Menuju konten utama

Langkah Baik Kemenag Cegah Kekerasan Seksual di Kampus Islam

Dirjen Pendidikan Islam Kemenag menetapkan pedoman pencegahan seksual di kampus Islam negeri maupun swasta di seluruh Indonesia.

Langkah Baik Kemenag Cegah Kekerasan Seksual di Kampus Islam
Ilustrasi Nama Baik Kampus/Gery Paulandhika

tirto.id - Kementerian Agama menerbitkan Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam. Pedoman ini ditetapkan pada 1 Oktober 2019 oleh Dirjen Pendidikan Islam Kamaruddin Amin dan disebarkan ke seluruh rektor kampus-kampus Islam, baik negeri maupuan swasta, pada 29 Oktober 2019.

Pedoman setebal 33 halaman ini, yang didapatkan redaksi Tirto, mengatur mulai dari prosedur pencegahan kekerasan seksual, pengadaan ruang atau fasilitas untuk melayani pengaduan korban kekerasan seksual, hingga pelayanan pemulihan untuk korban. Secara resminya, ia diterbitkan melalui Surat Keputusan Dirjen Pendidikan Islam No. 5494 tahun 2019.

Pedoman Kemenag itu mengutip 1011 kasus kekerasan seksual dari 16 kampus di Indonesia, meliputi pelecehan seksual secara fisik, verbal, isyarat, tertulis atau gambar, psikologis, perkosaan, intimidasi seksual, eksploitasi seksual, prostitusi paksa, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, serta penyiksaan seksual.

"Jenis-jenis kasus tersebut bervariasi antara satu perguruan tinggi dengan perguruan tinggi lainnya," tulis dokumen.

Keputusan menetapkan pedoman itu langkah lanjutan dari nota kesepahaman antara Kemenag dan Komnas Perempuan tentang pengarusutamaan kesadaran gender pada perguruan tinggi Islam yang diteken pada 25 Mei 2018.

Sebagai kelanjutan dari Kesepahaman itu, Komnas Perempuan menggelar sejumlah pertemuan dengan perwakilan Pusat Studi Gender dan Anak yang mewakili sejumlah kampus-kampus Islam.

“Dari pertemuan itu, muncul kebutuhan perlu payung hukum untuk kampus-kampus Islam,” kisah Komisioner Komnas Perempuan Nina Nurmila kepada Tirto pada pekan lalu.

Dari sana, ujar Nina, tim dibentuk guna melangsungkan riset dan membuat pedoman, yang dibuat oleh sekitar 20 Pusat Studi dan disunting oleh Nina.

“Tapi itu pedoman, enggak terlalu mengikat," ujar Nina. "Jadi, langkah selanjutnya adalah mensosialisasikan SK [Dirjen Pendidikan Islam Kemenag] dan mendorong rektor dari setiap kampus untuk membuat SOP [prosedur] sendiri supaya ada implementasi di kampus."

Saat ini, ujar Nina, baru sampai pada tahap sosialisasi ke sejumlah rektor.

"Harapannya Pusat Studi Gender dan Anak mendorong untuk pembuatan SOP ke rektor serta mulai menganggarkan dan membuat fasilitasnya, hotline, prosedur, dan sebagainya,” tambah Nina.

“Dengan ada pedoman dan aturan, harapannya pelaku [kekerasan seksual] bisa berpikir dua kali. Karena sebelumnya, rata-rata, saat ada korban melapor, kampus malah bisa memiliki respons malu [atas nama baik kampus],” lanjutnya.

Rektor Kampus-Kampus Islam Perlu Bikin Kebijakan Anti-Kekerasan Seksual

Jaringan Muda Setara, organisasi yang berfokus pada masalah kekerasan seksual di lingkup kampus, menilai keputusan Dirjen Pendidikan Islam Kemenag menetapkan Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual merupakan langkah yang baik.

Meski begitu, langkah selanjutnya adalah mengimplementasikan Pedoman itu di semua kampus Islam, baik negeri maupun swasta, di seluruh Indonesia. Hal ini belum terlihat dan jadi tantangan ke depan, ujar Koordinator Nasional Jaringan Muda Setara Lathiefah Widuri Retyaningtyas, atau akrab dipanggil Tyas, kepada Tirto pada pekan lalu.

Selain itu, menurut Tyas, posisi Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) dalam kampus dapat menjadi tantangan tersendiri dalam melaksanakan Pedoman dari Kemenag.

“Dari hasil perbincangan dengan teman-teman jaringan di beberapa kampus, PSGA yang seharusnya mengemban peran sebagai ruang advokasi terhadap korban pelecehan seksual, justru bersikap sebaliknya,” ujar Tyas.

Tyas menjelaskan umumnya peran PSGA yang terlihat hanya dua: melakukan riset dan mengadakan pelatihan tentang gender. Ada yang bikin pelatihan secara gencar, ada yang tidak.

Namun, menurut Tyas, hampir secara keseluruhan pelatihan tentang gender justru dijadikan ruang untuk menormalisasi standar moral yang baik kepada para mahasiswinya.

“Misalnya, konsep gender yang dikembangkan di kampus justru melanggengkan 'kodrat perempuan’ dan bias gender seperti menempatkan perempuan pada ranah domestik atau melanggengkan beban ganda,” jelas Tyas.

“Sehingga, alih-alih menjadi ruang yang aman, korban justru merasa terhakimi dan tidak berani mengadu kepada PSGA,” lanjutnya.

Tyas berharap Surat Keputusan Dirjen Pendidikan Islam dan Pedoman dari Kemenag itu bisa mendorong PSGA di kampus-kampus mampu memaksimalkan kerjanya.

“Untuk melakukan sosialisasi dengan pendekatan yang tidak bias gender, sehingga sosialisasi tidak hanya bersifat formalitas, tetapi mendekatkan pada tujuan untuk menurunkan angka pelecehan seksual di kampus,” ujar Tyas.

Ia berkata SK maupun Pedoman itu "semoga tidak lantas berhenti di wilayah euforia sebagai kabar baik semata tetapi harus dikawal, dipopulerkan, dan dipastikan bahwa PSGA merupakan ruang yang turut bertanggung jawab dalam upaya meminimalisir angka pelecehan seksual di kampus."

Hambatan Internal di Kampus

Masalah kekerasan seksual di kampus ialah perspektif kampus yang masih menilainya sebagai masalah “individu”, bukan masalah sistematik, menurut Tyas. Hal ini menjadi salah satu hambatan internal di kampus.

Para pemangku kebijakan di kampus, ujar Tyas, cenderung menyelesaikan kasus per kasus kekerasan seksual, tanpa berfokus lebih mendalam pada penciptaan kampus sebagai ruang aman dan bebas dari kekerasan seksual.

“Penyelesaian kasus maupun sanksi kepada pelaku kekerasan seksual cenderung tidak memperhatikan keadilan bagi para korban dan tak pernah tegas kepada pelaku,” tambahnya.

Kampus juga harus mengakui ada relasi kuasa dalam setiap kasus kekerasan seksual, ujar Tyas. "Tidak boleh lagi memandang kekerasan seksual di kampus sebagai persoalan individu."

Tyas berharap kampus-kampus di Indonesia melahirkan peraturan hingga penerapan yang tegas terhadap kasus-kasus kekerasan seksual.

“Jadi, tidak hanya terbatas pada kampus berbasiskan Islam,” ujarnya.

'Puncak dari Gunung Es'

Segelintir kampus di Indonesia yang sudah melakukan apa yang diharapkan oleh Nina Nurmila dari Komnas Perempuan dan Lathiefah Widuri Retyaningtyas dari Jaringan Muda Setara.

Misalnya, pada 6 November 2019, Dekan Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta R.B. Armantono mengeluarkan surat edaran untuk para dosen dan mahasiswa demi mencegah pelecehan seksual, perundungan, dan intimidasi di lingkungan kampus.

Surat itu mengatur sanksi terhadap pelaku tak hanya mahasiswa, melainkan dosen, berupa surat teguran, skorsing atau dikeluarkan (DO) dari FFTV-IKJ. Mekanisme penanganan kasus melalui rapat koordinasi pimpinan dan senat akademik.

Isi surat edaran menjamin korban dapat melaporkan langsung kepada dekan maupun melalui semua wakil dekan; menjamin kerahasiaan, menjaga nama baik, dan memberikan perlindungan kepada pelapor; memastikan pelapor tidak mendapatkan perundungan dan intimidasi dari pihak mana pun; serta memastikan hak korban mengikuti perkuliahan.

Tujuan dari langkah progresif ini demi "mewujudkan suasana perkuliahan yang aman dan nyaman serta terbebas dari rasa takut," demikian isi surat edaran.

Kolaborasi "Nama Baik Kampus"—melibatkan Tirto, The Jakarta Post, dan Vice Indonesia—pada tahun ini menjaring 207 orang memberikan testimoni yang dibuka sepanjang 13 Februari hingga 28 Maret 2019. Dari 207 testimoni itu, Kolaborasi menemukan ada 174 kasus yang berhubungan dengan institusi perguruan tinggi.

Para penyintas yang menulis untuk testimoni tersebar di 29 kota dan berasal dari 79 perguruan tinggi. Mayoritas atau sekitar 88 persen dari total penyintas berasal dari kampus-kampus di Pulau Jawa.

Seluruh 174 penyintas yang menulis testimoni mengalami bentuk-bentuk kekerasan seksual sebagaimana dalam rumusan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.

Bentuk kekerasan seksual yang paling sering dialami para penyintas adalah pelecehan seksual. Sebanyak 129 penyintas menyatakan pernah dilecehkan; 30 penyintas mengalami intimidasi bernuansa seksual; dan 13 penyintas menjadi korban pemerkosaan.

Ke-174 penyintas yang bercerita kepada Kolaborasi tentu tidak merepresentasikan jumlah kejadian yang sebenarnya di lapangan; mereka hanyalah puncak dari gunung es.

Di bawah Kolaborasi, Tirto dan The Jakarta Post pernah merilis tahun ini soal dugaan kasus kekerasan seksual di Universitas Islam Negeri Malang serta kampus Islam di Jambi dan Gorontalo. Hingga kini kasus tersebut belum diusut secara tegas oleh para pemegang kebijakan kampus, baik di level fakultas maupun rektorat.

Kasus pelecehan seksual di kampus menjadi sorotan publik setelah muncul kasus terhadap Agni, bukan nama sebenarnya, mahasiswi di Universitas Gadjah Mada, diberitakan oleh pers kampus Balairung pada akhir tahun 2018. Kasus ini berujung "kesepakatan non-litigasi". UGM kini merancang peraturan dan mengeluarkan instruksi yang "berkomitmen menciptakan kampus yang bebas dari kekerasan seksual".

Hukum pidana di Indonesia masih terbatas mengakomodasi bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan. Aktivis mendesak pemerintah dan DPR segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, yang mangkrak sejak diajukan pada 2016.

Sampai DPR periode kemarin berakhir, nasib RUU PKS masih sama: mentok di Senayan, dijadikan subjek penolakan dan bahan disinformasi oleh kalangan konservatif, sementara tuntutan untuk segera disahkan terus menguat dari kelompok-kelompok perempuan, akademisi, dan kalangan agamawan progresif di pelbagai provinsi.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN SEKSUAL DI KAMPUS atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Fahri Salam