tirto.id - Dua laki-laki itu meninggalkan gedung pengadilan tanpa berbicara sedikitpun. Mereka menghindar dari para wartawan yang menunggunya di depan pengadilan. Mereka memilih diam ketika pemerintah Kanada mengeluarkan vonis bersalah kepada Winston Blackmore dan James Oler, dua mantan pemimpin sekte Kristen Mormon dengan dakwaan poligami.
Dua orang yang dikenai tuduhan melakukan poligami tersebut terancam hukuman lima tahun penjara. Fenomena itu di Kanada disebut-sebut sebagai ujian terhadap batas kebebasan beragama di negara tersebut.
Bagi Blackmore sendiri merasa bahwa tindakan yang dilakukannya bukan merupakan kesalahan dan sebatas mematuhi ajaran agamanya. Ia merasa bahwa poligami penting dilakukan untuk dirinya dan keluarganya.
Blackmore (61), seperti diwartakan CTV News, telah menikahi 27 perempuan sejak 1990 sampai 2016. Laki-laki yang memiliki 146 orang anak ini merupakan mantan pemimpin sekte Church of Jesus Christ of Latter-day Saints (FLDS) yang berpusat di Utah, Amerika Serikat.
James Oler, mantan ipar Blackmore, telah menikahi lima perempuan. Mereka berasal dari wilayah Bountiful di tenggara British Columbia, satu lokasi yang dihuni oleh sekelompok orang dari sekte Kristen Mormon.
Selama dua dekade, Blackmore adalah uskup di Bountiful, British Columbia, kelompok FLDS. Sebuah komunitas yang melegalkan poligami. Hingga kemudian, pada bulan September 2002, presiden Gereja FLDS Warren Jeffs mengucilkan dia.
Komunitas Bountiful terbelah hampir setengahnya. Sekitar 400 orang mengikuti Blackmore, dan sisanya mengikuti Jeffs. Sekte yang didirikan pada 1946 ini memiliki 1500 orang pengikut di Kanada dan memiliki cabang di Amerika Serikat dengan 10.000 orang anggota.
Blackmore dan pemimpin komunitas lainnya, James Oler, ditangkap oleh Polisi Mount Kanada pada Januari 2009 dan dituduh melakukan poligami. Tuduhan tersebut kemudian dihentikan dan dibuka kembali oleh pemerintah provinsi pada 2014.
Di tahun 2014, Mahkamah Agung membenarkan bahwa poligami bertentangan dengan hukum dalam kasus konstitusional. Pengacara Blackmore mencoba mengajukan banding atas kasus ini dan ditolak pada Mei 2016. Pengadilan Blackmore dimulai pada 18 April 2017. Pada tanggal 24 Juli 2017, Winston Blackmore dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung karena melakukan poligami.
Praktik poligami merupakan tindakan melawan hukum menurut pasal 293 KUHP Kanada. Kepolisian Kanada pertama kali menyelidiki kasus ini di Bountiful pada 1990-an. Namun, upaya membawa membawa kasus ini ke ranah pengadilan selalu gagal karena tersandung ketidakjelasan persoalan hukumnya.
Hingga kemudian di tahun 2011, Mahkamah Agung British Columbia menguatkan keberadaan Undang-Undang Antipoligami setelah ada permintaan dari pemerintah British Columbia untuk penyelesaian masalah poligami di komunitas tersebut.
Keberadaan undang-undang itu disebut-sebut membatasi kebebasan beragama di Kanada.
"Piagam hak asasi manusia adalah hukum tertinggi Kanada, tapi kita seharusnya menyadari bahwa hak-hak yang diatur dalam piagam tidak mutlak," kata Wally Opal, mantan Jaksa Agung menyikapi kasus Blackmore dan Oler.
Baca juga
Menyikapi kabar poligami di sekte mormon yang berkembang dari masa ke masa, komunitas kristen Mormon dunia sendiri menyatakan ketidaksepakatannya melalui Maklumat Resmi-1.
Di sana dituliskan bahwa sudah sejak tahun 1890, Presiden Wilford Woodruff, Presiden Gereja Yesus Kristus dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir telah menerima sebuah wahyu bahwa para pemimpin Gereja harus berhenti mengajarkan praktik pernikahan jamak (poligami).
“Gereja ini tidak memiliki hubungan apa pun dengan mereka yang mempraktikkan poligami. Mereka bukanlah anggota dari Gereja ini. Jika ada di antara para anggota kami yang kedapatan mempraktikkan pernikahan jamak, mereka diekskomunikasi, hukuman paling serius yang dapat dijatuhkan Gereja. Bukan saja mereka yang terlibat demikian berada dalam pelanggaran langsung dari hukum sipil, mereka melanggar hukum Gereja ini.” Kata Presiden Gordon B. Hinckley, Presiden terdahulu Gereja Yesus Kristus dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir.
Menurut studi Universitas of British Columbia 2011 lalu, poligami seperti yang dilakukan Blackmore tersebut dapat menyebabkan peningkatan kejahatan, kekerasan, kemiskinan, dan ketidaksetaraan gender. Masalah berlanjut saat pemimpin Mormon fundamentalis, Warren Jeffs, ditangkap karena penyerangan seksual pada anak tahun 2011 lalu.
Baca juga
Sementara itu, di Indonesia sendiri poligami diperbolehkan dengan syarat-syarat yang terbilang cukup ketat dan harus melibatkan keputusan istri pertama. Berdasarkan UU Perkawinan Pasal 4, kondisi sang istri yang dipoligami harus memenuhi tiga syarat, yaitu tak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau tidak dapat melahirkan keturunan.
Prinsip pernikahan monogami di Indonesia tertuang dalam Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi: “Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.”
Pasal tersebut tidak serta-merta menjadi basis pelarangan praktik poligami, karena poligami juga telah diatur sesuai Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Dalam UU tersebut, negara mengatur bagaimana prosedur dan syarat seorang laki-laki jika ingin menjadikan perempuan lain sebagai istri kedua. Dalam Pasal 3 ayat (2) disebutkan: “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.”
Baca juga
Poligami di Berbagai Negara
Legalitas poligami sangat bervariasi di seluruh dunia. Poligami legal di 58 dari hampir 200 negara berdaulat, sebagian besar dari mereka adalah negara berpenduduk mayoritas Muslim yang berada di Afrika dan Asia. Di sebagian besar negara bagian ini, poligami diperbolehkan dan diberi sanksi hukum.
Sebagian besar negara dengan penduduk mayoritas Muslim mengakui pernikahan poligami, mulai dari Afrika Barat sampai Asia Tenggara, kecuali Israel, Turki, dan Tunisia.
Sementara itu, semua negara di Amerika menyatakan penolakannya terhadap poligami. Inggris, Australia, dan Selandia Baru mengizinkan poligami yang dilakukan di negara lain. Pada kasus per kasus Swedia mengakui pernikahan poligami dilakukan di luar negeri, tapi tidak memberi hak tinggal atau jaminan sosial kepada pasangan lainnya. Di Swiss, poligami yang dilakukan di negara lain dapat diterima atau ditolak berdasarkan kasus per kasus.
Pada tahun 2000, Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa melaporkan bahwa poligami melanggar Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights). Hal ini dinyatakan dengan alasan kurangnya perlakuan yang setara dan mengingkari hak dan martabat perempuan.
Secara khusus, Komite PBB telah mencatat pelanggaran atas ketidaksetaraan ini dan melapor kepada Majelis Umum PBB untuk merekomendasikan pelarangan poligami. Namun dalam pelaksanaannya, beberapa negara bagian di mana poligami legal tidak ikut menandatangani Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) tersebut. Termasuk Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Oman, Malaysia, Brunei, Sudan Selatan, dan Myanmar. Maka, ICCPR tidak berlaku untuk negara-negara ini.
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Maulida Sri Handayani