tirto.id - Situs Sekretariat Kabinet (Setkab) pada 19 September 2016 pernah menulis target Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyelesaikan problem gizi buruk. Dalam waktu satu hingga tiga tahun, pemerintah berjanji permasalahan tersebut sudah tertangani semuanya. Hal ini karena Jokowi tidak ingin masalah itu menjadi beban sosial di masa depan.
Namun, pada 2018, masalah gizi buruk dan campak malah menjadi kejadian luar biasa (KLB) di Papua. Pemerintah memang merespons. Kementerian Kesehatan menurunkan 39 tenaga kesehatan, TNI pun menurunkan bala bantuan. Pemerintah daerah pun juga segera bertindak. Namun, hal ini menjadi ironi jika dibandingkan dengan keinginan Jokowi yang pernah dinyatakan sebelumnya.
Tirto pada 25 Januari 2018 pernah menuliskan bahwa 14 dari 34 provinsi punya proporsi gizi buruk yang lebih tinggi dari rata-rata seluruh Indonesia. Hal ini tentu menajdi iron sebab sejak di sekolah dasar masyarakat Indonesia selalu diingatkan dengan jargon empat sehat lima sempurna.
Namun, tentu orang mafhum, gizi buruk bukanlah masalah yang terjadi secara mendadak, melainkan disebabkan oleh sulitnya akses terhadap nutrisi. Akses yang di dalamnya tidak hanya terkait dengan individu anak, tapi juga soal perempuan hingga keluarga.
Gizi Buruk dan Stunting Masih Jadi Kendala
Secara nasional, menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, ada 30,8 persen anak usia di bawah lima tahun (balita) mengalami kekurangan gizi sehingga menyebabkan anak tidak tumbuh sempurna (stunting) pada tahun 2018. Meskipun angka tersebut termasuk tinggi, jumlah kejadian anak balita stunting sebenarnya sudah menurun dibandingkan dengan jumlah kejadian tahun 2007 hingga 2013, yaitu antara 36,8 persen dan 37,2 persen.
Permasalahan stunting sendiri pernah diangkat dalam debat calon wakil presiden pada Kamis (17/03/2019). Saat itu, Ma’ruf Amin berjanji menurunkan angka stunting di Indonesia hingga 20 persen jika dirinya dan Jokowi memenangkan Pilpres 2019.
Menjawab pertanyaan terkait strategi yang akan dilakukan untuk menuntaskan masalah serta meningkatkan pelayanan kesehatan, Ma’ruf Amin menilai apa yang telah dilakukan pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla (JK) sejauh ini sudah sangat baik. Namun begitu, ia berjanji akan terus meningkatkan pelayanan kesehatan untuk masyarakat.
Ma’ruf Amin memaparkan, ada beberapa program yang akan dilakukan pemerintahannya nanti. "Kami juga akan mendorong upaya yang bersifat preventif dan promotif melalui Germas (Gerakan Masyarakat Sehat) melalui program Indonesia Sehat dengan pendekatan keluarga," bebernya.
Pemerintahan Jokowi–JK patut diapresiasi dalam upaya menurunkan angka stunting. Sayangnya, penurunan tersebut masih jauh dari standar WHO, yakni di bawah 20 persen.
Jika dilihat lebih detail dari 2015 hingga 2017 dalam Pemantauan Status Gizi (PSG), kasus stunting memiliki prevalensi paling tinggi dibandingkan dengan masalah gizi lainnya. Prevalensi balita stunting sendiri mengalami peningkatan dari 2016 ke 2017, yakni dari 27,5 persen menjadi 29,6 persen.
Selain stunting, masalah gizi kurang dan gizi buruk juga perlu mendapat perhatian serius. Berdasarkan Riskesdas 2018, prevalensi gizi buruk memang menurun dari 5,7 persen pada 2013 menjadi 3,9 persen pada 2018. Sementara prevalensi gizi kurang hanya menurun sedikit, yakni 13,9 persen pada 2013 menjadi 13,8 persen pada 2018.
Berdasarkan data PSG, prevalensi gizi kurang tetap di angka 17,8 persen dari 2016 ke 2017. Sementara prevalensi gizi buruk naik dari 3,1 persen ke 3,8 persen. PSG sendiri berfokus pada balita usia 0-59 bulan dengan menghitung indeks berat badan menurut umur.
Jika dilihat berdasarkan provinsi, ada sekitar 20 provinsi yang memiliki masalah gizi buruk cukup tinggi. Nusa Tenggara Timur (NTT), Papua, dan Papua Barat, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tenggara adalah tiga provinsi dengan prevalensi gizi buruk paling besar.
Sementara pada gizi kurang, ada 16 provinsi yang prevalensinya lebih tinggi dibanding rata-rata nasional 14 persen. NTT dan Sulawesi Tenggara sendiri merupakan dua provinsi yang memiliki masalah baik pada gizi buruk dan gizi kurang.
Intervensi Spesifik dan Sensitif Gizi
Permasalahan gizi juga disebut pada "Pidato Kenegaraan Presiden RI 2018." Dalam pidato itu disebut perlu adanya peningkatan pemahaman para pengambil kebijakan terutama persoalan intervensi gizi sensitif. Arah kebijakan dan strategi pemerintah akan berfokus pada percepatan perbaikan gizi masyarakat, terutama perluasan integrasi intervensi spesifik dan sensitif gizi.
Intervensi gizi spesifik sendiri adalah upaya yang difokuskan oleh Kementerian Kesehatan. Persoalan gizi dan stunting perlu memang penanganan yang fokus hingga ke daerah. Hal ini diamini oleh Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Kirana Pritasari. Menurutnya, Kemenkes saat ini mulai fokus mengentas stunting di 160 Kabupaten Kota dan akan terus meningkat secara berkala. Pada tahun 2020, Kemenkes menargetkan akan menjangkau 390 kabupaten kota.
Sementara itu, intervensi sensitif menurut Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro adalah soal kerja sama antar kementerian. Sebab, persoalan kesehatan tidak terlepas dari aspek lain yang mendukungnya. "Upaya peningkatan gizi tidak terlepas dari bahan bakunya sendiri, yakni pangan," ujar Bambang di kantor Kemenkes, Jakarta Selatan, pada Jumat (25/1/2019).
Selain intervensi bersifat spesifik dari Kemenkes, ia menilai perlu juga adanya intervensi sensitif. Persoalan stunting harus melibat kementerian lain, terutama Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian.
Kementerian Pertanian perlu mendorong dari sisi produksi dan mengarahkan pada konsumsi makanan yang lebih sehat, terutama sayur dan buah di samping protein hewani dan karbohidrat. Sementara Kementerian Perindustrian perlu melakukan fortifikasi untuk meningkatkan kualitas dari makanan tersebut, sehingga gizi yang dihasilkan akan cukup.
Vaksin: PR Kemenkes dan Kemenag
Selain masalah gizi buruk, problem vaksin juga menjadi sorotan tersendiri. Sekitar Agustus 2018, ada 164 anak Tanjungpinang yang terjangkit campak dan rubella. Dinas Kesehatan Kota Tanjungpinang mencatat sebanyak 164 anak-anak di usia 2 hingga 5 tahun positif terkena virus penyakit Measles (campak) dan Rubella (MR). Sebulan kemudian, sekitar 37 warga Banjarbaru positif menderita Rubella.
Di beberapa daerah seperti Bengkalis, Aceh dan Siak, pemberian vaksin (imunisasi) campak MR tertunda dan diminta untuk dihentikan. MUI Bengkalis, misalnya, meminta Dinas Kesehatan (Dinkes) menunda pelaksanaan vaksinasi MR kepada siswa sekolah di daerah setempat. Sementara plt Gubernur Aceh meminta penundaan imunisasi karena adanya enzim babi, kendati Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh (MPU) membolehkan. Lebih lanjut, pemerintah Kabupaten Siak memilih menunggu Keputusan MUI Pusat soal sertifikat halal untuk vaksin tersebut.
Pada 20 Agustus 2018, MUI mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2018 tentang penggunaan vaksin MR, produk dari SII (Serum Institut of India), untuk imunisasi. Fatwa tersebut dengan tegas menyatakan bahwa penggunaan vaksin yang memanfaatkan unsur babi dan turunannya hukumnya haram. Sementara vaksin MR produksi SII dalam prosesnya memanfaatkan bahan yang berasal dari babi.
Namun, penggunaan vaksin MR produk dari SII pada saat ini dibolehkan (mubah), karena ada kondisi keterpaksaan (darurat syar'iyah), belum ditemukan vaksin MR yang halal dan suci, serta ada keterangan ahli yang kompeten dan dapat dipercaya tentang bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi dan belum adanya vaksin yang halal.
Sayangnya, fatwa tersebut belum mampu mendorong target cakupan imunisasi MR di Indonesia, yakni 95 persen. Rata-rata cakupan imunisasi campak rubella berdasarkan hasil kampanye imunisasi pada 2017 di Pulau Jawa dan 2018 di luar Pulau Jawa baru mencapai 87,33 persen.
Sosialisasi vaksin adalah pekerjaan rumah bagi Kemenag dan Kemenkes, juga tentunya perwakilan MUI di daerah. Masyarakat tentu butuh saran dari ulama di daerah mengenai penggunaan vaksin ini, agar tidak berbenturan dengan keyakinan mereka.
Peneliti Stem-cell and Cancer Institute Ahmad Utomo menekankan bahwa dari sisi agama, dalam hal ini Islam, urusan persebaran penyakit adalah tanggung jawab pemerintah. Ia menyampaikannya saat membahas kontroversi vaksin di hadapan pemuda-pemudi muslim di Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSIST) pada Januari lalu.
Masyarakat Indonesia tentu tak ingin ada korban jatuh lagi akibat Measless dan Rubella. Apalagi ketika World Health Organization (WHO) memasukkan penolakan masyarakat terhadap vaksinasi sebagai salah satu tantangan kesehatan terbesar di tahun 2019 ini.
Kekerasan Terhadap Anak dan Perempuan
Tidak hanya soal stunting, gizi buruk dan vaksin, persoalan lain yang dialami anak adalah masih tingginya kekerasan. Laporan "Global Report 2017: Ending Violence in Childhood" mencatat ada 73,7 persen anak-anak Indonesia berusia 1-14 tahun mengalami pendisiplinan dengan kekerasan (violent discipline) atau agresi psikologis dan hukuman fisik di rumah. Dan, kasus kekerasan ini banyak ditemukan di rumah. Data KPAI menyatakan ada 4.294 kasus kekerasan pada anak yang dilakukan oleh keluarga dan pengasuh selama 2011-2016.
Beberapa kasus kekerasan anak yang ramai di tahun ini, misalnya, kematian balita usia 2 tahun di Depok akibat dianiaya ayahnya, kematian seorang anak penyandang disabilitas berinisal RAM di Kalimantan Barat, kasus kekerasan anak yang dilakukan aparat saat peristiwa 21-22 Mei.
Tak hanya anak yang rentan mendapat kekerasan, perempuan pun mengalami tindak agresi. Catatan Tahunan (Catahu) 2019 keluaran Komnas Perempuan memperlihatkan peningkatan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang masuk dalam catatan. Pada 2007, misalnya, data kekerasan yang tercatat sebanyak 25.522 kasus, kemudian naik menjadi 406.178 kasus pada 2018.
Beberapa faktor sebab terjadinya kekerasan—baik fisik maupun seksual—pada perempuan dan anak adalah rendahnya pengetahuan terkait kekerasan dari lingkungan terdekat dan kurangnya pemahaman mengenai kesetaraan gender yang semestinya diperoleh dari pendidikan seksual yang komprehensif.
Salah satu dampak dari minimnya pemahaman seksual adalah pernikahan anak yang membatasi potensi anak, seperti putus sekolah dan sulitnya bersaing di pasar kerja.
Kondisi Pekerja Perempuan Indonesia
Dalam Susenas 2015, tercatat bahwa 80 persen perempuan yang menikah muda hanya menyelesaikan pendidikan dasar. Padahal, pendidikan yang rendah ikut memperkecil peluang dalam meningkatkan kesejahteraan yang diraih melalui bekerja. Sedikit catatan, kesempatan anak—khususnya perempuan—untuk masuk dalam gelanggang kerja formal lebih rendah.
Sebagai gambaran, gap Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) laki-laki dan perempuan terbentang cukup jauh. Selama sembilan tahun, TPAK laki-laki ada di kisaran 80-an persen, sementara TPAK perempuan hanya di 50-an persen. Angka yang stagnan ini menunjukkan bahwa ekosistem kerja bagi perempuan tak kunjung membaik.
Belum lagi persoalan diskriminasi upah. Pekerja perempuan selalu dibayar lebih rendah daripada pekerja laki-laki. Misalnya, data "Keadaan Pekerja di Indonesia" Februari 2019 mencatat rata-rata pendapatan pekerja laki-laki dalam sebulan mencapai Rp2,7 juta, sedangkan pendapatan pekerja perempuan hanya Rp2,1 juta.
Untuk persoalan ini, ada beberapa faktor yang ikut berpengaruh. Pertama, perempuan cenderung bekerja di industri berupah rendah. Kedua, jumlah perempuan di jajaran senior lebih sedikit. Ketiga, kemungkinan perempuan bekerja paruh waktu lebih tinggi.
Tak hanya pembedaan upah, perempuan rentan mengalami kekerasan di tempat kerja. Tresye Widiastuti Paidi, pengawas di Direktorat Pengawasan Norma Kerja Perempuan dan Anak Kementerian Ketenagakerjaan, mengatakan kasus perburuhan seperti eksploitasi kerja, pemutusan kontrak saat buruh hamil, sampai pelecehan seksual, jamak terjadi tapi jarang teridentifikasi.
Meski Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bersama Kementerian Tenaga Kerja telah berkomitmen untuk mendukung pencegahan dan penanganan kekerasan dalam dunia kerja, tetap saja regulasi belum kuat dalam melindungi perempuan serta penanganan terkesan lambat.
Selama empat tahun terakhir, pemenuhan hak asasi manusia dan anak belum membaik. Sementara bila dilihat dari sisi negara, perempuan dan anak merupakan aset. Persoalan seperti stunting dan kekerasan terhadap anak dan perempuan semestinya bisa dibenahi bila pemerintah betul-betul serius melakukan pembangunan.
Ini jelas pekerjaan besar bagi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, juga Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Sementara untuk masalah di bidang Pendidikan dan pekerjaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Ketenagakerjaan mestinya ikut ambil andil, termasuk dengan menyediakan regulasi yang kuat untuk melindungi perempuan dan anak. Persoalan bak lingkar setan ini sulit terputus bila kerja sama antar kementerian tak berjalan dengan baik.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara