tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Irfan Kurnia Saleh (IKS) alias Jhon Irfan Kenway (JIK), tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter angkut AgustaWestland tipe AW-101 di TNI AU pada 2016-2017.
Irfan Kurnia Saleh ialah direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) dan pengendali PT Karsa Cipta Gemilang (KCG). Saleh telah ditetapkan sebagai tersangka pada Juni 2017.
"Tim penyidik melakukan upaya paksa penahanan terhadap IKS berupa penahanan 20 hari terhitung mulai 24 Mei 2022 sampai dengan 12 Juni 2022 di Rumah Tahanan KPK pada Gedung Merah Putih," kata Ketua KPK Firli Bahuri, saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (25/5/2022) malam dilansir dari Antara.
Irfan disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Menurut Firli, perbuatan tersangka Irfan mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar Rp224 miliar.
"Akibat perbuatan IKS, diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar Rp224 miliar dari nilai kontrak Rp738,9 miliar," kata Firli.
Dalam konstruksi perkara, KPK menjelaskan pada Mei 2015, Irfan bersama Lorenzo Pariani (LP), sebagai salah satu pegawai perusahaan AgustaWestland (AW), menemui Mohammad Syafei (MS) yang saat itu masih menjabat sebagai Asisten Perencanaan dan Anggaran Mabes TNI AU.
Dalam pertemuan tersebut, terdapat pembahasan di antaranya terkait pengadaan helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU.
"KS, yang juga menjadi salah satu agen AW, diduga selanjutnya memberikan proposal harga pada MS dengan mencantumkan harga untuk satu unit helikopter AW-101 senilai 56,4 juta dolar AS, dimana harga pembelian yang disepakati IKS dengan pihak AW untuk satu unit helikopter AW-101 hanya senilai 39,3 juta dolar AS [ekuivalen dengan Rp514,5 miliar]," ungkap Firli.
Selanjutnya, sekitar November 2015, lanjutnya, panitia pengadaan helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU mengundang Irfan untuk hadir dalam tahap pra-kualifikasi, dengan menunjuk langsung PT DJM sebagai pemenang proyek.
"Dan hal ini tertunda karena adanya arahan Pemerintah untuk menunda pengadaan ini karena pertimbangan kondisi ekonomi nasional yang belum mendukung," tambahnya.
Pada 2016, pengadaan helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU kembali dilanjutkan dengan nilai kontrak Rp738,9 miliar dan metode lelang melalui pemilihan khusus, yang hanya diikuti oleh dua perusahaan.
Dalam tahapan lelang itu, KPK menduga panitia lelang tetap melibatkan dan mempercayakan Irfan dalam menghitung nilai harga perkiraan sendiri (HPS) kontrak pekerjaan. Adapun harga penawaran yang diajukan Irfan masih sama dengan harga penawaran di tahun 2015, yakni senilai 56,4 juta dolar AS, dan disetujui oleh pejabat pembuat komitmen (PPK).
"IKS juga diduga sangat aktif melakukan komunikasi dan pembahasan khusus dengan FA (Fachri Adamy) selaku PPK," kata Firli.
Terkait persyaratan lelang yang hanya mengikutkan dua perusahaan, KPK menduga Irfan menyiapkan dan mengondisikan dua perusahaan miliknya mengikuti proses lelang dan disetujui oleh PPK.
"Untuk proses pembayaran yang diterima IKS diduga telah 100 persen, dimana faktanya ada beberapa item pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi dalam kontrak, di antaranya tidak terpasangnya pintu kargo dan jumlah kursi yang berbeda," ujarnya.
Firli menyatakan perbuatan tersangka Irfan itu diduga bertentangan dengan Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pengadaan Alat Utama Sistem Senjata di Lingkungan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter AW-101 juga pernah diusut Pusat Polisi Militer TNI. Saat itu Puspom TNI telah menetapkan lima tersangka, namun dalam perkembangan kasus dihentikan dengan terbitnya surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap lima tersangka yang semuanya berasal dari lingkungan militer.
Lima tersangka dari unsur militer, yaitu Wakil Gubernur Akademi TNI AU (saat itu) Marsekal Pertama TNI Fachry Adamy, yang adalah bekas pejabat pembuat komitmen atau kepala staf pengadaan TNI AU 2016-2017.
Tersangka lain Letnan Kolonel ADM WW selaku bekas pemegang kas Markas Besar TNI AU, Pembantu Letnan Satu SS selaku bintara urusan pembayaran pemegang kas Dinas Keuangan TNI AU, Kolonel (Purn) FTS selaku bekas sekretaris Dinas Pengadaan TNI AU, dan Marsekal Muda TNI (Purn) SB selaku staf khusus Kepala Staf TNI AU yang juga bekas asisten Perencanaan dan Anggaran Kepala Staf TNI AU.