tirto.id - Mita, 32 tahun, telah bekerja selama tiga tahun sebagai buruh pabrik garmen di Kawasan Berikat Nusantara (BKN) Cakung, Jakarta Utara. Meski begitu, status kerja Mita masih pekerja kontrak, satu perkara laten terhadap sebagian besar buruh perempuan di kawasan industri tersebut serta salah satu masalah utama perburuhan di Indonesia.
Dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia (PDF), sistem kerja kontrak hanya berlaku paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang selama setahun berikutnya. Lebih dari tiga tahun, perusahaan wajib mengikat pekerja sebagai karyawan tetap.
Mita kerap mendengar cerita dari rekan-rekan kerjanya bahwa perjuangan menjadi karyawan tetap bukan hal mudah.
“Susah," katanya, "tergantung chief dan atasan. Kalau suka ya dipakai, kalau nggak suka dibuang.
Tak cuma masalah kontrak, tapi para buruh perempuan di sana kerap menghadapi "kekejaman" para bos pabrik.
Mita mengingat "nasib apes" beberapa bulan lalu. Saat itu ia terpaksa absen ke kantor karena sakit tifus. Setelah empat hari rehat, ketika kembali bekerja, pabrik malah memberikan hukuman bahwa ia tak diberi pekerjaan apa pun. Dan, selama ia tak melakukan apa pun, ia dilarang duduk.
Ia juga menerima kekerasan verbal oleh bos pabrik. “Waktu eonnie datang, dia bilang, ‘Enggak mati sekalian kamu?’,” kata Mita.
Eonnie adalah sapaan untuk nyonya dalam bahasa Korea. Mayoritas majikan dari pabrik-pabrik garmen di Cakung berasal dari Korea Selatan.
Tak kuasa berdiri terus-menerus, Mita minta izin untuk duduk. Ia malahan disemprot, “Kalau duduk, mau siapa yang bayar?” cerita Mita mengisahkan ulang eksploitasi atasannya.
Bagi Mita dan para buruh perempuan di Cakung, bentakan dan umpatan kasar sudah jadi "makanan sehari-hari." Apalagi dari pengalaman lama bekerja di pabrik-pabrik ini, para buruh kesulitan mengajukan izin cuti sekalipun pada saat sakit.
Bahkan seringkali, ujarnya, karyawan yang jatuh pingsan saat bekerja pun tak diberi izin pulang.
Perlakuan eksploitatif lain: Gaji para buruh akan dipotong, bahkan kepada karyawan perempuan yang cuti haid.
Di salah satu pabrik garmen tempat Mita bekerja, perusahaan ini bahkan tak mengenal kata cuti termasuk saat hari raya. Hal ini juga dialami oleh mayoriyas buruh perempuan di pabrik-pabrik garmen lain di KBN Cakung.
'Tak cuma Berpikir soal Investasi'
Tresye Widiastuti Paidi, pengawas di Direktorat Pengawasan Norma Kerja Perempuan dan Anak Kementerian Ketenagakerjaan, mengatakan kasus-kasus perburuhan yang dialami Mita marak terjadi tapi jarang teridentifikasi.
Sistem kerja yang eksploitatif itu sering terjadi di perusahaan-perusahaan padat karya yang mempekerjakan buruh murah dan tak terampil, menurut Tresye. Ini tak cuma di KBN Cakung, tapi di kota-kota lain, tempat incaran pasar buruh murah, seperti di Purwakarta, Jawa Barat.
Tresye mengaku kesulitan mengidentifikasi perusahaan-perusahaan nakal yang melanggar hukum ketenagakerjaan di Indonesia.
“Kalau random [tanya ke pekerja], ketemu [kasus-kasus itu]. Tapi kalau bertanya data ke perusahaan, kadang enggak dapat info seperti itu,” ujar Trisye.
Ia berkata pekerja wajib secara aktif menginformasikan praktik pengisapan tenaga buruh itu kepada Kementerian Ketenagakerjaan.
Hukum ketenagakerjaan di Indonesia mengenal sanksi pidana terhadap perusahaan yang melanggar aturan perburuhan. Namun, menurut Riri Khariroh dari Komisioner Komnas Perempuan, sanksi tegas ini jarang dilakukan pemerintah karena seringkali "kecolongan".
Pendek kata, eksploitasi tenaga buruh perempuan masih berada di wilayah remang-remang, jarang disorot dan mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.
PT KBN Cakung adalah kawasan berikat pertama di Indonesia sejak 1986 yang berstatus sebagai badan usaha milik negara. Mayoritas sahamnya dimiliki pemerintah pusat (73,15 persen) dan sisanya dipegang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (26,85 persen).
Riri mengatakan apa yang dialami Mita bukan hal baru dari kasus-kasus perburuhan di KBN Cakung. Kasus ini seharusnya jadi sorotan, terlebih Indonesia memiliki Rencana Aksi Nasional Bisnis dan HAM (PDF). Rumusan ini menyatakan perusahaan wajib mematuhi hak asasi manusia.
Dalam berbisnis, ujar Riri, perusahaan seharusnya tak cuma berpikir soal untung tapi juga memikirkan kewajiban kepada karyawan.
“Harusnya buruh punya hak untuk cuti hamil dan melahirkan. Tapi perusahaan enggak mau rugi. Padahal itu adalah kewajiban perusahaan untuk menjamin [hak] para karyawan,” tandas Riri.
Penulis: Widia Primastika
Editor: Fahri Salam