Menuju konten utama
Pandemi COVID-19

Saat Bansos COVID-19 Terlambat Gara-Gara Kantong "Bantuan Presiden"

Bansos COVID-19 yang menjadi program pemerintah pusat menuai protes karena terlambat akibat masalah sepele, yakni tas yang bertuliskan "Bantuan Presiden" habis.

Saat Bansos COVID-19 Terlambat Gara-Gara Kantong
Pekerja mengemas paket bantuan sosial (bansos) di Gudang Food Station Cipinang, Jakarta, Rabu (22/4/2020). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.

tirto.id - Bantuan sosial (bansos) pemerintah pusat dalam menangani pandemi Corona atau COVID-19 menjadi sorotan. Pemantiknya, program arahan Presiden Joko Widodo itu sempat terlambat diterima warga karena hal sepele, yakni masalah kemasan atau kantong bertuliskan “Bantuan Presiden” habis.

Menteri Sosial Juliari Batubara membenarkan kabar tersebut. Politikus PDIP ini mengaku stok jumlah kemasan yang kurang menjadi penyebab bantuan terhambat dikirim ke masyarakat yang menjadi target bansos COVID-19.

“Awalnya iya [bantuan terhambat akibat masalah kemasan] karena ternyata pemasok-pemasok sebelumnya kesulitan bahan baku yang harus impor. Sekarang supply kantong sudah lancar," kata Juliari, Rabu (29/4/2020).

Juliari mengatakan, permasalahan kemasan sudah ditangani setelah pemerintah bekerja sama dengan perusahaan Sritex. Perusahaan tersebut sudah memproduksi dan menyediakan kantong sejak Rabu pekan lalu.

Juliari pun tidak menganggap masalah bila bantuan Presiden Jokowi harus dengan kantong bertuliskan “Bantuan Presiden.” “Salahnya di mana?" tanya Juliari.

Politikus PDIP itu justru bertanya balik ketika ada bansos pemerintah memasang foto kepala daerah.

“Apa ada foto Presiden di kantongnya?" tanya Juliari sambil menunjukkan kantong “Bantuan Presiden” dengan logo Kementerian Sosial.

Menuai Kritik

Wakil Ketua Fraksi PAN di DPR RI Saleh Daulay mempertanyakan alasan bantuan sosial COVID-19 pemerintah pusat harus dengan label “Bantuan Presiden.” Menurut dia, bantuan tersebut berasal dari uang rakyat sehingga tidak harus menggunakan “kata presiden.”

"Persoalan tas itu menurut saya tidak penting. Lagi pula, mengapa mesti harus ada tulisan bantuan dari presidennya? Bukankah itu memakai uang negara? Artinya, itu bukan bantuan personal, tetapi bantuan negara yang didanai dari dana APBN milik rakyat,” kata Saleh lewat keterangan tertulis, Kamis (30/4/2020).

Saleh mengatakan, Jokowi tidak mencari pencitraan di periode kedua. Ia justru menduga Juliari sedang mencari muka.

“Ini mungkin menterinya saja yang ingin mendapat poin dari presiden. Kalau ada tulisan presiden, kan, bisa dilaporin seperti itu. Harapannya, ya presiden senang," kata Saleh.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI TB Ace Hasan Syadzily tidak berani berkomentar banyak karena belum melihat secara langsung. Namun Ace berpendapat permasalahan tas tidak perlu dibesar-besarkan selama program tetap berjalan.

“Sekarang, kan, sudah jalan. Jadi apa yang sudah jalan tidak perlu dipersoalkan," kata Ace saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (30/4/2020).

Ace berkata, pemerintah sudah memberikan banyak program bantuan seperti Program Keluarga Harapan (PKH), program kartu sembako, serta bantuan sosial tunai.

Politikus Golkar ini lebih menekankan distribusi tepat sasaran daripada mempersoalkan keterlambatan tas.

"Yang penting, kan, bantuan sampai ke rakyat. Jadi menurut saya itu soal teknis yang terpenting bantuan sampai ke rakyat dan rakyat menerima bantuan itu sebaik-baiknya," kata Ace.

Urgensi Tas: Ajang Pencitraan

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Padjajaran Yogi Suprayogi menyebut permasalahan kekurangan tas untuk mendistribusikan bantuan sebagai permasalahan teknis yang seharusnya bisa diselesaikan Kementerian Sosial.

Menurut Yogi, wajar publik bertanya kesiapan Juliari meski secara pemerintahan bukan masalah besar. Akan tetapi, Yogi menilai aksi distribusi bantuan sosial dengan kantong berlabel “Bantuan Presiden” bermuatan politis.

"Jadi ini erat kaitannya dengan pencitraan. Nah, padahal sebetulnya saya setuju seharusnya dengan bungkus biasa saja nggak usah ditulisin pakai ini," kata Yogi kepada reporter Tirto, Kamis (30/4/2020).

Aksi Juliari tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Jawa Barat saat pembagian sembako daerah. Kala itu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga membagikan bansos dengan foto Ridwan Kamil serta Uu Ruzhanul Ulum kepada masyarakat.

Bantuan tersebut dipersoalkan karena Kang Emil, sapaan Ridwan Kamil, terkesan sedang membuat pencitraan lewat bansos.

Yogi mengatakan, permasalahan utama justru bukan hanya masalah kantong, tetapi masalah distribusi bantuan. Ia mengingatkan, masyarakat sudah mulai resah dan membutuhkan bantuan. Akan tetapi, bantuan tersebut tidak kunjung diterima.

Kini, kata Yogi, masalah utama bertambah karena distribusi bantuan yang tidak merata dan tidak serentak. Sebab, masyarakat yang menerima bantuan tidak ingin bergesekan dengan masyarakat lain yang belum mendapat bantuan meski tercatat sebagai penerima bantuan.

Ia mencontohkan ada warga Bandung Raya yang menerima bansos langsung dari Ridwan Kamil, sementara ada warga yang belum terima bansos karena tercatat penerima bansos pemerintah pusat.

Warga penerima bansos dari daerah akhirnya memilih mengembalikan bansos tersebut daripada berhadapan dengan masyarakat. Hal tersebut belum termasuk kecemburuan akibat perbedaan jumlah bantuan.

Menurut Yogi, aksi Juliari bisa dikategorikan buying time. Sebab, daerah punya peran penting karena Indonesia menerapkan otonomi daerah. Daerah dan pusat harus bersinergi dalam memberikan bantuan.

"Keserentakan itu sangat penting sebagai kebijakan yang tepat sasaran. Kenapa? Dalam kultur masyarakat kita yang silaturahminya bagus itu akan ada kecemburuan sosial satu dapat ini satu nggak. Kebijakan harus serentak antara pusat, provinsi, kabupaten kota dan desa," kata Yogi.

Baca juga artikel terkait BANSOS atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz