Menuju konten utama

Apakah Boleh Kurban Atas Nama Keluarga dan Bagaimana Hukumnya?

Apakah boleh berkurban atas nama keluarga? Berikut penjelasan hukumnya dalam Islam.

Apakah Boleh Kurban Atas Nama Keluarga dan Bagaimana Hukumnya?
Sejumlah petugas dari Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kota Bogor memeriksa kesehatan mulut sapi di salah satu pusat penjualan hewan kurban, Cilendek Barat, Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat (8/7/2022). ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/rwa.

tirto.id - Ibadah kurban hukumnya adalah sunah muakadah, sangat dianjurkan kepada umat Islam yang memiliki kelapangan harta. Di samping itu, syariat Islam pun mengatur syarat untuk hewan kurban secara fisik dan umur, hingga jumlah pekurban untuk tiap ekor hewan.

Hewan yang dapat dijadikan kurban adalah binatang ternak meliputi unta, sapi, kambing, dan domba. Kerbau juga bisa dijadikan hewan kurban karena ia dianggap spesies sapi.

Untuk setiap ekor hewan kurban itu, ada ketentuan berbeda terkait jumlah pekurbannya. Mayoritas ulama telah bersepakat bahwa 1 ekor kambing atau domba hanya bisa menjadi kurban maksimal 1 mudhahhi (orang yang berkurban).

Lain halnya dengan sapi atau kerbau yang boleh dikurbankan oleh satu atau maksimal 7 orang mudhahhi. Adapun unta boleh dikurbankan oleh 1, 7, atau maksimal 10 orang.

Ketentuan jumlah maksimal pekurban untuk setiap hewan di atas selaras dengan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Jabir ibn Abdullah sebagai berikut:

"Diriwayatkan dari Jabir ibn Abdullah bahwa ia berkata: Kami menyembelih hewan qurban bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun Hudaibiyah seekor unta untuk tujuh orang, dan sapi untuk tujuh orang." (HR. Muslim).

Selain itu, ada juga hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas berikut ini:

"Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan, kemudian datang hari Idul Adha, lalu kami berpatungan menyembelih lembu untuk tujuh orang dan unta untuk sepuluh orang." [HR. at-Turmudzi dan an-Nasa’i].

Apakah Boleh Kurban Atas Nama Keluarga?

Salah satu pertanyaan yang kerap muncul terkait jumlah pekurban untuk 1 ekor hewan adalah "apakah boleh berkurban atas nama keluarga?"

Jawaban untuk pertanyaan di atas bisa diuraikan untuk tiga konteks. Penjelasan terkait 3 konteks pertanyaan di atas adalah sebagai berikut.

1. Konteks jumlah mudhahhi atau pekurban

Konteks pertama ialah jika pertanyaan di atas mengarah pada jumlah pekurban. Dalam konteks ini, jawaban akan bergantung pada jenis hewan kurbannya.

Apabila jenis hewan kurban adalah domba atau kambing, sudah jelas bahwa jumlah orang yang berkurban maksimal 1 orang untuk setiap ekor. Maka itu, tidak boleh berkurban satu ekor kambing atau domba atas nama keluarga.

Sementara itu, karena kurban sapi, unta, dan kerbau boleh untuk 1 atau 7 orang, 3 jenis hewan itu bisa dikurbankan atas nama keluarga.

Dengan catatan, jumlah mudhahhi (pekurban) yang masih dalam satu keluarga itu tidak melebihi 7 orang jika hewan kurbannya sapi atau kerbau. Apabila kurban unta, anggota keluarga yang diatasnamakan sebagai mudhahhi tidak melebihi jumlah 10 orang.

Hewan ternak sapi, unta, dan kerbau bisa dikurbankan atas nama sejumlah orang yang masih dalam satu lingkaran keluarga maupun tidak. Karena itu, kurban patungan atau urunan dengan membeli sapi, kerbau, atau unta diperbolehkan oleh para ulama.

Kurban patungan bahkan sudah dipraktikkan sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Jabir Ibn Abdillah sebagai berikut:

"Kami pernah ikut haji tamattu’ (mendahulukan umrah daripada haji) bersama Rasulullah SAW, lalu kami menyembelih sapi dari hasil patungan sebanyak 7 orang." (HR Muslim).

2. Konteks berbagi pahala berkurban

Adapun konteks kedua, jika yang dimaksud dengan pertanyaan "apakah boleh berkurban atas nama keluarga?" adalah berbagi pahala. Merujuk pada pendapat sejumlah ulama dari Mazhab Syafii, boleh berniat berbagi pahala kurban buat orang lain, termasuk keluarga.

Mengutip dari artikel di situs NU Online yang bertajuk "Hukum Sembelih Seekor Kambing untuk Kurban Keluarga" karya Alhafiz Kurniawan, ketentuan di atas sejalan dengan hadis yang menerangkan Rasulullah SAW pernah menyembelih hewan kurban dengan membaca doa: "Ya Allah, terimalah kurbanku ini untukku dan umatku."

Terkait hadits tersebut, para ulama menyimpulkan bahwa Rasulullah Saw. menyertakan umatnya dalam pahala kurban kambing yang disembelih oleh beliau.

Kendati demikian, kurban kambing itu pada hakikatnya hanya ditujukan sebagai ibadah Rasulullah SAW, dan tidak menyertakan orang lain sebagai mudhahhi. Maka itu, hukum kurban kambing tetap hanya boleh maksimal untuk 1 mudhahhi (pekurban).

Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj menerangkan:

"[...] Hadits 'Ya Allah, inilah kurban untuk Muhammad dan umat Muhammad SAW,' mesti dipahami sebagai persekutuan dalam pahala. Ini boleh saja. Dari sini para ulama berpendapat bahwa seseorang boleh menyertakan orang lain dalam pahala kurbannya."

Sulaiman bin Muhammad Al-Bujairimi dalam kitab Hasyiyatul Bujairimi alal Khathib (2007 M) juga memberi penjelasan terkait doa Rasulullah Saw tadi sebagai berikut:

[1 ekor kambing (untuk 1 orang, tidak lebih)]. Kalau Anda bertanya, 'Pernyataan ini menafikan kalimat setelahnya yang menyebutkan [Kalau seseorang menyembelih kurban untuk dirinya dan keluarganya, atau menyertakan orang lain dalam pahala kurbannya, maka boleh]', kami akan menjawab bahwa pernyataan pertama tidak menafikan pernyataan kedua. Sebab, frasa 'untuk 1 orang' di sini maksudnya adalah hakikat kurban. Sementara frasa selanjutnya hanya menerangkan gugurnya anjuran sunah ibadah kurban ‘untuk orang lain’. Sedangkan perihal pahala dan kurban secara hakiki bagaimanapun itu khusus hanya untuk mereka yang berkurban."

3. Konteks kurban atas nama anggota keluarga yang sudah meninggal

Terkait dengan kurban ditujukan atas nama anggota keluarga yang telah meninggal, para ulama berbeda pendapat dalam perkara tersebut.

Mayoritas ulama dari Mazhab Syafii bersepakat bahwa diperbolehkan berkurban untuk orang yang telah meninggal apabila ada nazar/wasiat.

Imam An-Nawawi dalam kitab Minhaj ath Thalibin (2005) menjelaskan sebagai berikut:

Tidak sah berkurban untuk orang lain [yang masih hidup] dengan tanpa seijinnya, dan tidak juga untuk orang yang telah meninggal dunia apabila ia tidak berwasiat untuk dikurbani.

Di sisi lain, Abu al-Hasan al-Abbadi memiliki pendapat yang berbeda, yakni kurban untuk orang yang telah meninggal dunia diperbolehkan meskipun tidak ada nazar/wasiat.

Alasan Abu al-Hasan al-Abbadi adalah berkurban merupakan salah satu bentuk sedekah. Adapun bersedekah untuk orang yang telah meninggal dunia hukumnya sah serta dapat memberikan kebaikan kepadanya.

Pendapat Abu al-Hasan al-Abbadi ini diterangkan oleh Imam An-Nawawi dalam karyanya yang bertajuk al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab.

Meskipun hanya didukung oleh sebagian kecil ulama Mazhab Syafi’i, pendapat dari Abu al-Hasan al-Abbadi tersebut selaras dengan para ulama Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali.

Hal ini dijelaskan dalam kitab al Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah sebagai berikut:

Adapun jika [orang yang telah meninggal dunia] belum pernah berwasiat untuk dikurbani kemudian ahli waris atau orang lain mengurbani orang yang telah meninggal dunia tersebut dari hartanya sendiri maka mazhab hanafi, maliki, dan hanbali memperbolehkannya. Hanya saja menurut mazhab maliki boleh tetapi makruh. Alasan mereka adalah karena kematian tidak bisa menghalangi orang yang meninggal dunia untuk ber-taqarrub kepada Allah sebagaimana dalam sedekah dan ibadah haji.

Baca juga artikel terkait IDUL ADHA atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Addi M Idhom