Menuju konten utama

Jejak Kasus Emirsyah Satar di Garuda, Diusut KPK hingga Kejagung

Emirsyah Satar menjadi pesakitan KPK dalam kasus korupsi Garuda Indonesia. Kini ia kembali jadi tersangka di Kejagung.

Jejak Kasus Emirsyah Satar di Garuda, Diusut KPK hingga Kejagung
Mantan Dirut PT. Garuda Indonesia Emirsyah Satar (tengah) dengan baju tahanan meninggalkan gedung KPK di Jakarta, Rabu (7/8/2019). ANTARA FOTO/Reno Esnir/foc.

tirto.id - Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar kembali berurusan dengan hukum. Kali ini, Emirsyah tersangkut kasus korupsi di tubuh Garuda Indonesia yang tengah disidik Kejaksaan Agung (Kejagung).

“Kami juga menetapkan tersangka baru sejak Senin, 27 Juni 2022, hasil ekspos kami menetapkan tersangka baru yaitu ES selaku Direktur Utama PT Garuda, yang kedua adalah SS selaku Direktur PT Mugi Rekso Abadi,” kata Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam keterangan di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (27/6/2022).

Burhanuddin menuturkan, penetapan tersangka dilakukan setelah penyidik melakukan pengembangan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi di Garuda Indonesia. Penyidik meyakini pria kelahiran 28 Juni 1959 tersebut bersalah bersama eks Dirut PT Mugi Rekso Abadi Soetikno Soedarjo dalam kasus yang sama.

Di sisi lain, penyidik Kejaksaan Agung telah menerima hasil audit BPKP tentang Garuda Indonesia. BPKP mencatat Garuda merugi hingga Rp8,8 triliun.

Untuk detail kasus, Burhanuddin tidak menjawab. Akan tetapi, ia memastikan bahwa kasus ini berbeda dengan kasus yang ditangani KPK. Ia juga menegaskan bahwa kedua tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Jejak Kasus Korupsi Emirsyah Satar

Pernyataan Burhanuddin soal penuntutan yang berbeda tidak lepas dari apa yang pernah dilakukan KPK pada 2017. Saat itu, KPK menerima informasi dari SFO (Serious Fraud Office atau KPK Inggris) soal adanya dugaan tindak pidana korupsi pembelian pengadaan mesin Rolls-Royce Garuda Indonesia.

Emirsyah Satar menjadi pesakitan setelah mengajukan pengunduran diri pada 8 Desember 2014. Kursi Emirsyah baru diisi oleh Arif Wibowo pada 12 Desember 2014. Ia pun sudah menjadi Dirut Garuda selama dua periode dan seharusnya berhenti pada 22 Maret 2015.

Berdasarkan hasil penyelidikan KPK, penyidik menetapkan Emirsyah Satar sebagai tersangka bersama Soetikno yang kala itu beneficial owner Connaught International Pte Ltd sekaligus Dirut PT Mugi Rekso Abadi (MRA) pada 2017 dalam kasus korupsi pengadaan pesawat Airbus SAS dan pesawat Rolls-Royce.

Kala itu, Emir disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 ke-1, sementara Soetikno dijerat Pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 ke-1 KUHPidana. Penyidik pun sempat menggeledah kediaman Emirsyah Satar serta kantor MRA.

Pada konstruksi awal kasus, KPK menduga Emirsyah menerima suap dari Soetikno sebesar 1,2 juta Euro dan 180 ribu dolar AS atau setara Rp20 miliar. Emirsyah juga diduga menerima suap dalam bentuk barang senilai 2 juta dolar AS yang tersebar di Indonesia dan Singapura.

Pada 7 Agustus 2019, KPK kembali mengumumkan Emirsyah Satar sebagai tersangka kasus pencucian uang. Pencucian uang itu dilakukan sejak periode 2005-2014.

Penyidik KPK meyakini bahwa Soetikno memberikan Emirsyah berupa Rp5,79 miliar untuk pembayaran rumah di Pondok Indah, 680 ribu dolar AS dan 1,02 juta euro yang dikirimkan ke rekening perusahaan milik Emirsyah Satar dan 1,2 juta euro untuk pelunasan apartemen di Singapura.

Dalam kasus pencucian uang, Emirsyah dan Soetikno diduga melanggar Pasal 3 atau Pasal 4 UU 8/2010 tentang Pencegahan TPPU jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Pada saat pembacaan dakwaan Soetikno, jaksa KPK menyebut Emirsyah menerima uang suap dengan sejumlah uang rupiah dan asing. Menurut jaksa KPK, Soetikno memberikan Rp5,8 miliar, 884.200 dolar AS, EUR 1.020.975 dan 1.189.208 dolar Singapura kepada Emir untuk memuluskan pengadaan barang.

Pemberian dilakukan Soetikno sejak 2009 hingga 2014 secara bertahap. Pengadaan barang tersebut berupa total care program (TCP) mesin Rolls-Royce Trent 700, pengadaan pesawat Airbus A330-300/200, pengadaan pesawat Airbus A320 untuk PT Citilink Indonesia, pengadaan pesawat Bombardier CRJ1000 dan pengadaan pesawat ATR 72-600.

Pada tingkat pertama, Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Emirsyah Satar bersalah. Dalam perkara nomor 121/Pid.Sus-TPK/2019/PN Jkt.Pst, ia divonis 8 tahun penjara dan pidana denda Rp1 miliar subsider 3 bulan. Ia pun dikenakan hukuman uang pengganti sebesar SGD 2.117.315,27.

Tidak terima dengan hukuman tersebut, Emirsyah Satar mengajukan banding hingga kasasi. Banding Emirsyah dengan nomor perkara 19 /Pid.Sus-TPK/2020/PT DKI tanggal 17 Juli 2020 dan tingkat kasasi sesuai nomor perkara 4792 K/PID.SUS/2020, menolak upaya hukum Emirsyah Satar. KPK lantas mengeksekusi Emirsyah Satar ke Lapas Sukamiskin pada 5 Februari 2021.

Kini, Satar kembali tersangkut korupsi yang disidik Kejaksaan Agung. Pada perkara yang ditangani Kejagung, penyidik telah menetapkan 3 tersangka yakni Setijo Awibowo (SA) selaku VP Strategic Management Office Garuda 2011-2012, Agus Wahjudo selaku Executive Project MAnager Aircraft Delivery PT Garuda 2009-2014 dan Albert Burhan selaku VP Treasury Management PT Garuda Indonesia 2005-2012.

Ketiga tersangka ini ditetapkan tersangka dalam kasus pengadaan pesawat Garuda Indonesia dalam berbagai jenis antara lain Bombardier CRJ-100 dan ATR 72-600.

Kejagung menduga, proses pembelian pesawat periode 2011-2013 mengalami penyimpangan seperti kajian rencana bisnis (business plan atau feasibility studies) pengadaan pesawat Sub-100 Seaters (CRJ-1000) atau pesawat turbo propeller ATR 72-600 tidak sesuai prinsip pengadaan barang dan jasa yang efektif efisien, kompetitif, transparan, adil, wajar serta akuntabel.

Selain itu, mereka mendeteksi proses pelelangan sudah berupaya memenangkan pihak tertenu, yakni Bombardier dan ATR. Kemudian, ada indikasi suap menyuap dalam proses pengadaan pesawat tersebut. Kejagung menduga proses penyimpangan pengadaan tersebut telah merugikan negara.

“Atas kerugian keuangan negara yang ditimbulkan tersebut, diduga telah menguntungkan pihak terkait dalam hal ini perusahaan Bombardier Inc-Kanada dan perusahaan Avions de Transport Regional (ATR)-Prancis masing-masing selaku pihak penyedia barang dan jasa serta perusahaan Alberta S.A.S.-Perancis dan Nordic Aviation Capital (NAC)-Irlandia selaku lessor atau pihak yang memberikan pembiayaan pengadaan pesawat tersebut,” kata Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana.

Baca juga artikel terkait KASUS SUAP EMIRSYAH SATAR atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz