Menuju konten utama

Komnas HAM: Debat Cawapres Tak Bahas Komersialisasi Pendidikan

Komnas HAM menilai kedua cawapres tak membahas mengenai hak dasar pendidikan warga negara Indonesia yang harusnya dipenuhi. Padahal saat ini pendidikan cenderungan komersial.

Komnas HAM: Debat Cawapres Tak Bahas Komersialisasi Pendidikan
Cawapres nomor urut 01 K.H. Ma'ruf Amin (kedua dari kiri), Cawapres nomor urut 02 Sandiaga Uno, Ketua KPU Areif Budiman (tengah), moderator debat Alfito Deanova kiri0, dan Putri Ayuningtyas (kanan) menyanyikan lagu Indonesia Raya saat dimulainya Debat Capres Putaran Ketiga di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/3/2019). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Ketua Komnas Hak Asasi Manusia (HAM), Taufik Damanik mengakui sejumlah isu penting tak dibahas dalam debat Cawapres 2019 antara Sandiaga Salahuddin Uno dan Maruf Amin, Minggu (17/3/2019).

Menurut Taufik, kedua cawapres tak membahas mengenai hak dasar pendidikan warga negara Indonesia yang harusnya dipenuhi. Padahal, kata dia, saat ini pendidikan Indonesia sudah memiliki kecenderungan komersialisasi.

"Kenapa enggak ada wacana merevisi UU 12 tahun 2012 [tentang pendidikan tinggi]. Itu banyak pasal memungkinkan pendidikan menjadi komersial. Bertentangan dengan UU 11 tahun 2005 [tentang hak ekonomi, sosial, dan budaya]. Pendidikan cenderung dipasarkan. Ini masalah aksesibilitas, bagaimana orang-orang yang dari pedalaman dan tak ada biaya bisa dapat pendidikan layak," kata dia saat konferensi pers di Komnas HAM, Senin (18/3/2019) siang.

Problem pendidikan yang belum juga maju di Indonesia, menurut Taufik, dikarenakan masih terbatasnya akses dan kualitas pendidikan ke seluruh warga negara.

Ia mengambil contoh, anak dari pedalaman Kalimantan atau Papua ketika diikutkan kompetisi pendidikan tak akan mampu mengimbangi. Penyebabnya, kata dia, karena akses dan kualitasnya yang tak terpenuhi.

"Makanya tetap stuck [macet] dan di situ-situ aja pendidikan kita," kata dia.

Taufik juga mengatakan, kedua cawapres seharusnya bisa mendiskusikan cara mengembalikan paradigma pendidikan di Indonesia. Dengan demikian, seharusnya hak pendidikan sudah menjadi tanggungjawab negara, bukan diserahkan ke mekanisme pasar.

"Mekanisme pasar kan tergantung siapa yang kuat dan punya kemampuan, ya dia yang mendapatkan kesempatan pendidikan dan kualitas lebih baik. Harusnya kan enggak gitu. Di luar UU 11 2005 masalah pendidikan negara kita didirikan konstruksinya sudah hak asasi manusia, karena mencerdaskan kehidupan bangsa itu adalah tanggung jawab negara. Sekarang semua itu pelan pelan menghilang, harusnya jadi tanggung jawab negara, sekarang malah jadi tanggung jawab pihak swasta," kata dia.

Menurut Taufik, ini juga berkaitan erat dengan wacana Kemenristekdikti untuk memfokuskan perguruan tinggi pada kebutuhan industri dan akhirnya memangkas jurusan sosial dan humaniora.

"Ini mendukung komersialisasi pendidikan juga, orientasi ke pasar. Yang nyusun kurikulum juga begitu. Banyak sekali kejadian pemaksaan di dalam pembuatan kurikulum," kata dia.

"Saya dulu ngajar di jurusan Komunikasi misalnya, karena daerah kami industri perkebunan, maka dikait-kaitkan komunikasi dengan industri perkebunan, padahal enggak ada hubungannya dan relevansinya. Padahal yang lebih dipentingkan disitu misalnya komunikasi antar budaya dan keragaman budaya. Ini akhirnya memang mendorong-dorong untuk memenuhi kebutuhan pasar yang kadang-kadang tak relevan," tambah dia.

Baca juga artikel terkait HARD NEWS atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Zakki Amali