tirto.id - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang menyentil Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam diskusi panel hari anti-korupsi sedunia 2018, di Hotel Bidakara, Jakarta. Saut menyarankan agar anggota legislatif tidak perlu digaji jika tidak menghasilkan undang-undang.
Hal itu disampaikan langsung kepada Ketua DPR RI Bambang Soesatyo. “[Anggota] DPR kalau bahas undang-undang enggak selesai-selesai, jangan digaji pak ketua,” kata Saut, di Hotel Bidakara Jakarta, Selasa (4/12/2018).
Saut menganggap performa merupakan indikator dari integritas. Karena itu, kata Saut, kegagalan membuat undang-undang adalah indikasi anggota DPR tidak berintegritas.
Pernyataan Saut tentu bukan tanpa alasan. Pada akhir 2017, misalnya, DPR memasukkan 50 Rancangan Undang-Undang (RUU) ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas. Target ini memang cukup fantastis.
Sayangnya, kenyataan di lapangan hingga akhir masa sidang V yang merupakan masa sidang terakhir di tahun 2017-2018, hanya empat RUU yang berhasil disahkan menjadi UU. Demikian pula pada masa sidang 2016-2017 dari 51 RUU Prolegnas Prioritas hanya 12 RUU yang disahkan.
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo menanggapi santai pernyataan itu. Ia mengaku setuju atas usulan Saut, tapi ia menolak jika hanya DPR yang disalahkan bila undang-undang gagal terbentuk. Sebab, pengesahan UU dilakukan bersama dengan pemerintah.
Politikus Golkar itu mengatakan, banyak undang-undang yang terbengkalai karena pemerintah enggan duduk bersama dengan DPR untuk membahasnya.
“Kami juga setuju kebijakan tadi, setuju kalau pemerintahnya juga enggak digaji,” kata Bambang sambil tertawa.
Sebaliknya, Wakil Ketua DPR Fadli Zon menolak usulan KPK itu. Politikus Gerindra ini bahkan menyatakan Saut mesti belajar lagi mengenai mekanisme pembentukan undang-undang.
Wakil Ketua Umum Gerindra ini mengatakan, yang jadi kendala dalam pembentukan undang-undang bukan karena kemauan DPR, tapi tarik ulur politik yang kerap kali menghambat pembahasan regulasi itu.
“Jadi pernyataan itu saya kira di luar tupoksinya sebagai komisioner KPK. Jadi harus hati-hati lah jangan ngomong sembarangan gitu,” kata Fadli Zon di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/12/2018).
Sementara itu, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus justru menyanggah pernyataan Fadli Zon itu. Ia menilai semestinya DPR tidak memasang target muluk-muluk bila memang sadar akan ada tarik ulur politik dalam pembentukan undang-undang.
“Tarik ulur ini kadang hanya pembenaran saja untuk melindungi kemalasan DPR dalam bekerja,” kata Lucius kepada reporter Tirto, Rabu (5/12/2018).
Ia pun menengarai masalah kehadiran anggota DPR jadi faktor utama pembahasan undang-undang mandeg.
Untuk itu, Lucius mendukung usulan Saut. Ia bahkan mendorong revisi UU MD3 dan tata tertib DPR guna memasukkan ketentuan soal batas waktu pembentukan undang-undang.
Menurut Lucius, tata tertib DPR memang telah memberi ketentuan kalau pembahasan satu RUU harus dilakukan maksimal dalam 3 masa sidang. Namun di sana juga dikatakan DPR bisa memperpanjang proses pembahasan tanpa batas waktu.
“Ada semacam kesengajaan yang sistematis disiapkan untuk melindungi kemalasan DPR," kata Lucius.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz