tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak menjerat PT Garuda Indonesia dengan pidana korporasi. KPK menilai kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari airbus S.A.S dan Rolls Royce P.L.C pada PT Garuda Indonesia (persero) Tbk hanya melibatkan Direktur Utama PT Garuda Indonesia 2005-2014 Emirsyah Satar.
"Gratifikasi ini tidak dinikmati oleh perusahaan melainkan oleh Individu," ujar Agus di Jakarta, Kamis (19/1/2017).
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif pun menjawab hal yang sama. Laode mengatakan, KPK tidak menerapkan pidana korporasi karena tidak melibatkan korporasi. Laode menjelaskan, pihak yang menerima keuntungan dari suap bukan lah Garuda, tetapi hanya Emirsyah Satar.
"Kita tidak bisa mengimplementasikan tanggung jawab pidana korporasi terhadap korporasi kepada Garuda karena pertama yang dapat keuntungan dari suap ini kan bukan Garuda melainkan keuntungan pribadi," tegas Laode.
Seperti diketahui, Mahkamah Agung mengeluarkan Perma Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi. Peraturan ini menjadi koridor bagi para aparat penegak hukum, baik penyidik kepolisian, penyidik KPK, maupun jaksa, dan aparat lain untuk memidanakan perusahaan atau korporasi. Perma itu mengatur, jika sebuah korporasi diduga melakukan tindak pidana, maka penegak hukum dapat meminta pertanggungjawaban hukum kepada seseorang yang tercatat pada akta korporasi sebagai penanggung jawab korporasi itu.
Sebelumnya, KPK menetapkan Direktur Utama PT Garuda Indonesia 2005-2014 Emirsyah Satar sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari airbus S.A.S dan Rolls Royce P.L.C pada PT Garuda Indonesia (persero) Tbk. Selain Emirsyah Satar, KPK juga menetapkan Soetikno Soedarjo selaku beneficial owner dari Connaught International Pte. Ltd.
Mantan Wakil CEO Danamon itu diduga bermain dalam pengadaan 50 pesawat airbus pada kurun waktu 2005-2014. Selama itu, Emir diduga telah menerima suap dari Soetikno sebesar 1,2 juta euro dan USD 180 ribu atau uang senilai Rp 20 milyar dan barang senilai USD 2 juta yang tersebar di Singapura dan di Indonesia.
Emir disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU Tipikor jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 64 ayat 1 KUHPidana. Sedangkan Soetikno diduga sebagai pemberi disangkakan melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 5 ayat 1 huruf b atau pasal 13 uu tipikor jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 64 ayat 1 KUHPidana.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Yuliana Ratnasari