tirto.id - Aktivis dan dosen Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robet telah dipulangkan oleh penyidik Bareskrim Mabes Polri. Meski tak ditahan, ia tetap menyandang status sebagai tersangka kasus dugaan penghinaan terhadap TNI.
Kepala Bidang Advokasi LBH Pers Gading Yonggar Ditya mengatakan tak ditahannya Robet bukan berarti ia akan terbebas dari segala hukuman. Meski tak ditahan, status hukum Robet sebagai tersangka bakal terus melekat sampai kapan pun.
"Pembebasan bukan berarti terbebas dari proses hukum. Ketika tersangka apapun bisa terjadi, bisa kasusnya dibuat mangkrak, bisa juga diproses lagi," ujar Gading kepada reporter Tirto, Jumat (8/3/2019).
Kata Gading, hanya penyidik yang tahu kapan mereka harus melanjutkan kasus ini atau akan sengaja dibuat mandek. Gading pun menyesalkan lemahnya hukum acara di Indonesia yang tak ada batas ketentuan seseorang menjadi tersangka.
Menurutnya, pola ini kerap terjadi di kalangan aktivis yang ditangkap dan kemudian dilepas dengan status tersangka yang masih digantung aparat kepolisian.
"Ketika jadi tersangka tak cepat-cepat ditindak tapi dibuat mangkrak," ucap Gading.
Untuk itulah, Gading mengajak semua pihak untuk mengawal kasus ini dan mendesak kepolisian mencabut proses hukum terhadap Robet.
"Kami mendesak bahwa status tersangka harus dicabut, dan proses hukum terhadap Robet harus dihentikan," tegasnya.
Robet kini menjadi tersangka dengan tuduhan melanggar Pasal 45 ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU 19/2016 tentang perubahan atas UU 11/2009 tentang ITE dan/atau Pasal 14 ayat (2) jo Pasal 15 UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 207 KUHP.
Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan dari semua pasal itu, diduga paling kuat dilanggar Robet adalah Pasal 207 KUHP yang melarang siapa pun menghina penguasa atau badan hukum.
Meski jadi tersangka, Robet tak ditahan karena ancaman hukuman terhadapnya, berdasarkan pasal tersebut, cuma 1 tahun 6 bulan. Penahanan hanya dikenakan kepada yang melanggar aturan dengan ancaman hukuman lima tahun atau lebih.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Maya Saputri