tirto.id - Bagaimana kronologi saling berbalas komentar antara Piyu dan Fadly di media sosial terkait royalti musik? Posisi Piyu dan Fadly cukup unik terkait hal ini. Pasalnya, Piyu adalah Ketua Umum Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI), sedangkan Fadly termasuk dalam 29 musisi perwakilan Vibrasi Suara Indonesia (VISI) yang melakukan uji materi terhadap 5 pasal dalam Undang-Undang (UU) Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam post instagramnya pada Sabtu (26/4/2025), Piyu mengaku bingung terhadap langkah VISI yang melakukan gugatan ke MK terkait UU Hak Cipta. Ia membandingkan hal ini dengan langkah Ari Lasso yang menerapkan direct licensing untuk lagu "Penjaga Hati" yang merupakan ciptaan Piyu. Fadly, yang satu band dengan Piyu, tetapi berbeda asosiasi terkait hak cipta, lantas memberikan tanggapan yang ramaaai diperbincangkan netizen. Ini tidak terlepas dari pandangan AKSI dan VISI yang tampak berbeda, meski sama-sama memperjuangkan royalti musik.
Kronologi Beda Pendapat Piyu & Fadly Soal Gugatan UU Hak Cipta
Awalnya, Piyu mengunggah video pada Sabtu (26/4) yang menunjukkan penampilan Ari Lasso yang akhirnya kembali menyanyikan lagu "Penjaga Hati" yang diciptakan sang gitaris. Lagu tersebut sempat tidak dibawakan Ari Lasso, sesuai kesepakatan dengan Piyu. Pasalnya, Piyu tidak mendapatkan royalti yang cukup dari lagu yang masuk ke album solo pertama Ari Lasso itu.
Dalam unggahannya, Piyu menuliskan, "Terimakasih Ari Lasso sahabatku temen ngeband dari SMA sudah mempraktekkan pelaksanaan ketentuan aturan yaitu Hak Moral (menyebutkan nama saya sebagai pencipta lagu), [dan] memberikan Hak Ekonomi atas karya cipta melalui Direct Lisencing tentunya."
Piyu menambahkan, "Jadi apa yang salah dengan Undang-Undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 ketika seorang penyanyi legend Indonesia pun mau dan paham untuk melaksanakan amanat UU tersebut? Kenapa harus sampai harus mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi oleh VISI yang diwakili oleh 29 penyanyi Indonesia atas pasal2 yang terkait dengan perlindungan Hak Cipta."
Sang gitaris mengakui dirinya bingung dan tidak habis pikir. Ini merujuk pada langkah 29 musisi Indonesia yang mewakili VISI, melakukan permohonan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Pasal yang mereka soroti adalah Pasal 9 ayat (3), Pasal 23 ayat (5), Pasal 81, Pasal 87 ayat (1), dan Pasal 113 ayat (2).
Di antara 29 musisi tersebut, ada Armand Maulana, Ariel NOAH, Judika, Rossa, Vidi Aldiano, hingga Fadly Padi Reborn.
Postingan Piyu tersebut disambut oleh Fadly. Sang vokalis Padi Reborn berkomentar dan menanyakan kesediaan waktu partner satu bandnya tersebut. Tulisnya, "Mas @piyu_logy. Saya ada di 29 itu. Kapan kita bicara langsung?"
Setelah Piyu menjawab, "siap brother", Fadly kembali membalas dengan komentar, "Saya punya harga diri, brother."
Balasan Fadly dalam unggahan Piyu itu mengundang reaksi netizen. Tidak sedikit yang berharap perbedaan pendapat tersebut tidak mempengaruhi dinamika internal Padi Reborn sebagai band. Sebelumnya, Padi yang dibentuk pada 1996, sempat mengalami vakum sejak 2011. Band yang beranggotakan Fadly (vokal), Piyu (gitar), Ari (gitar), Yoyo (drum), dan Rindra (bass) ini lantas kembali dengan nama Padi Reborn sejak 2017.
Beda Pendapat AKSI vs VISI Soal UU Hak Cipta
AKSI dan VISI sama-sama memperjuangkan royalti terkait hal cipta, tetapi memiliki fokus dan pendekatan yang berbeda. AKSI didirikan pada 3 Juli 2023. Sejak awal, organisasi ini menekankan pentingnya hak komposer. Mereka bergerak untuk kepentingan kolektif.
“AKSI akan berjuang untuk hak Komposer meliputi segala bidang yang perlu dilindungi. Karena hak cipta atas ciptaan, melekat pada Penciptanya,” tulis AKSI melalui akun Instagram mereka.
Sementara itu, VISI berdiri padaa Februari 2025. Salah satu yang diperjuangkan VISI adalah performing rights (hak pertunjukan). Mereka menganggap, bahwa hak tersebut masih membutuhkan pengelolaan yang lebih adil, transparan, dan akuntabel. Dengan hak pelaku musik benar-benar terpenuhi.
Terkait royalti, VISI mendukung sistem perhimpunan untuk pertunjukan publik secara kolektif. Di sisi lain, mereka ingin adanya transparansi dan profesionalisme dalam pengelolaan royalti.
Penulis: Arif Budiman
Editor: Fitra Firdaus
Masuk tirto.id


































