tirto.id - Dunia tak hanya milik orang dewasa. Maka ketika banyak yang terdampak akibat pandemi COVID-19, ini bukan hanya soal pengusaha yang bangkrut, buruh yang banyak di-PHK atau driver ojek online yang kehilangan pelanggan. Jauh dari lampu sorot, nyatanya banyak anak-anak yang terampas haknya saat pandemi terlebih ketika diterapkannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Setidaknya tercatat ada 407 anak telah menjadi korban kekerasan selama pandemi COVID-19 merebak di Indonesia. Hal tersebut dikatakan langsung oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati, saat konferensi pers kemarin (29/4/2020).
Jika dirinci, 407 orang itu terbagi dua kategori: 300 anak perempuan dan 107 anak laki-laki. Seluruh total korban tersebut muncul dalam 368 kasus yang terjadi sepanjang 2 Maret hingga 25 April 2020.
Data-data tersebut berdasarkan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni) milik Kementerian PPPA.
"Penyebaran COVID-19 di Indonesia cenderung terus meningkat dan telah berimplikasi pada aspek sosial-ekonomi serta kesejahteraan masyarakat. Perempuan dan anak adalah kelompok rentan yang terdampak paparan COVID-19 baik pada aspek kesehatan sosial dan ekonomi," kata Menteri PPPA.
Hal tersebut sudah pernah dikatakan pula oleh Bintang pada 10 April lalu. "Dalam situasi pandemi COVID-19 ini, risiko kekerasan berbasis gender dan risiko anak terpisah dari pengasuhan inti semakin meningkat," katanya.
Bintang sempat mengatakan lembaganya telah menyusun mekanisme pelayanan bagi perempuan dan anak secara offline baik melalui rujukan maupun melalui Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang ada di provinsi dan kabupaten/kota dan atau jika ada pelapor yang secara mandiri datang langsung ke Kementerian PPPA.
"Mekanisme pelayanan yang akan diberikan mulai dari pelaporan kemudian penerimaan pengaduan, penjangkauan, pengelolaan kasus, pendampingan pelayanan hukum, layanan psikologis dan mediasi, serta rujukan rumah aman atau shelter bekerja sama dengan Kemensos," katanya.
Namun, mengapa angka kekerasan tetap tinggi?
PSBB Tak Ramah Anak
Komisi Nasional Perlindungan Anak Arits Merdeka Sirait memprediksi angka kasus kekerasan di lapangan lebih tinggi dari yang dilaporkan Kementerian PPPA. Hal ini lantaran, tidak ada mekanisme kontrol yang mumpuni dalam pelaporan kasus kekerasan terhadap anak.
Menurut Arits, salah satu faktor kekerasan terhadap anak meningkat tajam--407 korban selama dua bulan--karena memang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diteken oleh Presiden Joko Widodo tak berperspektif ramah anak.
"Tidak ada satu pun aturan di situ yang membahas anak. PSBB hanya untuk orang dewasa, khususnya kelas pekerja. Sementara anak-anak tidak diatur," katanya saat dihubungi wartawan Tirto, Kamis (30/4/2020) siang.
Arits menduga, dengan keadaan orang tua yang kehilangan pekerjaan, minimnya penghasilan, dan ketersediaan pangan yang terbatas, potensi kekerasan terhadap anak-anak di rumah semakin meningkat.
Ia menambahkan, karena PSBB tak pernah mengatur bagaimana membuat rumah yang ramah terhadap anak, kekerasan itu bukan sesuatu yang mustahil.
"Karena hak bermain sudah hilang, satu rumah ada beberapa anak, ada memunculkan kejengkelan, itu yang saya sebut potensi," katanya.
Oleh karena itu, lanjut Arits, perlu ada gerakan pengawasan, pengaduan, dan perlindungan anak-anak dari potensi kekerasan yang dilaksanakan oleh Satgas COVID-19 di tingkat RT hingga Kelurahan.
Intinya, tingkat akar rumput harus turut serta membangun lingkungan yang ramah anak selama PSBB.
"PSBB harus mengatur itu, agar selama di rumah anak-anak tidak jadi korban kekerasan. Terutama bagian pengaduan. Ia fungsinya menerima laporan. Tingkat RT langsung buat outline lapor ke tingkat provinsi atau kementerian," kata Arits.
Direktur LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta, Siti Mazuma, sepakat dengan ucapan Arits.
"Memungkinkan sekali koordinasi saat COVID-19 hingga RT dan RW supaya lebih aware terhadap anak-anak yang rentan menjadi korban," kata Zuma.
"Tapi kan, sekarang tidak ada. Sangat disayangkan," lanjut Arits.
Selain mendesak agar PSBB yang diterapkan pemerintah lebih ramah terhadap anak, Arits juga meminta pemerintah untuk membuat sebuah program bersama untuk anak-anak saling bertemu dan bersosialisasi agar hak bermainnya tidak hilang.
Kata Arist, dalam konvensi PBB terhadap anak terdapat satu program bernama "sistem kedaruratan" yang ada saat terjadi bencana nasional. Dalam konteks Indonesia, program itu bisa dilaksanakan di level desa atau RT.
"Anak-anak harus terlindungi lewat kegiatan seperti olahraga atau berjemur bersama di lapangan desa atau RT, asal tetap jaga jarak dan cuci tangan, tapi hanya boleh sebatas desa atau RT itu. Tidak boleh keluar," kata Arist.
Menurutnya, kegiatan anak seperti itu harus sesegera mungkin difasilitasi agar ada ruang pertemuan anak-anak untuk membunuh kebosanan.
"Namanya juga anak-anak, secara makhluk sosial dia butuh berinteraksi karena tidak bisa ketemu temannya di sekolah saat pandemi. Ini hilang semua. Ada kewajiban negara memberikan program seperti ini," katanya.
Tak hanya itu, saat PSBB dilaksanakan perlu juga ada bantuan sosial berupa sembako yang berorientasi terhadap anak. Selama ini sembako yang diberikan pemerintah kurang bergizi untuk anak.
"Bantuan makanan dan sembako juga harusnya bisa berorientasi anak dan balita agar meningkatkan kekebalan dan daya tahan tubuh anak. Susu, biskuit, telur, vitamin, misalnya. Jangan hanya mie instan," katanya.
Pengaduan Belum Mudah Dijangkau
Sementara itu, banyaknya layanan perlindungan kekerasan yang tersedia seperti P2TP2A, TESA, SEJIWA, hingga Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), dinilai tak berjalan efektif. Demikian dikatakan oleh peneliti Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA UI), Andrea Adhi.
"Masyarakat perlu tahu soal alur pengaduan, terutama pada saat pandemi ini, tetapi tantangannya banyak layanan yang tidak satu pintu," kata Andrea lewat keterangan tertulisnya, Kamis siang.
Menurutnya, layanan-layanan yang sudah ada harus diperkuat dan dipastikan tersedia bagi anak dan perempuan, apalagi yang mengalami hambatan operasional karena adanya pandemi dan aturan pembatasan sosial.
"Misalnya ketika seorang anak mengalami kekerasan di rumah, layanan seperti apa yang mungkin diakses oleh anak tersebut? Apakah anak akan merasa nyaman dan mampu menelepon sendiri layanan untuk mendapatkan pertolongan? Perlu diingat tidak semua orang mempunyai akses ke internet dan media-media arus utama.
Hingga Kamis siang, Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPPA, Nahar, tak merespons panggilan telepon wartawan Tirto untuk meminta konfirmasi mengenai kasus ini. Pesan singkat lewat WhatsApp pun hanya centang satu.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Restu Diantina Putri