Menuju konten utama
Pandemi COVID-19

Lambannya Tes Jadi Potensi Ledakan Kasus COVID-19 di Papua Barat

Juru Bicara Gugus Tugas COVID-19 Provinsi Papua Barat Arnoldus Tiniap mengatakan perbedaan signifikan itu disebabkan oleh lambatnya pengujian sampel swab pasien suspect COVID-19.

Lambannya Tes Jadi Potensi Ledakan Kasus COVID-19 di Papua Barat
Tim Satuan Tugas Covid 19 Kota Sorong memeriksa bantuan dari Kementerian Kesehatan di kantor Wali Kota Sorong, Papua Barat, Rabu (8/4/2020). ANTARA FOTO/Olha Mulalinda/foc.

tirto.id - Jumlah pasien COVID-19 di Papua Barat terus meningkat. Data Kementerian Kesehatan per 30 April 2020, tercatat jumlah pasien positif Corona mencapai 37 kasus. Kendati angkanya masih tiga digit, tapi Papua Barat menyimpan potensi lonjakan kasus dari tingginya angka Orang Dalam Pemantauan (ODP), Orang Tanpa Gejala (OTG), dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP).

Merujuk data Satgas COVID-19 Provinsi Papua Barat, tercatat PDP berjumlah 51 orang, dalam pengawasan 17 orang, dan 34 orang lainnya selesai pengawasan. Sementara jumlah ODP mencapai 826, 579 di antaranya sudah selesai dipantau dan tersisa 247 orang dalam pemantauan.

Selain itu, Satgas juga menemukan ada 335 orang tanpa gejala (OTG), 225 di antaranya masih dalam pemantauan dan 110 lainnya sudah selesai.

Kategori OTG sendiri disematkan bagi mereka yang pernah melakukan kontak erat dengan pasien positif atau PDP COVID-19 dalam kurun waktu 2 hari sebelumnya, tapi tidak menunjukkan gejala COVID-19.

Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Provinsi Papua Barat Arnoldus Tiniap mengakui perbedaan signifikan itu disebabkan oleh lambatnya pengujian sampel swab pasien suspect COVID-19.

Menurut dia, hal itu pertama diakibatkan alat swab yang terbatas, kedua sampel tersebut harus dikirim ke Balitbangkes Jakarta untuk diuji. Butuh waktu sekitar 14 hari untuk mendapatkan hasilnya, kata Arnoldus.

"Jadi kalau sebenarnya kita makin banyak yang periksa, kami akan menemukan lebih banyak kasus, tapi karena hambatan tadi,” kata Arnoldus saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (29/4/2020). Hal itu sudah terjadi bahkan sejak awal kemunculan COVID-19 di provinsi ini.

Pada 20 Maret ditemukan sejumlah ODP dan PDP di Papua Barat. Pada 23 Maret total 13 sampel swab dikirim ke Jakarta untuk diuji. Namun pada 26 Maret, seorang PDP meninggal dunia, dan keesokannya baru keluar hasil dari Jakarta yang menyatakan 2 orang dinyatakan positif COVID-19, salah satunya ialah yang meninggal sehari sebelumnya.

Meski begitu, Arnoldus mengatakan, kondisinya saat ini sudah lebih baik karena Kementerian Kesehatan mengizinkan mereka melakukan tes di Balai Besar Penelitian Kesehatan Makassar, Sulawesi Selatan. Waktu tunggu hasil pengujian berhasil dipangkas menjadi 3 hingga 5 hari.

Dampaknya pun sudah terlihat, kata dia. Pada 27 Maret baru ada 16 pasien positif COVID-19 di Papua Barat. Dua hari berselang, jumlahnya melonjak menjadi 31 pasien positif. Arnoldus menyebut, lonjakan semasif itu belum pernah terjadi sebelumnya.

Saat ini, kata Arnoldus, pihaknya pun berupaya menerapkan laboratorium PCR di RSUD Kabupaten Sorong dan RSUD Kabupaten Manokwari. Dengan kondisi saat ini, ia bersiap menghadapi lonjakan pasien COVID-19 di Papua Barat.

"Jadi ada peningkatan jumlah kasus yang dilaporkan karena banyak spesimen yang dikirim kabupaten/kota. Karena semakin banyak menunjukan bahwa sebenarnya kasus permasalahan COVID-19 itu sudah ada cuma karena selama sekian waktu kita mengalami kesulitan pengiriman spesimen,” kata Arnoldus.

Pakar Epidemiologi dari Universitas Airlangga (Unair) Laura Navika Yamani menilai dengan kondisi yang ada tersebut, solusi terbaik yang bisa diterapkan pemerintah ialah menggalakkan rapid test. Menurutnya, hasil reaktif dari rapid test bisa menjadi peringatan bagi pemerintah dan warga sekitar untuk melakukan isolasi mandiri.

"Harapannya dengan gerak cepat untuk find, treat, dan trace dapat memutus rantai penularan COVID-19 sehingga tidak meluas," kata Laura saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (30/4/2020).

Jika hal itu tidak dilakukan, kata dia, maka pemerintah daerah harus mulai mempersiapkan ruang isolasi, tenaga kesehatan, dan alat perlindungan diri guna menghadapi ledakan pasien positif COVID-19.

Berdasarkan data Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Pemerintah Pusat, ada 13.800 alat rapid test yang didistribusikan di Papua Barat. Namun, Arnoldus Tiniap mengatakan alat itu belum ia terima. Saat ini total pihaknya hanya memiliki 2.000 alat rapid test.

Lebih lanjut, Arnoldus menerangkan, idealnya alat rapid test yang diserahkan mencapai setengah dari populasi Papua Barat atau sekitar 400 ribu. Karena itu, 13.800 alat rapid test yang rencananya dikirim, dirasa masih amat kurang.

"Jadi masih jauh sebenarnya, masih jauh dari kecukupan," kata Arnoldus.

Lalu bagaimana kesiapan Papua Barat menghadapi skenario terburuk?

Pada 21 April lalu, tim kajian COVID-19 dari lembaga Sagu.id mengeluarkan prediksi skenario penyebaran pandemi COVID-19 di Papua Barat. Mereka menggunakan tiga skenario, antara lain clinical attract rate (CAR) 1 persen, 3 persen, dan 5 persen per tanggal 19 April 2020 ketika kasus positif masih 7 orang.

Mereka pun menyandarkan dugaan tingkat keparahan pasien pada skenario Bappenas, antara lain tingkat kematian 0,32 persen; critical care 0,36 persen; kasus berat 1,93 persen; kasus ringan 11,4 persen; dan tidak terdeteksi 86 persen.

Hasilnya, dengan CAR 1 persen maka diprediksi ada 30 kasus meninggal, 33 kasus critical care, dan 177 kasus dengan pneunomia. Dengan CAR 3 persen, diprediksi ada 88 kasus meninggal, 99 kasus critical care, dan 530 kasus dengan pneunomia.

Sementara dengan skenario CAR 5 persen, maka diperkirakan ada 147 kasus meninggal, 165 kasus critical care, dan 884 pneunomia.

Arnoldus menerangkan, Papua Barat awalnya menunjuk dua rumah sakit rujukan yakni RSUD Kabupaten Sorong dan RSUD Kabupaten Manokwari. Namun, belakangan pemerintah mengerahkan 12 rumah sakit tambahan milik TNI, Polri, dan BUMN yang tersebar di masing-masing kabupaten/kota.

"Karena akses dari satu tempat ke tempat lain kan sulit, paling tidak masing-masing kabupaten kota harus punya tempat sendiri untuk penanganan awal," kata Arnoldus.

Namun bukan berarti masalah selesai. Di seluruh Papua Barat total hanya ada 27 ventilator yang merupakan alat bantu pernafasan. Alat itu pun hanya ada di sejumlah rumah sakit.

Selain itu, Papua Barat juga kekurangan dokter dan perawat untuk menangani pandemi ini. Mengharapkan kiriman dokter dari luar daerah pun dirasa sia-sia karena mereka pasti menahan dokter di daerahnya.

Solusi yang dimiliki pemerintah daerah saat ini ialah mengerahkan tenaga kesehatan dari Puskesmas, khususnya daerah wilayah yang tidak terdampak COVID-19. Selain itu, pemerintah daerah pun membuka kesempatan bagi sukarelawan.

Baca juga artikel terkait VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz