia diajak untuk memerankan Rodolfo dalam opera La Bohème karya Giacomo Puccini di Teatro Municipale.

Setelah debut itu, Luciano mulai dikenal karena kemampuan vokalnya yang istimewa. Warna suaranya juga dianggap berbeda dari penyanyi tenor manapun di Italia. Maka undangan menyanyi pun berdatangan dari mana-mana. Ia mulai rajin tampil di gedung-gedung opera di Eropa dan memerankan banyak tokoh dalam karya-karya opera ciptaan komponis legendaris.

Namanya makin populer ketika ia mengatur sebuah kompetisi menyanyi untuk anak-anak muda di awal 1980-an. Dalam kompetisi kedua yang digelar pada 1986, Luciano sekaligus memperingati 25 tahun karier bermusiknya. Untuk itu, ia mengajak pemenang kompetisi untuk tampil di Cina dan menyanyikan potongan (excerpts) dari La Bohème.

The King of High C

Salah satu keistimewaan Luciano yang memopulerkan namanya adalah kemampuan menyanyikan nada c tinggi yang bagi para penyanyi tenor dianggap sebagai salah satu nada paling tinggi. Sebagai gambaran, nada itu berada satu oktaf di atas nada c tengah di piano. Karena kemampuan mencapai nada itu dengan mudah, media-media menjulukinya sebagai the king of high c.

Julukan itu bukan sembarangan. Nada c tinggi benar-benar sulit dicapai tanpa latihan keras bertahun-tahun. Banyak penyanyi tenor mencapainya dengan cara falseto atau dengan sedikit menurunkan oktaf. Berbeda dengan mereka, Luciano bisa mencapainya tanpa tambahan bantuan apapun. Lebih istimewa lagi karena dalam kord C mayor nada c tinggi menghasilkan efek yang stabil, menyenangkan, dan ceria.

Dalam sejarah opera, perkembangan musik romantik menuntut penyanyi tenor bisa menghasilkan suara yang tebal. Gilbert-Louis Duprez, penyanyi tenor Perancis, tercatat sebagai yang pertama sanggup mencapai nada itu ketika membawakan Guillaume Tell karya Gioachino Rossini pada 1831. Duprez kala itu menyanyikannya dengan suara yang tebal hasil teknik resonansi dada dan bukan dengan falseto yang umum dilakukan. Sayang, Rossini justru tidak suka dengan tekniknya.

Agak berbeda dengan Duprez ketika menggunakan teknik tersebut, Luciano justru langsung mengundang decak kagum publik. Penampilan memukaunya bersama The Three Tenors—tentu saja dengan c tinggi—pada penutupan Piala Dunia 1990 makin melambungkan reputasi Pavarotti. Hari itu, mereka disaksikan oleh 800 juta penonton televisi.

“Saat kami pertama kali menggelar konser bertiga di Baths of Caracalla di Roma, tak ada yang mengira sambutan untuk kami akan begitu meriah. Ide dari konser itu sebetulnya tentu saja memeriahkan pesta sepakbola dan kami hanya mengisi rangkaian acara,” kata Luciano dalam biografi Pavarotti: My World (1995: 62).

Setelah penampilan perdana di Roma, mereka bertiga tidak pernah absen di Piala Dunia. Mereka tampil lagi di Los Angeles 1994, Paris 1998, dan Yokohama 2002. The Three Tenors berkeliling dunia dengan lagu-lagu andalan mereka dari musik opera hingga Broadway dan Neapolitan. "Nessun Dorma", potongan solo dari opera Turandot karya Puccini, sering dilantunkan Luciano ketika tur bersama kelompoknya itu. Tak heran, "Nessun Dorma" menjadi semacam signature song yang melekat dalam citra Luciano di sepanjang era 1990-an.

Selain itu, konser Pavarotti yang sering dilakukan secara outdoor dan gratis semakin mendongkrak popularitasnya. Pada Juni 1993, misalnya, ia tampil di hadapan 500 ribu orang di Central Park, New York. Di bulan September tahun yang sama, ia juga manggung di Menara Eiffel Tower, Perancis di hadapan sekitar 300 ribu orang.

Dekade 1990-an merupakan masa puncak karier Luciano sebagai penyanyi tenor. Selain penampilannya yang selalu dipenuhi penonton di gedung opera, ia juga menjadi penyanyi tenor pertama yang tampil dalam Saturday Night Live, salah satu acara televisi paling populer di AS. Pavarotti and Friends, acara musik amal rutin yang digelarnya, juga mengundang banyak penyanyi dan kelompok musik top dunia yang diajaknya berkolaborasi. Lewat acara itu juga Luciano berkesempatan tampil dengan bintang-bintang musik dari genre berbeda-beda seperti grup band U2, penyanyi pop Brian Adams, Elton John, hingga Spice Girls. Di samping itu, ia dianugerahi Grammy Legend Award pada 1998.

Pada 2004, di usia 69 tahun, ia mengumumkan rencana tur terakhir sebelum benar-benar pensiun. Bulan Maret tahun itu, ia tampil untuk terakhir kali di New York Metropolitan Opera, memerankan karakter Mario Cavaradossi dalam opera Tosca karya Puccini. Dua tahun kemudian, pada 10 Februari 2006, ia tampil di hadapan publik untuk terakhir kalinya. Kala itu ia menyanyikan "Nessun Dorma" dalam pesta pembukaan Olimpiade Musim Dingin 2006 di Turin, Italia. Setelah itu, karena alasan kesehatan, Luciano memutuskan pensiun dari penampilan publik.

Lima bulan setelah penampilan terakhirnya itu, Luciano didiagnosis menderita kanker pankreas. Pada 6 September 2007, tepat hari ini 14 tahun lalu, Maestro Luciano Pavarotti meninggal di rumahnya di Modena.

Baca juga artikel terkait PENYANYI OPERA atau tulisan lainnya

tirto.id - Musik
Kontributor: Tyson Tirta
Editor: Ivan Aulia Ahsan