Menuju konten utama

LSI: 34 Persen Warga Nilai Suap dan Gratifikasi Hal Wajar

Hasil riset LSI menyimpulkan toleransi publik terhadap suap, gratifikasi maupun pungli cenderung meningkat.

LSI: 34 Persen Warga Nilai Suap dan Gratifikasi Hal Wajar
Ilustrasi korupsi. FOTO/ Getty Images

tirto.id - Riset Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyimpulkan hanya 63 persen warga Indonesia yang tidak setuju dengan praktik suap dan gratifikasi. Sementara 34 persen warga justru menilai suap dan gratifikasi hal yang wajar. Tiga persen responden riset LSI tidak menjawab soal hal ini.

LSI juga mencatat persentase warga yang menilai suap dan gratifikasi sebagai hal yang patut ditolak cenderung menurun dalam kurun waktu dua tahun terakhir.

“Sebaliknya yang menilai [suap dan gratifikasi] itu wajar cenderung makin banyak. Dibandingkan tahun lalu, toleransi terhadap suap dan gratifikasi cenderung naik,” kata peneliti senior LSI Burhanuddin Muhtadi di Hotel Akmani, Jakarta Pusat pada Senin (10/12/2018).

Menurut Buhanuddin, riset LSI mencatat warga yang menilai suap dan gratifikasi sebagai hal tidak wajar pada 2016 dan 2017 berturut-turut ada 69 persen.

Sedangkan yang persentase warga memberikan toleransi pada suap dan gratifikasi pada 2016 ada sebanyak 30 persen, lalu turun menjadi 26 persen pada 2017.

Namun, di tahun ini, riset LSI menemukan persentase warga yang menilai suap dan gratifikasi sebagai hal wajar melonjak menjadi 34 persen.

Burhanuddin menjelaskan banyak warga sebetulnya memiliki pengalaman menemui praktik pungli maupun gratifikasi saat berhadapan dengan pegawai pemerintah. Praktik tersebut bisa ditemui di berbagai layanan publik dalam derajat yang bervariasi.

Berdasar data riset LSI, persentase warga yang mengaku membayar pungutan uang di luar biaya resmi paling besar terjadi ketika mereka berurusan dengan polisi (34 persen).

Selain itu, warga juga biasanya menemui praktik pungli atau gratifikasi saat berurusan dengan pihak pengadilan (26 persen) dan mencari pekerjaan di lembaga pemerintah (19 persen).

Selanjutnya, warga biasanya memberikan uang atau hadiah di luar biaya resmi apabila hendak mengurus kelengkapan administrasi seperti KTP, Kartu Keluarga, dan Akta Kelahiran (17 persen).

Lalu LSI mendapati ada juga warga yang terkena pungli atau gratifikasi saat berurusan dengan bagian administrasi di sekolah negeri (8 persen), pihak universitas negeri (6 persen), hingga saat hendak memperoleh layanan kesehatan (5 persen).

“Warga yang memberi uang dalam urusan-urusan tersebut, baik ketika diminta maupun tanpa diminta, paling banyak memberi agar urusan mereka cepat selesai,” ujar Burhanuddin.

Burhanuddin menilai warga selama ini masih mempersepsikan korupsi sebagai sesuatu yang hanya terjadi di pemerintah pusat dan melibatkan kasus-kasus besar saja.

Akibatnya, banyak warga menilai pemberian suap dan gratifikasi saat berurusan dengan pelayanan pegawai pemerintah adalah wajar dan bisa ditoleransi.

“Saat ditanya pengalaman menyaksikan langsung korupsi, sangat sedikit warga yang mengaku pernah menyaksikan secara langsung. Hanya 4 persen. Sebanyak 75 persen mengaku dirinya dan orang dekatnya tidak pernah menyaksikan korupsi secara langsung,” kata Burhanuddin.

Baca juga artikel terkait GRATIFIKASI atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Hukum
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Addi M Idhom