Menuju konten utama

Ketika Anak-Anak Menuntut Hak Bersuara di Politik

Mengingat anak muda juga menjadi kelompok pemilih terbanyak pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 lalu, hal ini membuat suara mereka harus dianggap penting.

Ketika Anak-Anak Menuntut Hak Bersuara di Politik
Polisi mengumpulkan sejumlah pelajar yang diamankan saat akan mengikuti aksi unjuk rasa ke Jakarta di Mapolres Bogor, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (28/8/2025). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/bar

tirto.id - James–bukan nama sebenarnya–cukup aktif menyuarakan isu-isu terkait aksi demonstrasi akhir Agustus lalu. Ia memanfaatkan kanal Instagram pribadinya untuk menyebarkan informasi tersebut lewat story, salah satunya terkait kekerasan dan kesewenang-wenangan polisi dalam unjuk rasa.

Selain merasa geram, ia juga mengaku hal itu dilakukan sebagai bentuk kepedulian terhadap negara. Sebagai pelajar SMP, ia merasa tak lagi bisa hanya bergeming atas ketidakadilan yang terjadi kepada rakyat.

“Lumayan ngikutin [isu itu] sih, pas liat banyak berita sama postingan soal kekerasan polisi di demo kemarin, kayanya ini gak bisa didiemin, jadi post story Instagram. Lebih ke bentuk peduli sama kondisi negara, kalau dibilang marah, ya ada rasa kesal juga,” kisah James kepada Tirto, Selasa (9/9/2025).

Di tengah usianya yang masih menginjak 14 tahun, dia beranggapan bahwa menyebarkan kesadaran semacam itu penting dilakukan. Tak bisa turun ke jalan untuk berdemo lantaran dilarang oleh sekolah, tak membuatnya absen melakukan upaya untuk menyebarkan keresahan sebagai warga negara.

“Menurut aku sih penting-penting aja [ikut bersuara], soalnya kan pelajar juga bagian dari masyarakat. Meskipun masih kecil, tapi kan kita juga punya rasa peduli sama negara,” kata James melanjutkan.

Kepedulian James senada dengan komunitas pelajar SMA Kolese Gonzaga, yang baru-baru ini viral, setelah menegaskan hak pelajar SMA/SMK untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi. Dalam pernyataan resmi pada Kamis, 4 September 2025, mereka menolak pandangan yang menganggap pelajar tidak perlu terlibat dalam penyampaian pendapat di ruang publik.

“Bentuk partisipasi seperti kampanye media sosial, penyebaran petisi, hingga penyuaraan aspirasi merupakan wujud nyata kebebasan berpendapat yang dilindungi Pasal 28 Ayat (3) UUD 1945,” tulis Kepala SMA Kolese Gonzaga Pater Eduard C. Ratu Dopo dan Ketua Senat Christopher Kana Cahyadi.

Pelajar SMP dan SMA memang kian semarak mewarnai aktivisme politik, baik di platform digital, maupun mereka-mereka yang turun ke jalan. Saat rentetan aksi demonstrasi akhir Agustus lalu misalnya, ratusan pelajar ikut berpartisipasi dalam unjuk rasa tersebut. Akan tetapi, aparat kepolisian justru menangkap para pelajar dan mencegah mereka ikut demo.

Pelajar di bawah umur disebut tak punya hak ikut demonstrasi, oleh karenanya perlu “diamankan” agar mereka terlindungi. Menurut informasi dari kepolisian, seperti dilaporkan Tempo, ada sekitar 51 persen massa dari klaster pelajar yang terlibat dalam demonstrasi pada 25 Agustus 2025. Angka itu kemudian meningkat menjadi 72 persen pada unjuk rasa Kamis (28/8/2025).

Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Putu Kholis

menduga, ada upaya sistematis untuk memobilisasi para pelajar tersebut. Oleh karena itu pihaknya melakukan penelusuran untuk menemukan pelaku. Dari hasil penyelidikan, polisi kemudian menangkap enam orang yang dianggap sebagai provokator.

Polisi amankan pelajar yang akan mengikuti unjuk rasa

Polisi menggiring sejumlah pelajar yang diamankan saat akan mengikuti aksi unjuk rasa ke Jakarta di Mapolres Bogor, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (28/8/2025). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/bar

Empat orang tersebut di antaranya adalah Direktur Lokataru Foundation Delpedro Marhaen, Muzaffar Salim, Khariq Anhar, dan Syahdan Husein. Keempatnya dinilai memprovokasi pelajar untuk bertindak anarkistis lewat unggahan di media sosial dengan kalimat, 'Kita lawan bareng'.

Dalam hal berpolitik yang dianggap menjadi “arena orang dewasa”, suara anak-anak memang kerap dikesampingkan dan diremehkan. Mereka rentan diklaim ditunggangi, seolah-olah tak bisa memutuskan sesuatu dengan sadar. Padahal, pelajar ikut aksi demonstrasi patut disyukuri dan diapresiasi. Sebab, artinya mereka telah melek politik sejak dini.

Pengamat politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Kunto Adi Wibowo, menerangkan, partisipasi pelajar dalam aksi unjuk rasa juga bisa dilihat sebagai fenomena ketika mereka tak punya saluran politik untuk berpartisipasi secara bermakna.

“Ya akhirnya mereka turun ke jalan kan, karena mereka selama ini diabaikan, dianggap second class citizen, pokoknya nurut aja kan gitu. Dan belum waktunya berpolitik dan segala macam,” ungkap Kunto kepada Tirto, Senin (8/9/2025).

Menyoal stigma rusuh, Kunto bilang, hal itu seharusnya tidak diasosiasikan dengan pelajar. Apalagi, kerusuhan dalam setiap unjuk rasa umumnya tak berasal dari demonstran itu sendiri, melainkan karena ulah provokator.

Sebut saja pembakaran Halte TransJakarta Sarinah pada demo penolakan Undang-Undang Cipta Kerja, Oktober 2020 lalu. Temuan Narasi menyingkap, para pelaku datang untuk membakar halte. Mereka bukanlah bagian dari mahasiswa atau buruh yang menjadi motor penggerak aksi demonstrasi.

“Sebenarnya kan mereka ya anak muda, masih butuh melampiaskan banyak hal gitu, dan kemarahannya ya kemarahan anak muda, sehingga mereka menyalurkan dalam bentuk agresi. Dan yang ada di depan mereka berhadapan-hadapan kan juga polisi yang kadang-kadang melakukan agresi. Tapi subjek yang dianggap tidak dewasa ini tiba-tiba menjadi harus bertanggung jawab atas kerusuhan, kan aneh cara berpikirnya,” sambung Kunto.

Anak-Anak adalah Pemilik Negara di Masa Depan

Ada beberapa faktor mengapa kemudian anak-anak kerap kali dipinggirkan dalam aksi demonstrasi atau dieksklusikan dari perbincangan seputar politik. Pertama, Kunto menjelaskan, ada anggapan unjuk rasa yang “murni” adalah unjuk rasa mahasiswa.

Oleh karenanya di luar kelompok itu, termasuk buruh, rakyat biasa, dan pelajar pasti “ditunggangi”. Padahal, mahasiswa merupakan kelas elite yang hanya bisa diraih oleh segelintir orang, baik dengan kemampuan akademik maupun kemampuan finansial yang mumpuni.

“Jadi mereka rata-rata kelas menengah ke atas kan, sehingga kalau kelas menengah ke atas lebih mudah untuk kemudian mengontrol dan mengkalkulasi efek politik. Sedangkan kalau rakyat biasa, buruh, dan pelajar kan kelompoknya jadi lebih besar, lebih luas sehingga kan susah untuk kemudian membatasi,” ungkap Kunto.

Menurut dia, negara atau elite politik harus bisa melihat anak-anak sebagai pemilik negara di masa depan. Jadi, kita berhutang pada mereka dan kita meminjam negara ini dari mereka.

“Maka ya suara mereka lah yang harus didengarkan, kalau menurut saya ya, dan ini harusnya menjadi sesuatu yang inheren dalam penyelenggaraan negara hari ini,” sambung Kunto.

Apalagi, anak-anak juga disebut-sebut sebagai generasi emas atau sebagai bagian dari bonus demografi. Direktur Eksekutif The Indonesian Institute (TII) Center for Public Policy Research, Adinda Tenriangke Muchtar, berpendapat hal itulah yang menjadikan anak-anak mengikuti isu-isu yang berkembang. Itu adalah keniscayaan di mana mereka tahu bahwa isu-isu ini akan memengaruhi kehidupan mereka.

“Sebut saja yang paling menjadi concern kan, di antaranya misalnya ketika mereka tahu juga soal UKT di perguruan tinggi, atau soal perubahan iklim yang juga jelas memengaruhi mereka,” tutur Adinda saat dihubungi jurnalis Tirto, Senin (8/9/2025).

Pembelajaran daring antisipasi aksi demonstrasi di Aceh Barat

Seorang siswi Madrasah Ibtidayah Negeri (MIN) 11 Aceh Barat mengikuti pembelajaran jarak jauh saat pemberlakuan sekolah daring di Desa Alue Raya, Kecamatan Samatiga, Aceh Barat, Aceh, Selasa (2/9/2025). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/foc.

Aktivisme pelajar tidak lepas dari peran media sosial, yang membuat mereka akhirnya selalu terpapar dengan isu-isu terkini. Di jagat maya, anak-anak pun ikut meramaikan diskusi dengan menyebarkan pesan advokasi dengan cara yang kreatif.

“Isu-isu kebijakan itu menjadi isu-isu di mana mereka dianggap belum penting, karena mungkin misalnya, pandangan umumnya yaudah pelajar fokus aja belajar, jangan membahayakan diri. Atau kalau pandangan dangkalnya kan yaudah, kalian tahu apa sih anak kemarin sore, udah fokus aja sekolah, ujian, naik kelas gitu ya, padahal mereka adalah bagian dari generasi yang akan menentukan masa depan bangsa ini,” sambung Adinda.

Tirto sebelumnya pernah melakukan jajak pendapat kepada pemilih pemula, yakni mereka yang berusia 17 - 21 tahun. Hasil survei kolaborasi bersama Jakpat itu mengungkap, terkait aktivitas politik yang pernah dilakukan, kebanyakan responden menjawab mereka paling sering berdiskusi atau berdebat isu politik dengan teman sebaya atau anggota keluarga (57,24 persen).

Di lain sisi, ada juga responden yang mengaku senang membuat atau membagikan konten di media sosial tentang pandangannya atas suatu isu politik dan mempromosikan kampanye mengenai isu politik lewat aksi atau demonstrasi.

Bonus Demografi Jangan Hanya Jadi Jargon

Mengingat anak muda juga menjadi kelompok pemilih terbanyak pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 lalu, hal ini membuat suara mereka harus dianggap penting. Bukan hanya sekadar demi ceruk suara, tapi benar-benar dipertimbangkan dalam proses pembuatan kebijakan.

“Dan seharusnya tidak diremehkan, karena suara mereka itu juga akan menentukan bagaimana kita menyikapi kebijakan, misalnya terkait generasi muda, bonus demografi 2030 gitu ya. Bahkan termasuk isu soal pendidikan, kesehatan gitu ya, karena mereka bagian dari kebijakan-kebijakan tersebut, dan mereka juga ikut merasakan gitu ya,” tutur Adinda.

Pelipatan surat suara Pilkada

Pekerja melipat surat suara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Gudang Logistik KPU Kapasan, Kudus, Jawa Tengah, Senin (4/11/2024). ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/rwa.

Sayang, selayaknya pasar, suara anak muda seperti halnya mayoritas konsumen, kerap hanya dijadikan sebagai objek pembangunan. Adinda mengatakan, seharusnya ada forum-forum desa atau nasional, serta Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang) yang seharusnya bisa memfasilitasi suara pelajar serta memberikan edukasi politik.

“Kalau hanya dianggap jargon, bagian dari bonus demografi, tapi tidak dilibatkan atau di-equip gitu ya, kemampuannya. Atau tidak diberi kanal atau jalur untuk berpartisipasi, ya artinya memang mereka tidak dianggap, padahal ini jadi penting,” sambung Adinda.

Dia sendiri mengapresiasi pernyataan sikap SMA Kolese Gonzaga, dalam menanggapi aksi demonstrasi akhir Agustus lalu.

“Artinya mereka juga mengedukasi pelajar atau peserta didiknya itu, bukan hanya dalam konteks yang sifatnya teoretis atau teoretikal semata gitu, tapi para pelajar itu memang bisa turun secara aktivisme, menunjukkan kepedulian dan aspirasinya,” tutur Adinda.

Dalam komunitas sekolah mungkin ada orang tua yang khawatir akan keselamatan anaknya, tapi mungkin ada orang tua juga yang mendorong anaknya mengikut aksi dengan batasan-batasan yang jelas untuk mempertimbangkan faktor keamanan.

Itu mengapa Adinda mendorong adanya “persiapan” terlebih dahulu sebelum mengikuti aksi. Persiapan itu berarti memberikan edukasi soal partisipasi politik. Kalaupun memang berpartisipasi dalam bentuk turun ke jalan, maka mereka harus tahu bagaimana berdemonstrasi dengan aman.

“Sehingga teman-teman muda ini juga bisa melatih apa yang mereka pelajari di kelas, di ruang yang lebih luas. Dan lagi-lagi dengan adanya forum-forum, termasuk ada kementerian dan lembaga terkait, ini sebenarnya bisa difasilitasi. Bahkan dengan statement yang ada, membuat statement di sekolah, atau lewat karya-karya kreatif di media sosial, termasuk yang terjadi saat ini ya, me-repost konten-konten aksi 17+8 Tuntutan Rakyat, itu sebenarnya bagian yang diperbolehkan saja sebagai warga negara,” ungkap Adinda.

Begitupun dalam konteks turun ke jalan, hal ini bisa diperbolehkan dengan SOP yang jelas. Adinda menegaskan kalau kondisi demokrasi kita saat ini bisa mendorong institusi pendidikan untuk menjadikan lembaga mereka relevan, untuk bisa mendorong diskusi di ruang kelas dan daya berpikir kritis siswa.

Baca juga artikel terkait PELAJAR atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News Plus
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty