Menuju konten utama

Kurban untuk Orang Tua yang Sudah Meninggal, Boleh atau Tidak?

Apakah boleh berkurban atas nama orang yang sudah meninggal? Simak penjelasan hukum kurban untuk orang tua yang sudah meninggal berikut!

Kurban untuk Orang Tua yang Sudah Meninggal, Boleh atau Tidak?
Sejumlah calon pembeli melihat domba di Bhinneka Farm, Urut Sewu, Ampel, Boyolali, Jawa Tengah, Minggu (9/6/2024). ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/Spt.

tirto.id - Umumnya, orang melaksanakan ibadah kurban untuk diri sendiri. Meski begitu, ada juga umat Islam yang ingin melaksanakan kurban untuk orang tua yang sudah meninggal.

Niat itu didasari oleh harapan agar pahala ibadah kurban yang besar dapat diterima oleh almarhum orang tua di alam kubur. Namun, muncul pertanyaan, apakah boleh berkurban atas nama orang yang sudah meninggal?

Hukum berkurban untuk orang yang sudah meninggal telah lama menjadi pembahasan para ulama. Agar lebih memahaminya, simak ulasan berikut!

Hukum Kurban untuk Orang Tua Sudah Meninggal

Mayoritas ulama berpendapat hukum berkurban untuk orang yang sudah meninggal boleh dilakukan. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat mengenai syarat bolehnya kurban atas nama orang yang sudah meninggal.

Jumhur ulama bersepakat, apabila semasa hidup almarhum berwasiat agar disembelihkan hewan kurban, kurban untuk orang tua yang sudah meninggal boleh dan dianjurkan.

Contohnya, saat hidup, almarhum berpesan agar dilaksanakan qurban dengan kambing. Pada kasus seperti ini, ahli waris dianjurkan melakukan kurban dengan potong kambing untuk orang meninggal tersebut.

Namun, ulama dari empat mazhab (Maliki, Syafii, Hanafi, dan Hanbali) berbeda pendapat dalam kasus hukum berkurban untuk orang yang sudah meninggal tanpa didasari wasiat, atau dilaksanakan secara sukarela.

Secara umum, ada dua kelompok pendapat tentang kurban atas nama orang yang sudah meninggal tanpa didasari oleh wasiat:

1. Boleh jika ada wasiat

Mayoritas ulama dari mazhab Syafi'i berpendapat kurban untuk orang tua yang sudah meninggal boleh dan sah, jika ada wasiat dari almarhum. Dalam kasus orang bukan ahli waris tetapi menerima wasiat dari almarhum, juga boleh melaksanakan kurban atas nama orang yang sudah meninggal tadi.

Pendapat ini didasari argumen bahwa kurban adalah ibadah yang butuh niat. Karena itu, niat orang yang berkurban harus ada. Hal ini yang membedakan kurban dengan sedekah biasa.

Salah satu dalil utama dari ulama Mazhab Syafii tentang perkara ini adalah firman Allah SWT dalam Surah An-Najm ayat 9:

وَاَنْ لَّيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعٰىۙ

Artinya: Tidaklah bagi manusia kecuali apa yang dia usahakan. (Q.S. An-Najm: 39).

Dengan demikian, menurut pendapat mayoritas ulama mazhab Syafi’i, hukum berkurban untuk orang yang sudah meninggal tidak sah jika tanpa didasari oleh wasiat almarhum.

Ulama besar Mazhab Syafi’i dari abad 7 H, Imam An-Nawawi melalui karyanya, Minhaj at-Thalibin (Al-Minhaj) menerangkan sebagai berikut:

“Tidaklah seseorang melakukan qurban atas orang lain tanpa seizinnya, dan tidak pula atas mayit (orang telah meninggal) jika almarhum tidak berwasiat untuk berqurban.”

Maka itu, kurban untuk orang tua yang sudah meninggal baru bisa dianggap sah, apabila dilaksanakan atas dasar wasiat almarhum. Selain itu, orang yang menjalankan wasiat tadi harus membagikan semua daging hewan qurban kepada fakir miskin. Jadi, serupa dengan kurban karena nadzar, mudlahhi tidak boleh mengambil bagian hewan kurban.

Mayoritas ulama Mazhab Maliki juga berpendapat bahwa kurban untuk orang tua yang sudah meninggal perlu didasari oleh wasiat almarhum. Namun, dalam kasus tidak dasari adanya wasiat almarhum, menurut Mazhab Maliki, hukum berkurban untuk orang yang sudah meninggal adalah makruh.

2. Boleh meskipun tidak ada wasiat almarhum

Pendapat berikutnya menyatakan, hukum berkurban untuk orang yang sudah meninggal boleh dan sah, meskipun tidak ada wasiat. Jadi, menurut pendapat kedua ini, ahli waris boleh melaksanakan kurban untuk orang tua yang sudah meninggal sekalipun almarhum tidak pernah berwasiat maupun bernazar.

Pendapat kedua ini dinyatakan oleh mayoritas ulama di mazhab Hanafi dan Hanbali. Dalil dari pendapat ini merujuk pada hadis bahwa Ali bin Abi Thalib pernah berkurban untuk Rasulullah SAW yang sudah wafat berupa 2 ekor kambing kibasy. Kemudian, Sayidina Ali berkata: “Bahwa Nabi Muhammad SAW menyuruhnya melakukan yang demikian.” Hadits ini diriwayatkan 4 ahli hadis, yaitu Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad, Hakim, dan Baihaqi.

Sejumlah ulama yang memilih pendapat kedua tersebut juga menyamakan ibadah kurban dengan sedekah. Karena pahala sedekah untuk orang yang sudah meninggal bisa sampai kepada almarhum, demikian pula ibadah kurban.

Apabila tidak didasari wasiat, menurut Mazhab Hanafi dan Hanbali, ketentuan pembagian daging hewan kurban sama dengan qurban biasa. Namun, jika didasari wasiat, mazhab Hanafi melarang daging kurban diambil oleh orang yang berkurban, sementara mazhab Hanbali memperbolehkannya.

Di sisi lain, ada juga sebagian ulama mazhab Syafii yang berpendapat bahwa kurban atas nama orang yang sudah meninggal boleh dan sah meski tidak ada wasiat dari almarhum. Di antara yang berpendapat demikian adalah Imam Ar-Rafii dan Abu al-Hasan al-Abbadi.

Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Hasyiyah al-Qalyubi wa Umairah 'ala al-Mahalli, salah satu ulama otoritatif dari mazhab Syafi’i, yakni Imam ar-Rafi’i berpendapat, kurban untuk orang yang sudah meninggal boleh dan sah karena berkurban sama dengan bersedekah. Adapun sedekah untuk orang yang sudah meninggal adalah sah dan mengalirkan pahala kepada almarhum, sebagaimana sudah disepakati oleh para ulama.

Pahala Kurban untuk Orang yang Sudah Meninggal

Di luar soal keabsahannya, bagaimana pahala berkurban untuk orang tua yang sudah meninggal? Apakah pahala kurban untuk orang yang sudah meninggal bisa sampai ke almarhum?

Mengikuti pendapat kedua di atas, pahala berkurban bisa sampai ke almarhum. Jika ikut pendapat mayoritas ulama mazhab Syafii, pahala juga sampai kepada almarhum. Hanya saja, jika kurban untuk orang meninggal tidak didasari wasiat, ia menjadi sedekah biasa.

Pahala juga bisa sampai ke almarhum jika mudlahhi (sohibul qurban) menghadiahkannya. Dalam kasus ini, kurban dilaksanakan atas nama orang yang masih hidup, tapi diniatkan menghadiahkan pahalanya untuk orang yang sudah meninggal. Artinya, penerima pahala adalah mudlahhi (orang yang berkurban) sekaligus orang lain yang sudah meninggal tadi.

Menghadiahkan pahala kurban kepada orang lain, seperti untuk keluarga atau orang yang sudah meninggal, diperbolehkan karena terdapat hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahuanha berikut:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَبَحَ كَبْشًا وَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ

Artinya: "Nabi SAW menyembelih seekor kambing kibash dan membaca,"Bismillah, Ya Allah, terimalah dari Muhammad, keluarga Muhammad dan umat Muhammad." Kemudian beliau berquran dengannya. (HR. Muslim)

Hadits di atas dipahami bahwa Rasulullah SAW menghadiahkan pahala kurban untuk keluarga dan umat beliau. Adapun status mudlahhi (sohibul qurban) tetap ada pada Rasulullah SAW, dan beliau tidak mengikutkan orang lain sebagai mudlahhi.

M. Mubasysyarum Bih dalam artikel "Hukum Menghadiahkan Pahala Kurban untuk Orang Lain" di NU Online menyimpulkan, mayoritas ulama bersepakat bahwa menghadiahkan pahala kurban untuk orang lain diperbolehkan. Jadi pahala berkurban juga bisa sampai kepada orang lain penerima hadiah, baik masih hidup maupun sudah mati.

“Sebagian ulama memutlakkan kebolehan tersebut baik untuk orang hidup dan mati. Namun, sebagian ulama membatasi hanya boleh untuk orang yang telah wafat,” tulisnya.

Syarat Berkurban untuk Lebaran Idul Adha

Hukum kurban adalah sunah muakkad (sangat dianjurkan), menurut Imam Malik dan Imam syafi’i. Adapun Imam Abu Hanifah (Mazhab Hanafi) berpendapat bahwa hukum kurban dapat menjadi wajib bagi orang yang mampu dan tidak sedang bepergian.

Rasulullah SAW pernah menjelaskan bahwa ibadah kurban bersifat wajib bagi beliau, tetapi sunah untuk umatnya. Dalam sebuah hadis riwayat At-Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda: “Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk berkurban, dan hal itu merupakan sunnah bagi kalian.”

Selain itu, ada beberapa ketentuan persyaratan berkurban yang diatur Islam. Sejumlah ketentuan syarat berkurban adalah sebagai berikut:

1. Jenis hewan kurban

Hewan kurban tergolong binatang ternak, yaitu: unta, sapi, kerbau, kambing atau domba/biri-biri. Boleh berkurban dengan hewan jantan ataupun betina.

2. Umur hewan kurban

Hewan kurban sudah cukup umur, yaitu: Domba sudah tanggal giginya pada usia setelah 6 bulan, atau usianya sudah lebih dari 1 tahun; Kambing kacang sudah berusia lebih dari 2 tahun; Sapi/kerbau sudah berusia lebih dari dua tahun; Unta sudah berusia 5 tahun.

3. Kondisi Kesehatan hewan kurban

Hewan kurban harus sehat, tidak terlalu kurus, dan tidak cacat. Kondisi cacat yang menyebabkan hewan tidak sah jadi kurban, yaitu pincang atau kakinya kepotong; buta sebelah atau kedua mata; terpotong telinganya, terpotong ekornya.

4. Jumlah orang yang berkurban

Jumlah orang yang berkurban untuk setiap hewan, yaitu: Satu ekor kambing, domba, atau biri-biri untuk satu orang mudlahhi (yang berkurban atau sohibul qurban); Satu ekor sapi/kerbau untuk maksimal 7 orang sohibul qurban; Satu ekor untuk maksimal untuk 7 orang mudlahhi.

5. Niat kurban

Niat kurban oleh seorang muslim/muslimah disampaikan saat menyembelih atau ketika menentukan hewan yang hendak dijadikan kurban. Niat bisa disampaikan oleh mudlahhi atau wakilnya (biasanya penyembelih). Untuk kurban nadzar tidak disyaratkan ada niat.

Contoh niat kurban dibaca sendiri adalah: "Saya niat menunaikan kesunahan berkurban untuk diri saya karena Allah ta'ala." Jika diwakili, contoh niat kurban adalah: "Saya niat menunaikan kesunahan berkurban untuk ..... [sebut nama orang yang berkurban] karena Allah ta'ala."

Baca juga artikel terkait IDUL ADHA atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Edusains
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Addi M Idhom
Penyelaras: Yulaika Ramadhani & Addi M Idhom