tirto.id - Senin (15/4), jurnalis investigasi asal Amerika Serikat Allan Nairn merilis laporan terbaru tentang rencana Prabowo bila menang dalam Pemilihan Presiden 2019. Berdasarkan dokumen yang diterima Nairn, Prabowo akan "melumpuhkan" kelompok-kelompok Islamis" seperti HTI, FPI, dan PKS yang aktif mengampanyekan paslon Prabowo-Sandi dalam Pilpres 2019. Dokumen yang dikutip Nairn juga menyebut rencana mengembalikan dwifungsi TNI.
Karena satu dan lain hal laporan itu dipandang kontroversial. Namun, aliansi kelompok Islamis dan militer yang berujung tragis bukan hal baru di berbagai belahan dunia. Aliansi antara National Islamic Front yang dipimpin ulama Hassan al-Turabi dengan Brigadir Jenderal Omar al-Bashir, misalnya, memang sempat awet selama satu dasawarsa. Keduanya sukses merebut kekuasaan dari Jafar Nimeiry, seorang perwira sekuler yang seranjang dengan Ikhwanul Muslimin cabang Sudan di akhir kekuasaannya.
Namun, sepuluh tahun setelah keberhasilan kudeta 1989, hubungan Bashir dan Turabi—bekas pimpinan Ikhwanul Muslimin cabang Sudan—mulai retak. Pada 2003, Bashir menuduh Turabi berkomplot menjatuhkan pemerintah dan memenjarakannya.
Kudeta militer terhadap Presiden Mesir Muhammad Mursi pada 2013 adalah contoh lainnya.
Revolusi dan Kontrarevolusi
Kisahnya bermula dari gelombang protes besar pada 2011 di alun-alun Tahrir, Kairo, yang sukses mengakhiri 30 tahun rezim otoriter Husni Mubarak. Sejak akhir 2010, protes-protes anti-Mubarak yang berkembang menjadi revolusi itu melibatkan berbagai golongan. Tua, muda, laki-laki, perempuan, sekuler, Muslim, Kristen, kiri, dan kanan.
Setelah Mubarak tumbang, kelompok Islamis Ikhwanul Muslimin (IM) digadang-gadang akan mengambil alih kekuasaan.
Prediksi itu bukannya tanpa alasan. IM telah bertahan di bawah represi rezim Nasser, Sadat, hingga Mubarak. Organisasi dan individu terkait telah didakwa sehubungan dengan sejumlah kasus terorisme di dalam dan luar Mesir. Belum lagi, IM adalah kelompok politik yang paling terorganisir di bawah rezim Mubarak. Namun, kendati menindas Islamis dan siapapun yang membangkang, pemerintahan Mubarak memberikan sedikit keleluasaan bagi sejumlah anggota IM yang dipandang lebih moderat, termasuk untuk berlaga dalam pemilu sebagai calon independen.
Pada Juni 2012 Mesir menyelenggarakan pemilu pertama setelah Mubarak lengser. Melalui Partai Kebebasan dan Keadilan (kendaraan politik IM), Muhammad Mursi terpilih sebagai presiden dengan 57 persen suara. Namun, pemerintahannya hanya bertahan satu tahun tiga hari. Ia lengser berkat protes jalanan yang ditutup dengan kudeta militer pada 3 Juli 2013.
Militer yang pernah berkongsi dengan pemerintahan Mursi untuk menghantam demonstran berbalik menjadi mesin pembunuh anggota dan simpatisan IM dalam pembantaian Rabaa pada Agustus 2013. Human Rights Watch memperkirakan sedikitnya 1.000 pendukung Mursi yang memprotes kudeta pimpinan Jenderal Abdel Fattah El-Sisi tewas dalam pembantaian Rabaa pada Agustus 2013. El-Sisi yang menjabat panglima Angkatan Bersenjata dan menteri pertahanan di era Mursi melenggang menjadi presiden Mesir ke-6.
Saling Menunggangi
Sebagaimana dilaporkan wartawan Joshua Hammer untuk New Republic, para elite IM menjalin kontak intensif dengan militer menjelang mundurnya Mubarak. Kedua pihak dikabarkan berunding soal penjadwalan pemilu, konstitusi baru, dan daftar calon presiden yang terdiri dari anggota-anggota IM. Meski petinggi Partai Kebebasan dan Keadilan menyangkal kedekatan tersebut, harian Al-Ahram mencatat kesepakatan di belakang layar antara IM dan militer sudah terjalin sejak Maret 2011.
Kesepakatan itu membuat tak sedikit kalangan menilai IM telah mengkhianati revolusi.
Lantas, mengapa Mursi dan IM akhirnya harus menerima nasib tragis di tangan militer?
Dalam analisisnya yang dimuat di Fair Observer, Clotilde de Swarte, peneliti politik Timur Tengah dan Afrika Utara yang mengamati pergolakan sebagai staf kedubes Perancis di Kairo menyatakan bahwa legitimasi militer Mesir nyaris tergerus habis setelah revolusi. Sisa-sisa kepercayaan masyarakat akan rontok jika militer terus menentang demonstran.
Sebagai organisasi pertahanan dan bisnis, tulis de Swarte, militer Mesir selalu berpikir dalam kerangka untung-rugi. Kebijakan yang merugikan dan bisa menimbulkan krisis akan ditentang. Sebaliknya, sebuah pemerintahan akan didukung selama bisa menguntungkan militer.
Setelah Mubarak tumbang, pemerintahan sementara dipegang militer di bawah kendali Marsekal Mohamed Hussein Tantawi. Selama 16 bulan, tentara berusaha keras agar masa depan politik Mesir selaras dengan kepentingannya.
Walhasil, militer menjatuhkan dukungan kepada IM sebagai organisasi politik paling populer dan terorganisir. Para serdadu paham IM berpeluang besar memenangkan pemilu. Tugas mereka adalah memastikan agar IM setuju mempertahankan kepentingan militer begitu berkuasa.
IM akhirnya diizinkan membentuk partai politiknya sendiri, Partai Kebebasan dan Keadilan—sebuah langkah mustahil di era Mubarak. Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata (SCAF) memberi IM ruang untuk menyusun konstitusi baru sembari mempertahankan aturan yang memungkinkan para jenderal tetap mendapat jatah kekuasaan dan hak istimewa. Perhitungan SCAF tak meleset. IM menang pemilu.
Jurnalis Los Angeles Times Jeffrey Fleishman dan Reem Abdellatif melaporkan IM merangkul para jendera dengan pertimbangan bahwa militer adalah institusi paling disegani di Mesir. Langkah ini juga diambil sebagai pilihan logis bagi IM untuk menanamkan citra pemerintahan kuat dan stabil pasca-revolusi di mata dunia.
Masalah timbul ketika Mursi menyodorkan konstitusi baru yang nasibnya akan diputuskan pada referendum Desember 2012. Pihak oposisi, khususnya Barisan Pembebasan Nasional (NSF), menolak mengakui rancangan konstitusi baru karena disusun oleh majelis yang didominasi kalangan Islamis. Rancangan konstitusi juga dianggap gagal melindungi hak-hak perempuan dan kaum minoritas. Gereja Kristen Koptik pun mengajukan keberatan.
Jelang referendum awal Desember, protes, baku hantam, hujan batu, dan ledakan bom molotov menjadi pemandangan rutin di jalan-jalan sekitar Istana Presiden. Tak sedikit yang mengalami luka, bahkan tewas.
Mursi akhirnya meminta bantuan El-Sisi yang menyesalkan krisis politik akibat rancangan konstitusi baru Mursi. Sejak itu tentara turun ke jalan menangkapi aktivis di tengah membesarnya gelombang protes anti-Mursi pada Desember 2012.
Di sisi lain, sebelum Mursi meminta bantuan militer untuk meredam protes jalanan, pada awal Desember IM lebih dahulu menyatakan kepada para jenderal bahwa mengakhiri pemerintahan militer dan transfer kekuasaan ke sipil adalah prioritas mereka.
Lazimnya suasana pasca-revolusi, situasi ekonomi yang carut-marut menyusahkan rezim apapun yang berkuasa, tak terkecuali pemerintahan Mursi yang rupanya tak cukup kuat mengatasi krisis. Enam bulan setelah Mursi dilantik,
harian Al-Monitor menyebut nilai tukar pound Mesir terhadap dolar AS turun 6% dan tingkat pengangguran naik dari 8,9% menjadi 12,4%. Pariwisata, salah satu sektor andalan Mesir yang ambruk pada bulan-bulan revolusi 2011, memang sedikit membaik tetapi jauh dari kata pulih.Hingga Juli 2013, protes-protes di Kairo semakin rutin dan meluas. Seiring para demonstran kembali memadati Lapangan Tahrir, tuntutan agar Mursi mundur kian lantang. Kesempatan ini tak disia-siakan para serdadu untuk mengkudeta presiden Mesir pertama dari kalangan sipil itu pada Juli 2013.
Sejak kudeta Juni 2013, Mursi dijebloskan ke penjara berkeamanan ketat di Iskandariyah. Setelahnya ia diadili dengan dakwaan berlapis, mulai dari penahanan dan penyiksaan para pendemo, membocorkan rahasia negara, berkomplot dengan kelompok asing bersenjata, hingga kabur dari bui (yang dia lakukan bersama anggota Hamas dan Hizbullah pada 2011). Hukuman mati pun dijatuhkan, namun dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Mesir pada 2016.
Pada 23 September 2013, pemerintah Mesir di bawah El-Sisi menyatakan IM sebagai organisasi terlarang.
Editor: Tony Firman