tirto.id - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menemukan sejumlah kejanggalan dalam sidang pertama kasus Paniai yang digelar pada Rabu, 21 September 2022 kemarin.
Pertama, Kejaksaan Agung terlihat jelas menetapkan pelaku tunggal dalam dalam konstruksi dakwaan kasus Paniai 2014 sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi melalui 'serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil'.
"Serangan tersebut pastinya melibatkan lebih dari satu pelaku. Hukum dan standar internasional yang berlaku untuk kejahatan terhadap kemanusiaan dengan jelas menyatakan bahwa baik mereka yang memiliki tanggung jawab komando maupun mereka yang secara langsung melakukan kejahatan harus dimintai tanggung jawab pidana," kata Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti dalam keterangan tertulisnya, Kamis (22/9/2022).
KontraS juga mempertanyakan mengapa tindak pidana perintangan keadilan atau obstruction of justice luput dari proses hukum kasus Paniai saat ini.
"Koalisi menilai, dakwaan Kejaksaan Agung telah mengaburkan konstruksi hukum kejahatan terhadap kemanusiaan di kasus ini, salah satunya dengan hanya menetapkan IS sebagai satu-satunya terdakwa yang bahkan akan merugikan hak asasi dirinya karena bisa saja sebatas dijadikan kambing hitam," ujar Fatia.
Fatia juga menyayangkan efek dari keputusan ini. Memang di satu sisi, menggunakan seminimal mungkin upaya paksa seperti penahanan adalah peradilan yang baik. Namun di sisi lain, masyarakat Indonesia dapat melihat bahwa pada kenyataannya penahanan lebih sering diberikan kepada tersangka maupun terdakwa yang berasal dari kalangan masyarakat kecil dengan tindak pidana yang lebih sederhana daripada kejahatan terhadap kemanusiaan.
Keempat, KontraS juga menyayangkan bahwa keamanan di luar persidangan juga masih menjadi permasalahan yang tidak ditangani.
Kelima, KontraS menilai Negara dalam hal ini Mahkamah Agung dan Pengadilan tidak memberikan perlindungan yang layak kepada Majelis Hakim.
"Bila dibandingkan dengan tiga Pengadilan HAM yang sebelumnya, kondisi perlindungan yang tidak layak ini terjadi bagi pengadilan Terdakwa IS yang saat ini setelah menjadi purnawirawan dan tidak memegang jabatan dengan banyak pasukan, Dengan kondisi demikian, terlihat MA serta PN tidak siap, jika tidak dapat dikatakan tidak dimaksudkan, untuk melakukan perlindungan hakim maupun pengunjung sidang apabila Terdakwa adalah aparat aktif dengan jabatan tinggi," ujar Fatia.
Atas dasar hal tersebut, KontraS mendesak MA dan PN memberikan perlindungan yang layak bagi Majelis Hakim serta saksi, berkoordinasi dengan Kapolresta Makassar juga agar menjamin keamanan terutama bagi OAP yang berada di Makassar berkaitan dengan persidangan tersebut.
Sebelumnya, Pengadilan Negeri (PN) Makassar menggelar sidang perdana kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Paniai, Papua, hari ini, Rabu (21/9/2022). Jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Tinggi Papua dan Kejaksaan Agung memastikan hadir dalam persidangan tersebut.
"Sidang dengan agenda pembacaan surat dakwaan terhadap terdakwa Mayor Inf (Purn) Isak Sattu dalam perkara dugaan pelanggaran HAM Berat dalam peristiwa Paniai di Provinsi Papua tahun 2014,” kata Kapuspenkum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana dalam keterangan tertulis, Rabu.
Jaksa turut menghadirkan terdakwa, alat bukti dan barang bukti dalam persidangan perdana di PN Makassar.
Ketut menjabarkan dua dakwaan terhadap Isak: pertama, Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; dan kedua, Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Jaksa penuntut umum meyakini pasal yang didakwakan terhadap Isak telah sesuai dengan keterangan saksi dan bukti yang dikumpulkan pada tahap penyidikan perkara tersebut.
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Bayu Septianto