Menuju konten utama

Lagu "Terang Bulan" di Tengah Konflik Indonesia-Malaysia 1960-an

Lagu kebangsaan Malaysia “Negaraku” disebut-sebut mirip lagu “Terang Bulan”. Jadi sengketa saat Konfrontasi Indonesi-Malaysia pecah.

Lagu
Peta Indonesia dan Malaysia. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Menjelang pembukaan Konferensi Jurnalis Asia-Afrika di Jakarta pada 2 Mei 1963, D.N Aidit tergopoh-gopoh menghampiri seorang delegasi Asosiasi Pemuda Tionghoa-Melayu. Aidit membisikkan agar dia ikut berdiri saat Presiden Sukarno menyanyikan lagu “Terang Bulan”. Dengan raut wajah tegang, si pemuda tak ambil pusing dengan ajakan Aidit dan memilih meninggalkannya.

Pemuda itu ternyata adalah Enche Hasyim, Kepala Divisi Pemberitaan Radio Malaysia. Sepulang dari konferensi di Jakarta itu, kepada Berita Harian (2 Mei 1963), diaberkisah, “Ketika Presiden Sukarno sedang singging Terang Bulan, Aidit menoleh ke saya dan berkata: Pak Malaya, Anda harus berdiri. Saya katakan padanya, Pak Aidit saya hanya membela lagu kebangsaan Melayu, bukan Terang Bulan.”

Menurut Enche Hasyim, terlepas dari kesulitan ekonomi yang dialami Indonesia kala itu, para delegasi Malaya diperlakukan dengan baik. Mereka diberi transportasi dan disuguhi makanan yang lezat. Tapi, dia tetap kecewa pada sikap Aidit.

Pasalnya, “Terang Bulan” punya kemiripan dengan lagu kebangsaan Malaysia “Negaraku”. Menurut Enche Hasyim, Aidit tahu belaka soal itu. Medio 1957, Sukarno sendiri juga sempat melarang “Terang Bulan” dinyanyikan demi menghormati “Negaraku”. Namun, Aidit justru tidak mengingatkan Sukarno akan hal itu.

Enche Hasyim beberapa kali menyebut Sukarno tidak sopan karena menyanyikan “Terang Bulan” di tengah suasana konfrontasi. Seturut The Straits Times (2 Mei 1963), hal itu dianggap tidak patut dilakukan seorang kepala negara tetangga.

Kabar Sukarno dan lagu “Terang Bulan” itu sampai ke Divisi Pemuda Penang UMNO. Mereka sepakat memboikot sidang dan mengecam kepala departemen pemerintah agar lebih waspada terhadap provokasi Jakarta. Perikatan Johor juga menyurati Perdana Menteri Tengku Abdul Rahman. Pemerintah Malaysia kemudian menempuh jalur diplomatik dan bergabung dengan 38 negara lain untuk turut menandatangani petisi mengecam lagu “Terang Bulan”. Seturut Berita Harian (13 Mei 1963), Tun Abdul Rahman secara tegas mengutuk segala bentuk penjajahan seperti kejadian dalam konferensi di Jakarta itu.

Lagu Lintas Zaman

Menurut versi Malaysia, orang Indonesia salah paham jika menganggap “Terang Bulan” berasal dari mereka. Pasalnya, lagu itu populer di Indonesia setelah para penyanyi Indonesia mendengarnya di Singapura. Artis-artis lawas Malaysia seperti Asiah, Romaai Noor, Osman Gumanti, dan Marsita telah lebih dulu mempopulerkan “Terang Bulan” hampir di setiap konser malam di Singapura (The Singapore Free Press, 16 October 1953).

Asal-usul lagu itu bisa dirunut hingga akhir abad ke-19. Penulis lirik Pierre-Jean de Béranger (1780–1857) memperkenalkan lagu "La Rosalie" yang sangat populer di wilayah jajahan Perancis. Ketika Sultan Idris dari Perak melawat ke Inggris pada 1888, seorang pembantunya mengusulkan agar "La Rosalie" diadaptasi sebagai lagu kebangsaan Perak.

Sultan Idris memang mengakui, Perak tak memiliki lagu kebangsaan yang layak ditampilkan. Maka itu, dia meminta Raja Muda Perak Ngah Manur bin Raja Abdullah untuk menggubah lirik “La Rosalie” menjadi lagu kebangsaan Perak. Pada 1901, melodi itu disajikan selama suka cita upacara pengangkatan Raja Edward VII (Straits Times, 20 Agustus 2003).

Lagu kebangsaan Perak kemudian termahsyur hingga seantero negeri-negeri Kepulauan Melayu. Hingga pada 1920-an, seorang bangsawan Indonesia memulai debut bermusiknya di Singapura dengan membawakan versi hiburan lagu itu. Melodinya menjadi populer di kalangan masyarakat dan diberi judul “Terang Bulan”.

Di Hindia Belanda, lagu itu dipopulerkan oleh kelompok kabaret terkenal Indonesian Bangsawan. Selama 1920-1930-an, “Terang Bulan” bak lagu evergreen yang dimainkan di pesta-pesta dan pementasan kabaret.

Lagu itu makin terkenal lagi kala dijadikan soundtrack film musikal berjudul “Terang Boelan” yang rilis pada 1937. Skenarionya ditulis oleh Saeroen dan disutradarai oleh Albert Balink. Tak hanya sukses di Hindia Belanda, film ini juga mendapat apresiasi positif di Malaya. Seturut Sunday Tribune (5 Desember 1937), film berlatartempat di Jawa dan Singapura itu sukses mendulang atensi masyarakat hingga diputar 4 kali dalam sehari.

Setelah Federasi Malaya pada 31 Agustus 1957, irama lagu “Terang Bulan” lantas diadopsi menjadi lagu kebangsaan. Keputusan itu diumumkan oleh Menteri Penerangan Malaya Yacob bin Abdul Latief. Meski begitu, seturut Berita Harian (23 Agustus 1957), lagu “Negaraku” tidak seutuhnya mengadopsi “Terang Bulan” karena terjadi penggantian lirik dan judul.

Sejak saat itu, Undang-Undang Kerajaan melarang lagu “Negaraku” dimainkan untuk kegiatan hiburan. Pemerintah Malaya pun beberapa kali melakukan razia dan pemusnahan kepingan kaset lagu “Terang Bulan” versi penyanyi Indonesia yang beredar. Lagu itu dianggap berbau “asmara” sehingga ditarik dari Pasar Musik Kuala Lumpur.

Meski begitu tidak semua elemen masyarakat Malaya saat itu setuju dengan pemilihan lagu kebangsaan itu. UMNO bagian Negeri Kedah, sebagaimana di kabarkan The Straits Times (9 Agustus 1957), melayangkan telegram protes kepada Tun Abdul Rahman. Mereka khawatir jika irama “Terang Bulan” yang terlanjur melekat di lagu kebangsaan “Negaraku” akan menjadi duri dalam daging bagi kedaulatan Tanah Melayu di masa depan.

Antara(3 September 1957) menyebut, lagu “Terang Bulan” mulai jarang dimainkan di Indonesia sejak kemunculan lagu “Negaraku”. Sukarno pun melarang lagu itu diputar di Radio Republik Indonesia (RRI) untuk menghormati Federasi Malaya yang baru saja merdeka.

Respon ini juga terkait dengan perjanjian persahabatan antara Indonesia dan Malaya pada 17 April 1957. Sementara itu, Berita Harian (29 Agustus 1957) mengabarkan bahwa Radio Sabah dan Sarawak juga ikut berhenti memutar lagu “Terang Bulan” dalam siarannya.

Infografik Perdebatan Lagu Kebangsaan Malaysia

Infografik Perdebatan Lagu Kebangsaan Malaysia. tirto.id/Rangga

Dianggap Sebagai Lagu Daerah

Ketika Konfrontasi Indonesia-Malaysia pecah pada 1963, muncullah sentimen kemiripan irama lagu kebangsaan “Negaraku” dan “Terang Bulan”. Sukarno pun tak lagi mendukung lagu kebangsaan Malaysia itu. Perubahan sikap Sukarno itu rupanya didasari kekecewaannya kepada Tun Abdul Rahman yang berunding dengan Inggris untuk menggabungkan Sabah dan Serawak ke dalam Malaysia pada 1961.

Tindakan Sukarno itu mendapat dukungan penuh dari PKI. Melalui Harian Rakyat, PKI menyebut negara Malaysia sebagai proyek Neokolonialisme. Sukarno makin berang kala Pemerintah Malaysia memberi suaka kepada pelarian pendukung PRRI/Permesta.

Gara-gara itu, kedua negara pun saling lempar tuduhan. Buku Kertas Putih Kerajaan Malaysia (1963) yang disusun Jabatan Penerangan Malaysia menyebut, Sukarno menuduh Malaysia sebagai penyokong para pemberontak yang menentang Jakarta. Sementara itu, Tun Abdul Rahman mencurigai Sukarno ingin memperluas pengaruh Komunisme ke negara-negara Asia Tenggara.

Selama Konfrontasi Indonesia-Malaysia berlangsung, orang Malaysia menolak anggapan bahwa lagu “Terang Bulan” berasal dari Indonesia. Sementara Indonesia menjadikan lagu itu sebagai salah satu lagu daerah dan “aset nasional”.

Sejak 1956, RRI Jakarta telah merekam “Terang Bulan” bersama sekumpulan lagu daerah. Hasil rekaman itu lalu didokumentasi ulang oleh Perum Percetakan Negara Lokananta Cabang Surakarta pada 1965. Tak hanya itu, Lokananta juga memindahkan medium perekamannya ke piringan hitam.

“Pada tahun 1965, oleh Lokananta, kumpulan lagu tersebut dipindahkan ke piringan hitam dan menjadi aset negara. Dari arsip yang dimiliki Lokananta, lagu "Terang Bulan" ditulis sebagai lagu hiburan/lagu rakyat populer. Lagu ini berirama keroncong dan berdurasi 11 menit 15 detik,” tulis Kompas (31 Agustus 2009).

==========

Siti Zainatul Umaroh adalah asisten riset di CSIS Indonesia dan alumnus S2 Ilmu Sejarah UGM.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Siti Zainatul Umaroh

tirto.id - Musik
Penulis: Siti Zainatul Umaroh
Editor: Fadrik Aziz Firdausi