tirto.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI kembali mendapat sorotan setelah mengusulkan kenaikan anggaran untuk tahun 2018 sebesar Rp5,7 triliun. Angka tersebut naik sebesar Rp1,5 triliun jika dibandingkan dengan anggaran tahun ini, yaitu Rp4,2 triliun.
Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR, Anton Sihombing mengatakan, kenaikan anggaran sekitar Rp5,7 triliun tersebut untuk Satuan Kerja Dewan sebesar Rp4 triliun, sementara Rp1,7 triliun sisanya untuk satuan kerja Sekretariat Jenderal DPR.
Usulan kenaikan anggaran DPR tahun anggaran 2018 itu akan dibahas setelah Presiden Joko Widodo membacakan nota keuangan dalam sidang tahunan MPR-DPR-DPD, pada 16 Agustus mendatang. Hasil nota keuangan itu akan dibawa dan dibahas di Badan Anggaran (Banggar) DPR.
Namun, usulan tersebut mendapat sorotan publik. Salah satunya dari peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus. Ia menilai bahwa DPR seolah-seolah tidak sadar diri mengusulkan kenaikan anggaran, padahal kinerja DPR periode 2014-2019, khususnya di bidang legislasi terbilang buruk.
Berdasarkan catatan Formappi, kata Lucius, DPR periode 2014-2016 baru mengesahkan 16 rancangan undang-undang (RUU) menjadi UU. Tahun ini, bahkan DPR baru mengesahkan 4 UU dari target Prolegnas 2017 sebanyak 40 RUU. Padahal, selama tiga tahun bekerja, DPR pada periode sebelumnya telah mengesahkan sekitar 30 UU.
“DPR sekarang masalahnya lebih banyak mengurusi fasilitas untuk mereka sendiri ketimbang mengurusi apa yang dibutuhkan rakyat,” ujarnya saat dikonfirmasi Tirto, Selasa (15/8/2017).
Menurut dia, seharusnya anggota DPR memperbaiki kinerjanya terlebih dahulu sebelum mengusulkan kenaikan anggaran. Lucius mengatakan, jika DPR bekerja dengan sungguh-sungguh, maka masyarakat tidak akan mempersoalkan permintaan legislatif, termasuk pembangunan gedung baru.
Baca juga: Memeriksa Rapor Merah DPR
Selain kinerja legislasi yang buruk, tingkat kehadiran anggota DPR juga mendapat rapor merah. Berdasarkan data WikiDPR, misalnya, pada masa sidang ke-5 tahun 2016-2017 periode 18 Mei hingga 28 Juli 2017, DPR telah melakukan rapat paripurna beberapa kali dalam rangka melaksanakan fungsinya sebagai wakil rakyat.
Namun, merujuk data yang berhasil dihimpun Tim WikiDPR dari 9 rapat paripurna, rata-rata kehadiran anggota DPR RI seluruhnya adalah 227 dari 560 anggota, atau hanya sekitar 40,58 persen anggota hadir dalam rapat-rapat paripurna yang diselenggarakan DPR.
Kondisi tersebut, berdampak pada rendahnya kepercayaan publik terhadap parlemen. Belum lagi ditambah masih maraknya dugaan korupsi yang melibatkan anggota DPR dalam beberapa tahun terakhir ini. Tak heran jika dalam survei Global Corruption Barometer (GCB) yang dirilis Transparency International Indonesia (TII), pada 7 Maret lalu menempatkan DPR sebagai lembaga paling korup.
Berdasarkan hasil survei tersebut, DPR menjadi lembaga paling atas yang disebut kerap melakukan praktik korupsi. Sebayak 54 persen responden menilai lembaga perwakilan rakyat tersebut sebagai lembaga terkorup. Sementara urutan kedua terdapat birokrasi (50 persen), DPRD (47 persen), Dirjen Pajak (45 persen), Kepolisian (40 persen), kementerian (32 persen), pengadilan (32 persen), pengusaha (25 persen), dan tokoh agama (7 persen).
Baca juga:Benarkah DPR Lembaga Terkorup?
Respons DPR
Wakil Ketua DPR, Taufik Kurniawan menjelaskan kenaikan anggaran DPR untuk tahun depan sebesar Rp5,7 triliun masih harus menunggu pidato nota keuangan Presiden Jokowi pada 16 Agustus besok. Menurutnya, usulan kenaikan anggaran DPR itu belum bisa dikatakan berubah, karena baru tahap internal DPR.
“Karena ada pagu indikatif, yaitu pagu sementara, nanti ada pagu definitif,” ujarnya seperti dikutip Antara, Selasa (15/8/2017).
Politisi PAN itu memastikan bahwa rencana kenaikan itu belum final, karena akan memperhatikan kondisi terkini, seperti proses penghematan anggaran, kondisi ekonomi yang sedang berpihak pada pertumbuhan yang semuanya akan dibahas bersama.
Ia menjelaskan, setelah pagu indikatif difinalisasi, maka ujungnya nanti dalam bentuk UU APBN 2017 dalam bentuk pagu definitif.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR, Fadli Zon menganggap kenaikan anggaran DPR sebagai sesuatu yang wajar. Menurut dia, kenaikan tersebut senilai Rp5,7 triliun itu relatif kecil jika dibandingkan dengan anggaran kementerian dan lembaga lain.
“Jadi anggaran DPR untuk tahun 2018 tidak sampai 0,5 persen dari APBN, itu relatif kecil. Coba dibandingkan dengan anggaran di negara demokrasi lain yang anggaran parlemennya jauh lebih tinggi,” kata politisi asal Partai Gerindra itu, seperti dikutip Antara, 10 Agustus lalu.
Fadli sebenarnya menginginkan agar institusi legislatif memiliki anggaran yang mandiri, sehingga tidak bergantung kepada eksekutif dan bisa mengelolanya sendiri. “Misalnya ada permintaan untuk membuat alun-alun demokrasi, perbaikan ruangan anggota DPR yang sudah tidak memadai dengan jumlah tenaga ahli dan staf administrasi yang bertambah,” kata dia.
Dalam konteks ini, usulan kenaikan anggaran DPR dan renovasi gedung Nusantara I sebenarnya masih dapat dianggap wajar jika disertai dengan kinerja parlemen yang memuaskan. Namun, faktanya justru sebaliknya, kinerjanya jauh dari harapan.
Baca juga: Apakah Kursi Anggota DPR Perlu Ditambah?
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti