tirto.id - Dari luar, Joseph (bukan nama asli) nampak seperti anak berusia 10 tahun pada umumnya. Suka tertawa, aktif berlarian ke sana ke mari, serta sesekali berlagak usil kepada teman-temannya. Nyaris tak ada yang berbeda dari tampilannya.
Namun, pandangan ini seketika berubah tatkala ia membuka bajunya. Ada bekas luka yang menempel di tubuhnya akibat sayatan benda tajam. Tak cuma satu, tapi beberapa; di bagian dada sampai punggung. Luka tersebut memperlihatkan masa lalu kelam yang pernah dialaminya.
“Dulu aku biasa dipukuli,” ungkapnya. “Aku selalu disebut-sebut penyihir jahat.”
Mary Sudnad yang berusia 10 tahun menceritakan kisahnya dengan cepat, seperti ingin segera menutup rapat-rapat bagian yang sudah dikuburnya dalam-dalam.
“Adik bungsuku meninggal. Seorang pendeta memberitahu ibuku bahwa itu karena aku penyihir. Suatu hari, tiga laki-laki datang ke rumahku. Aku tak mengenal mereka. Mereka lalu memukuliku dan membawaku ke gereja untuk 'dibebaskan',” ujarnya.
Pengalaman buruk juga menimpa Gerry. Ia dituduh sebagai penyihir. Sang ibu mengutuknya dan ayahnya menyiramkan bensin dari tangki motor ke wajahnya. Saat itu, Gerry masih berusia 8 tahun. Sementara Udo, sekarang 12 tahun, hampir kehilangan lengannya akibat digasak warga karena dianggap anak penyihir.
Inilah realitas pahit yang terjadi di Akwa Ibom dan Esit Eket, dua wilayah di Negeria, ketika anak-anak yang semestinya menikmati masa kecil mereka dengan bahagia justru jadi korban kebencian. Ribuan dari mereka disiksa, dilecehkan, dan paling mengenaskan dibunuh secara sadis sebab dianggap sebagai manifestasi iblis.
Mengapa bisa demikian?
Agama, Uang, dan Kemiskinan
Kasus di Nigeria memang tidak biasa. Para ahli dan pengamat menyebut banyak faktor yang berperan dalam mendorong kebengisan tersebut terjadi. Apabila dirangkum, ada tiga faktor utama yang bermain: agama, uang, dan kemiskinan.
Jurnalis Punch, media harian Nigeria, Arukaino Umukoro, mengatakan praktik perburuan penyihir merupakan tradisi yang sudah ada selama berabad-abad. Penduduk desa percaya bahwa penyihir adalah dalang di balik HIV, pengangguran, serta segala macam kemalangan lainnya.
Cara pandang itu kian diperburuk dengan kehadiran gereja-gereja lokal.
Gereja Pantekosta di Nigeria membuat masyarakat tambah yakin bahwa iblis dan penyihir itu ada di sekeliling mereka. Gereja pula yang mengukuhkan pandangan bahwa iblis bersemayam di jiwa anak-anak. Gawatnya lagi, anak-anak tentu mudah jadi korban karena tak punya argumen pembelaan yang bisa membuat orang lain percaya kalau mereka bukanlah iblis maupun penyihir.
“Pendeta turut mendorong masifnya wacana budaya sihir,” jelas Umukoro mengutip Deutsche Welle. “Mereka biasanya mengatakan, ‘Bawa anakmu ke tempatku, ke rumah doa ini, dan aku akan mendoakannya selama satu minggu.’ Lalu, mereka menambahkan, ‘Kamu harus membayar untuk biaya makan, pembebasan, dan peralatan lainnya.’ Jadi, pada dasarnya ini bisnis,” Umukoro menjelaskan.
Karena tingkat pendidikan yang rendah, sebagian besar penduduk desa maka begitu mudahnya termakan janji-janji itu. Setelah diberitahu mengenai gejala-gejala anak yang terpapar sihir melalui buku dan DVD, mereka pun semakin percaya.
Setelah indoktrinasi berhasil, orangtua akan mengumpulkan sejumlah uang untuk membayar pembebasan—kadang-kadang sebanyak tiga atau empat kali gaji pekerjaan mereka. Bahkan, mereka sampai menjual tanah, rumah, atau meminta bantuan pinjaman kepada pihak lain apabila upaya pembebasan dilakukan lebih dari sekali.
Pastor Joe Ita, pengkhotbah di Liberty Gospel Church dekat wilayah Eket menegaskan praktik-praktik pembebasan penyihir pada raga anak-anak sudah didasarkan pada iman dan Alkitab. Ita menyangkal tuduhan negatif berkenaan dengan pembebasan dari iblis.
“Kami paham bagaimana mereka beroperasi. Penyihir akan memasang mantra pada bra ibunya dan ia akan terkena kanker payudara, misalnya. Tapi, kami tidak dapat menghubungkan semua hal dengan penyihir. Mereka juga bekerja dengan pengaruh. Jadi, misalnya mereka tidak menciptakan HIV, tapi jika Anda berhubungan seks dengan sembarang orang, Anda akan dikirimi HIV oleh penyihir,” ungkapnya kepada The Guardian.
Diperkirakan sekitar ribuan anak telah jadi korban praktik-praktik kejam semacam itu sejak 1998. Banyak dari mereka yang merenggang nyawa dan lenyap.
Diserahkan ke gereja untuk ‘dibebaskan’ atau dibiarkan dirawat keluarga, sama-sama bukan opsi baik. Jika diserahkan ke gereja, si anak akan berpotensi didera kekerasan fisik dan mental dalam prosesi pembebasan. Namun, apabila tak diserahkan, maka masyarakat (atau bahkan anggota keluarga terdekat sendiri) bakal menghabisi mereka karena percaya bahwa anak bersangkutan adalah penyihir yang membawa malapetaka sehingga wajib dimusnahkan.
“Ribuan anak telah dituduh sebagai penyihir. Mereka disiksa, dibunuh, dan banyak yang ketakutan melihat kenyataan itu,” papar Anja Ringgren Loven, pendiri African Children’s Aid Education and Development Foundation yang bertujuan menyelamatkan anak-anak Nigeria yang dianggap penyihir dengan pelbagai progam seperti pendidikan hingga layanan kesehatan.
Asumsi masyarakat terhadap keberadaan penyihir anak juga dipertebal dengan peredaran film-film Nollywood—industri film dalam negeri—yang sebagian besar masih tidak kritis tentang perburuan penyihir. Kebanyakan film acapkali menunjukkan penyihir atau kekuatan supernatural sebagai otak dari kesialan atau nasib buruk yang menimpa karakter utama. Kondisi tersebut turut mendorong penonton yang tidak terdidik percaya bahwa apa yang disajikan dalam layar adalah kenyataan. “Kebanyakan film Nollywood mendorong nilai-nilai takhayul,” ujar Umukoro.
Di saat bersamaan, kemiskinan pun punya andil dalam memperparah kekerasan terhadap anak. Mengutip laporan UNDP pada 2016 dalam “What’s Behind Children Being Cast As Witches in Nigeria” yang dimuat di The Conversation, Utibe Effiong mengungkapkan bahwa tingkat kemiskinan di beberapa daerah di Nigeria sangat tinggi. Kemiskinan ini, di benak masyarakat, berhubungan dengan kutukan dan sihir. Akibatnya, anak-anak yang dianggap penyihir lantas dijadikan tumbal dan sasaran empuk, dikambinghitamkan atas kemalangan ekonomi yang menimpa keluarga dan masyarakat.
“Kemiskinan adalah saudara kembar kebodohan,” tutur Ikpe-Itauma pendiri Child's Rights and Rehabilitation Network, LSM yang berfokus pada perlindungan dan perawatan anak-anak korban perburuan penyihir.
Seiring waktu, upaya untuk menghentikan aksi-aksi bengis kepada anak-anak Nigeria tersebut mulai mendapati titik cerah serta capaian positif. Effiong mencatat, beberapa secara aktif membantu menciptakan kesadaran akan isu ini dengan memobilisasi masyarakat melalui khotbah, media cetak, serta bahkan lewat film-film Nollywood. Gereja-gereja juga mulai memproduksi narasi pembaruan yang menyoroti sisi buruk pembebasan iblis di samping menawarkan harapan bagi para korban dan keluarga mereka.
Pada akhirnya, masih banyak yang mesti dilakukan pihak-pihak terkait di Nigeria—dari pemerintah, gereja, sampai LSM—guna memutus mata rantai kekerasan terhadap anak-anak. Salah satu yang mendesak dan segera harus dilakukan adalah pembuatan undang-undang yang bisa dipakai mencegah kejadian sama terulang lagi di masa mendatang.
Nigeria membutuhkan undang-undang yang melarang aksi-aksi diskriminasi yang didasarkan pada faktor mistis. Yang lebih penting lagi, hukum harus ditegakkan secara efektif sehingga para pemuka agama dan anggota masyarakat yang memilih untuk melanjutkan kekerasan terhadap anak-anak, bisa dibawa ke pengadilan.
Editor: Windu Jusuf