Menuju konten utama

Komnas HAM Minta Masyarakat Adat Bisa Miliki Saham Freeport

Komnas HAM meminta pemerintah membentuk peraturan mengenai klausul yang menjamin bahwa masyarakat adat di Papua mendapat jatah kepemilikan saham di PT Freeport Indonesia. 

Komnas HAM Minta Masyarakat Adat Bisa Miliki Saham Freeport
Petugas keamanan Freeport terlihat di di kompleks tambang Grasberg Freeport McMoRan, Papua. Foto/AFP/Getty Images/Olivia Rondonuwu.

tirto.id - Komisioner Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Natalius Pigai menyatakan lembaganya meminta Kementerian ESDM membentuk peraturan khusus yang menjamin kepemilikan saham PT Freeport Indonesia di tangan masyarakat adat Papua.

"Kami meminta ada pasal khusus yang secara tegas dan jelas menyebutkan posisi masyarakat adat dalam kepemilikan saham. Sudah 50 tahun mereka tidak dihargai," kata Natalius seusai menemui Menteri ESDM, Ignasius Jonan di Kantor Kementerian ESDM Jakarta, pada Selasa (7/3/2017) sebagaimana dilansir antara.

Natalius mengimbuhkan ia sudah menyampaikan kepada Jonan agar masyarakat adat Papua menerima kompensasi dari aktivitas pertambangan Freeport, yang salah satunya, berupa pembagian saham. Ia optimistis kepemilikan saham ini bisa mengurangi kemiskinan masyarakat adat yang selama ini terdampak aktivitas pertambangan Freeport.

Dia menjelaskan masyarakat adat yang terdampak operasi Freeport di Papua, antara lain suku Amungme dan suku Kamoro. Menurut Natalius, dalam konteks bisnis, masyarakat adat selaku pemilik tanah yang menjadi wilayah operasional Freeport seharusnya menjadi pemegang saham.

Ia menambahkan, selama Freeport beroperasi 50 tahun di Papua, masyarakat adat Amungme dan Komoro tidak memiliki kepastian akan status kepemilikan sahamnya. Sementara kemiskinan masih mendera kehidupan mereka.

"Kemiskinan di Timika 33 persen, Indonesia hanya 11 persen. Bayangkan Freeport sebesar itu. Kami ingin membantu negara meminimalisasi kemiskinan dengan menjadikan mereka bagian dalam pengelolaan usaha," ujar Natalius.

Selain itu, Natalius juga mendesak pemerintah melibatkan perwakilan masyarakat adat Amungme dan Komoro dalam perundingan dengan Freeport mengenai izin relaksasi ekspornya dan rencana perubahan status perizinannya dari Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Akan tetapi, ia menegaskan tidak mempermasalahkan masa depan Freeport di Papua akan berlanjut atau tidak. Syaratnya, ada jaminan mengenai nasib masyarakat di Papua mengenai konsekuensi dari proses itu.

"Apakah nanti perundingan antara Freeport dan pemerintah berhasil kemudian usahanya dilanjutkan atau terhenti, bagi kami bukan jadi kekhawatiran. Bagi kami, kalau dilanjutkan bagaimana posisi masyarakat, kalau terhenti bagaimana tanggung jawab akibat operasi yang menyebabkan berbagai kekurangan," kata dia.

Sementara itu, Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar menjelaskan pengaturan kepemilikan saham, yang melibatkan masyarakat adat, harus dilakukan secara menyeluruh dalam koridor divestasi yang diatur di Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Peraturan itu baru menyebut pemerintah daerah mendapatkan prioritas kedua, yakni dalam divestasi saham perusahaan tambang asing di Indonesia, setelah pemerintah pusat.

"Penyelesaian menyeluruh mengenai saham dan lain-lain harus dalam koridor divestasi. Yang jelas kita harus berjuang agar Freeport mau divestasi saham 51 persen," kata Arcandra.

Baca juga artikel terkait KOMNAS HAM atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Addi M Idhom
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom