Menuju konten utama

Kurban untuk Diri Sendiri Dulu atau Ortu yang Sudah Meninggal?

Iduladha kerap kali menjadi momen bagi anak untuk menghadiahkan kurban pada orang tua. Lalu, mana yang lebih diutamakan?

Kurban untuk Diri Sendiri Dulu atau Ortu yang Sudah Meninggal?
Petugas membacakan nama orang yang berkurban sebelum penyembelihan di Rumah Potong Hewan, Bandung, Jawa Barat, Jumat (31/7/2020). Pemerintah Kota Bandung memindahkan penyembelihan hewan kurban bagi warga Bandung ke Rumah Potong sebagai bentuk penerapan protokol kesehatan masa adaptasi kebiasaan baru. ANTARA FOTO/Novrian Arbi/pras.

tirto.id - Umat Islam di Indonesia akan merayakan Iduladha 1445 hijriah pada Senin, 17 Juni 2024. Di waktu tersebut, kaum muslim dianjurkan untuk menjalankan ibadah kurban dalam rangka hari raya Iduladha.

Berdasarkan pendapat Imam Malik dan Imam Syafi'i, hukum berkurban adalah sunnah muakadah, begitu dianjurkan untuk dikerjakan bagi mereka yang mampu.

Iduladha kerap kali menjadi momen bagi anak untuk menghadiahkan kurban kepada orang tuanya. Namun, hal itu juga menjadi masalah jika dirinya sendiri belum berkurban.

Lantas, mana yang lebih utama, berkurban untuk diri sendiri atau orang tua yang sudah meninggal? Selain itu, apa hukum berkurban untuk orang yang sudah meninggal menurut para ulama? Untuk memahaminya, simak secara utuh penjelasan berikut.

Sebaiknya Kurban untuk Diri Sendiri Dulu atau Ortu yang Sudah Meninggal?

Kurban untuk diri sendiri lebih diutamakan daripada orang tua yang telah meninggal, kecuali terdapat nazar atau titipan harta guna ibadah tersebut. Jika ada wasiat tertentu, berkurban untuk orang tua sebaiknya didahulukan karena anak hanya berperan sebagai pelaksana.

Mendahulukan kurban untuk orang tua yang sudah meninggal seyogianya didahulukan apabila terdapat nazar atau wasiat. Sebagai misal, mereka telah menitipkan hartanya guna melakukan ibadah itu.

Di sisi lain, apabila tidak terdapat nazar ataupun titipan harta, tidak ada keharusan mendahulukan kurban untuk orang tua.

Pertama, jika terdapat harta yang cukup untuk berkurban diri sendiri dan untuk orang tua yang telah meninggal secara terpisah, ibadah tersebut dapat dilakukan bersama-sama.

Kedua, semisal ada harta tetapi tidak terlalu banyak, sebaiknya mendahulukan kurban untuk diri sendiri. Dalam lain kesempatan, semisal punya harta lebih di lain hari, anak dapat menyembelih kurban untuk orang tua yang telah meninggal.

Berkurban bagi mereka yang mampu dan masih hidup adalah sunah muakadah, bahkan wajib. Tidak ada perbedaan pandangan ulama mengenai perkara tersebut.

Di sisi lain, hukum membayar kurban untuk orang tua tanpa nazar atau wasiat masih memiiki perbedaan pandangan. Dalam kitab al-Ibhaj fi Syarh al-Minhaj karya Abu al-Hasan 'Ali bin Abdul Kafi as-Subki, dijelaskan mengenai kaidah fikih berikut.

“Hal yang disepakati lebih didahulukan daripada hal yang masih diperselisihkan” (Abu al-Hasan ‘Ali bin ‘Abdul Kafi as-Subki, al-Ibhaj fi Syarh al-Minhaj, juz 3, hal. 245).

Apabila pandangan kedua dibalik, mendahulukan orang tua yang telah meninggal daripada anak padahal harta tidak cukup untuk berkurban berdua, hukum pelaksanaannya menjadi makruh. Hal ini dijelaskan Syekh Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab al-Asybah wa an-Nadza'ir sebagai berikut:

“Mendahulukan orang lain [dalam hal ibadah], ketika akan menyebabkan meninggalkan kewajiban maka hukumnya haram. Seperti permasalahan memberikan air, memberi penutup aurat, mempersilakan tempat untuk shalat berjamaah pada orang lain yang mana tempat tersebut tidak dapat dibuat shalat lebih dari satu orang dan giliran shalat untuk orang yang akhir hanya bisa setelah habisnya waktu, dan kasus-kasus lain yang serupa. Jika mendahulukan orang lain akan menyebabkan meninggalkan kesunahan atau melakukan perkara makruh, maka hukumnya adalah makruh, atau akan menyebabkan melakukan perbuatan khilaf al-aula berupa perbuatan yang tidak ada larangan secara khusus, maka hukumnya adalah khilaf al-aula. Dengan kesimpulan demikian, telah hilanglah perbedaan pendapat [diantara ulama],” (Syekh Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nadza’ir, hal. 117).

Oleh sebab itu, pandangan kedua seyogianya dilakukan untuk mencapai kesunahan pelaksanaan kurban. Membolak-balik pandangan kedua sebenarnya boleh-boleh saja, tetapi lebih diutamakan untuk mendahulukan anak, baru setelahnya orang tua yang telah meninggal.

Hukum Kurban untuk Orang Tua yang Sudah Meninggal

Terkait hukum berkurban untuk orang tua yang telah meninggal, ulama berbeda pandangan. Namun, apabila terdapat nazar atau wasiat, mayoritas ulama sepakat bahwa itu lebih dianjurkan. Perkara tersebut salah satunya dijelaskan Imam Muhyiddin Syarf an-Nawawi dalam kitab Minhaj ath Thalibin (2005) sebagai berikut:

“Tidak sah berkurban untuk orang lain [yang masih hidup] dengan tanpa seijinnya, dan tidak juga untuk orang yang telah meninggal dunia apabila ia tidak berwasiat untuk dikurbani.”

Di sisi lain, hukum berkurban untuk orang yang sudah meninggal menurut Abu al-Hasan al-Abbadi adalah sah meskipun tanpa wasiat atau nazar. Alasannya, berkurban menjadi salah satu bentuk sedekah. Limpahan ganjarannya dapat menjadi kebaikan orang yang telah meninggal.

Pandangan Abu al-Hasan al-Abbadi termuat dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab karangan Imam An-Nawawi sebagai berikut:

“Seandainya seseorang berkurban untuk orang lain tanpa seizinnya maka tidak bisa. Adapun berkurban untuk orang yang sudah meninggal dunia maka Abu al-Hasan al-Abbadi memperbolehkannya secara mutlak karena termasuk sedekah, sedang sedekah untuk orang yang telah meninggal dunia itu sah, bermanfaat untuknya, dan pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana ketetapan ijma` para ulama.”

Selain Abu al-Hasan al-Abbadi, Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali juga melihat pelaksanaan kurban untuk orang yang telah meninggal hukumnya adalah sah, meskipun tidak terdapat wasiat. Pandangan ketiga Mazhab tersebut dirangkum dalam kitab al Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah sebagai berikut:

“Adapun jika [orang yang telah meninggal dunia] belum pernah berwasiat untuk dikurbani kemudian ahli waris atau orang lain mengurbani orang yang telah meninggal dunia tersebut dari hartanya sendiri maka mazhab hanafi, maliki, dan hanbali memperbolehkannya. Hanya saja menurut mazhab maliki boleh tetapi makruh. Alasan mereka adalah karena kematian tidak bisa menghalangi orang yang meninggal dunia untuk ber-taqarrub kepada Allah sebagaimana dalam sedekah dan ibadah haji”.

Niat Berkurban untuk Orang Tua

Salah satu perkara yang dianjurkan dikerjakan oleh shohibul qurban sebelum berkurban adalah membaca niat. Hal sama juga berlaku bagi anak yang hendak berkurban untuk orang tua yang telah meninggal. Berikut niat berkurban untuk orang tua:

Niat kurban tulisan Arab

[nama orang tua] بِسْمِ اللَّه اللَّهُمَّ وَاللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُمَّ هَذَا مِنْكَ وَلَكَ، هَذَا عَن

Niat kurban tulisan Latin

Bismillahi allahumma wallahu akbar. Allahumma hadza minka walaka, hadza 'an ... [sebutkan nama orang yang berkurban].

Artinya

“Dengan menyebut nama Allah, Dia-lah yang Maha Besar. Ya Allah, [hewan kurban ini] berasal darimu dan untukmu. Hewan kurban ini berasal dari [menyebutkan nama orang yang berkurban] ...”.

Baca juga artikel terkait IDUL ADHA 2024 atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Fadli Nasrudin