tirto.id - Beberapa waktu yang lalu, masyarakat dunia digemparkan dengan keajaiban ditemukan 3 bocah dan 1 bayi selamat dari kecelakaan pesawat Cessna 206 di tengah hutan Amazon.
Mereka ditemukan setelah 40 hari hilang dari kecelakaan pesawat tersebut. Ibu mereka, pilot dan co-pilot tewas, sementara mereka hilang dan ditemukan sejauh 1,5 km dari lokasi kecelakaan pesawat.
Keempat anak tersebut merupakan anggota masyarakat adat Huitoto di Kolombia yang mempunyai pengetahuan akan hutan. Masyarakat adat Huitoto mengajarkan komunitasnya untuk berburu, memancing, atau mengumpulkan makanan dari hutan sejak usia dini.
Keterampilan bertahan hidup yang diajarkan ini membuat anak-anak tersebut dapat membangun tempat untuk berlindung saat terjadi hujan dan badai. Mereka juga memanfaatkan air hujan untuk minum dan mengenali jenis pohon beracun dan tidak beracun.
Setelah ibunya meninggal di hari keempat, anak-anak tersebut dapat bertahan hidup dengan memakan farina, sejenis tepung singkong yang mereka bawa di pesawat. Kemudian, setelah farina habis, mereka kemudian mencari bantuan dan bertahan hidup dengan memakan buah-buahan, benih, tumbuh-tumbuhan yang mereka temui di hutan. Beruntung, saat itu sedang musim panen buah. Keempatnya kemudian ditemukan selamat dengan kondisi dehidarasi dan kekurangan gizi oleh militer Kolombia.
Keterampilan yang dimiliki keempat bocah tersebut, kemungkinan besar tidak dimiliki oleh sebagian besar manusia modern saat ini. Padahal, kemampuan bertahan hidup, termasuk memiliki keterampilan menggunakan tangan dan aktivitas fisik penting untuk melindungi diri juga baik untuk kesehatan.
Padahal, sejarah membuktikan bahwa manusia memiliki kemampuan beradaptasi yang luar biasa. Dengan keadaan alam yang ada, manusia dikatakan dapat memanfaatkan logikanya untuk kemudian merakit alat sederhana untuk kebutuhan sehari-hari.
Sebuah bukti yang digali di Ngarai Oldupai, sebuah situs Warisan Dunia UNESCO di Tanzania, mengungkapkan bahwa adaptasi lingkungan dan perilaku sudah ada sejak dua juta tahun yang lalu. Peneliti menemukan perkakas batu tertua yang berumur 2 juta tahun.
Saat itu, manusia purba dengan keterampilan tangannya, mampu bertahan hidup, dan membuat hidupnya lebih nyaman dengan membuat tempat tidur yang aman dan nyaman.
Teknologi yang Membuat Malas
Sangat berbeda dari zaman dahulu, di era pascamodern ini, kecanggihan teknologi menyebabkan manusia semakin malas dan sedikit bergerak.
Menurut data dari World Health Organization (WHO) 2022, lebih dari seperempat populasi orang dewasa di dunia ini (1,4 miliar orang) tidak aktif bergerak fisik. Secara global, 1 dari 3 wanita dan 1 dari 4 pria tidak cukup beraktivitas fisik untuk kesehatan. Kurangnya aktivitas manusia ini meningkat 5% dari 31,6% ke 36,8% di negara-negara berpendapatan tinggi sejak tahun 2001-2016.
Dengan adanya teknologi, aktivitas fisik manusia semakin berkurang. Hidup manusia memang menjadi lebih mudah, namun membuatnya menjadi lebih malas.
Sebagai contoh, kini orang tidak perlu repot-repot memasak dan belanja sayuran ke supermarket yang jaraknya hanya berjalan kaki saja. Mereka memilih memencet ponselnya dan barang yang diperlukan sampai di depan rumah. Dengan ditemukannya penemuan-penemuan baru seperti mobil, manusia menjadi malas untuk jalan kaki meski hanya untuk beberapa ratus meter saja.
Terlebih lagi, kini lebih sedikit orang yang melakukan pekerjaan manual — yang melibatkan otot dan tulang.
Kebanyakan dari manusia modern memiliki pekerjaan yang hanya membutuhkan sedikit tenaga fisik. Banyak pekerjaan termasuk pekerjaan rumah tangga, belanja, dan aktivitas penting lainnya jauh lebih ringan dibandingkan generasi sebelumnya.
Saat ini manusia bergerak lebih sedikit dan membakar lebih sedikit energi daripada generasi sebelumnya. Penelitian menunjukkan bahwa banyak orang dewasa menghabiskan lebih dari 7 jam sehari untuk duduk, baik di tempat kerja, saat menggunakan alat transportasi, atau di waktu luang mereka.
Orang berusia di atas 65 menghabiskan 10 jam atau lebih setiap hari untuk duduk atau berbaring, menjadikan mereka kelompok usia yang paling tidak banyak bergerak.
Karena pekerjaan saat ini banyak menggunakan otak dan teknologi, dan sedikit pekerjaan manual yang melibatkan fisik, tak jarang manusia menjadi lupa bagaimana harus bertindak jika dalam kondisi darurat yang harus menggunakan kemampuan otot dan tulangnya.
Keterampilan Manual dalam Pendidikan
Penurunan aktivitas fisik tidak hanya pada orang dewasa saja, anak-anak di sekolah pun merasakannya. Di sekolah, anak-anak hanya duduk sepanjang hari di bangku meja dan mendengarkan guru berbicara.
John Dewey, seorang tokoh filsafat asal Amerika Serikat berpendapat, bahwa sumber kegagalan kedisiplinan di sekolah adalah bahwa guru sering kali menghabiskan waktu untuk membatasi atau menekan aktivitas tubuh yang justru menjauhkan pikiran dari materi. (John Dewey, Democracy and Education, 141).
Teori Dewey hampir sama dengan yang ada di lapangan saat ini. Meski tidak semuanya, namun saat ini banyak anak sekolah hingga mahasiswa yang hanya diasah kemampuan berpikir saja. Sementara, kemampuan untuk melakukan pekerjaan manual sangat kurang untuk diajarkan ke mereka.
Beberapa waktu yang lalu sempat heboh akan kabar seorang fresh graduated lulusan universitas ternama kalah bersaing dengan anak lulusan SMK saat melamar pekerjaan di sebuah perusahaan.
Agus Sampurno, Instruktur Nasional Guru Penggerak di Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), mengatakan hal itu sering terjadi, karena, “Banyak sarjana yang mereka tidak tahu hal apa yang dapat mereka sumbangkan ke perusahaan yang mereka lamar. Sementara anak SMK dibekali keterampilan memadai yang spesifik di satu bidang, sehingga tahu betul potensi yang mereka miliki,” jelasnya.
Anak SMK lebih unggul karena 60% dari pembelajaran mereka adalah praktek langsung (hands on experience).
Jika jurusan mesin maka praktek mengoperasikan mesin, jurusan Informasi Teknologi (IT) diajarkan menciptakan program komputer, jurusan boga mencoba resep kue dan sebagainya.
Anak-anak SMK tidak hanya belajar teori saja, tetapi mengaplikasikan langsung teori yang mereka dapat, dengan memproduksi sesuatu barang atau karya. Karya inilah yang nantinya akan menjadi pekerjaan siswa tersebut ketika ia masuk ke perusahaan.
Banyak terjadi selanjutnya, anak-anak lulusan sarjana yang menganggur karena selama kuliah tidak ada yang memandu mereka. “Bahkan saya temui, ada lulusan sarjana yang tidak tahu cara membuat lamaran yang benar, body text email kosong, alamat email tidak menunjukkan profesionalitas, padahal ini hal yang sederhana,” ungkap Agus.
Sementara, anak-anak SMK dan sekolah vokasi (politeknik) sudah diarahkan oleh pihak sekolah atau kampus untuk siap kerja di bidang masing-masing.
“Seringkali pihak kampus atau sekolah aktif menjalin networking dengan perusahaan-perusahaan, sehingga anak didik mereka tidak kesulitan mencari kerja.”
Menurut Agus, meskipun sarjana lebih dibekali ilmu dan teori untuk menganalis, tapi tidak semata-mata hanya mengandalkan hal itu saja. Keterampilan dalam memproduksi, mengoperasikan, mengelola suatu hal juga penting untuk dimiliki setiap kandidat yang akan melamar suatu pekerjaan. Hal inilah yang diajarkan untuk anak-anak sekolah kejuruan. “Anak SMK siap ditempatkan di mana pun, seperti sekrup pada roda, meski bagian terkecil, namun berguna untuk perusahaan,” ungkap Agus.
Tidak hanya untuk kepastian karir, keterampilan manual yang terlupakan karena jargon yang "mendewakan" pengetahuan yang berpedoman hanya sebagai bentuk kumpulan informasi, dan melupakan kelebihan keterampilan tangan untuk menghasilkan sesuatu, sepertinya harus mulai diupayakan kembali. Tentu, bila kita ingin dapat menguasai setidaknya dasar cara bertahan hidup di dunia yang tidak pasti ini.
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Lilin Rosa Santi